
Oleh: Aulia Fitri Masito (Aktifis Islam Kaffah)
Linimasanews.id—Di era demokrasi kapitalis saat ini, praktik korupsi tampak tidak ada hentinya, meskipun berbagai lembaga yang berfokus pada pencegahan korupsi dan penegakan hukum telah dibentuk.
Baru-baru ini, Nadiem Makarim yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, resmi menjadi tersangka kasus dugaan penyelewengan dana untuk pengadaan laptop Chromebook, Mantan penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap menyatakan kekecewaannya atas korupsi yang menggerogoti dana pendidikan tersebut (detikNews.com, 06/09/2025).
Diketahui, Nadiem Makarim telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999, yang telah mengalami perubahan dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 terkait Perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP (Kompas.com, 08/09/2025).
Kejaksaan Agung juga telah menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi terkait program digitalisasi pendidikan untuk periode 2019-2022. Kasus ini diperkirakan mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp1,98 triliun (Appsdetik.com, 08/09/2025).
Masalah korupsi ini tidak kunjung teratasi karena penyebab utamanya tidak ditangani secara mendasar. Padahal, Sayyid Qutub menyatakan, “Korupsi merupakan suatu tindakan pengkhianatan terhadap tanggung jawab serta pengkhianatan kepada Tuhan dan Rasul-Nya, serta umat yang beriman.”
Di dalam pandangan Islam, korupsi dianggap sebagai tindakan sangat tercela dan dilarang dengan tegas. Korupsi dapat merusak tatanan keadilan serta melanggar amanah. Rasulullah saw. memberikan sabda, “Siapa saja yang kami beri kekuasaan atas suatu kelompok, lalu ia meninggal dalam keadaan berbohong kepada mereka, maka Allah mengharamkan surga untuknya.” (HR. Muslim).
Hadis ini menunjukkan besarnya dosa bagi pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya dan merugikan masyarakat. Sementara, korupsi tidak hanya mengakibatkan kerugian pada aset negara, tetapi juga merusak moral masyarakat dan melemahkan sistem pemerintahan yang ada.
Pendekatan dalam menangani korupsi di bawah sistem Islam kaffah benar-benar berbeda dengan sistem sekuler demokrasi kapitalis saat ini. Dalam solusinya, Islam tidak hanya fokus pada sanksi bagi pelaku, tetapi juga mencegah dari akar permasalahan, membangun sistem yang solid, dan menanamkan keyakinan (akidah Islam) yang kuat pada umatnya.
Islam mengatur cara penanganan korupsi dengan beberapa langkah, yaitu: Pertama, penegakan hukum yang adil dan transparan. Penegakan hukum ini harus dilaksanakan tanpa adanya diskriminasi agar pelaku korupsi mendapatkan hukuman yang sepadan dan menciptakan efek jera.
Kedua, melalui pendidikan akhlak dan tauhid bagi pejabat. Sungguh, pendidikan yang menekankan pada ketakwaan kepada Allah dan moralitas sangat penting untuk menghasilkan pemimpin yang tidak hanya jujur, tetapi juga bertanggung jawab.
Ketiga, kepemimpinan amanah dan pengawasan ketat. Dalam hal ini, khalifah harus memilih pejabat yang bisa dipercaya. Setiap pejabat pun akan diawasi. Apabila terbukti berkhianat, mereka akan langsung diberhentikan dan dijatuhi hukuman.
Keempat, penerapan hukuman tegas dan memberikan efek jera. Dalam Islam, pelaku korupsi akan dikenakan ta’zir, yaitu jenis hukuman yang ditetapkan oleh hakim syar’i. Selain itu, aset yang didapat dari korupsi akan disita dan dikembalikan ke Baitulmal (kas negara) dan digunakan untuk kepentingan rakyat.