
Oleh: Dini Azra
Linimasanews.id—Ada yang menarik di balik demonstrasi yang berlangsung beberapa waktu lalu, yakni keikutsertaan para remaja di bawah umur dalam menyampaikan aspirasi. Demonstrasi besar-besaran yang dipicu karena kenaikan tunjangan DPR yang fantastis itu menyebar hingga ke berbagai wilayah di Indonesia hingga berujung kerusuhan, pembakaran dan jatuhnya korban jiwa. Walaupun, kerusuhan belum tentu disebabkan oleh para pendemo.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 195 anak yang diamankan di Polda Metro Jaya selama hampir 20 jam saat demo di DPR, Senin (25/8/2025). Para pelajar dari Jakarta, Tangerang, dan Bekasi itu mengaku ikut demo untuk menolak kenaikan gaji dan tunjangan DPR (Republika.co.id).
Melihat fenomena ini, menurut Psikolog Universitas Indonesia Rose Mini Agoes Salim, meskipun demo bisa menjadi ajang untuk belajar menyampaikan pendapat, tetapi anak rentan terprovokasi karena di usia itu kontrol emosinya belum matang. Remaja pada umumnya ingin terlihat keren dan berani di depan teman dan publik sehingga bertindak impulsif. Apalagi di tengah situasi demo yang penuh tekanan dan emosi, mereka pun bercampur dengan massa yang berbeda usia, sangat memungkinkan bagi mereka kehilangan kendali dan melakukan hal-hal negatif.
Rose juga menekankan, sebelum ikut turun ke jalan, mereka harusnya benar-benar paham tentang isu yang diperjuangkan. Selain itu, penting edukasi dari keluarga, sekolah dan masyarakat tentang politik yang sehat dan sesuai usia, sekaligus memperhatikan dampak psikologis keterlibatan anak dalam aksi demonstrasi (inforemaja.id., 2/9/2025).
Bangkitnya Kesadaran Politik
Hari ini tidak sulit bagi siapa pun untuk memperoleh informasi terkini, termasuk isu politik yang sedang ramai. Terlebih di media sosial, seperti Facebook, Tiktok, Instagram, YouTube banyak bermunculan influencer muda yang menyampaikan berita dan analisa politik dengan baik. Dengan gaya santai, bahasa yang relatable, terkadang dengan satir dan konten yang dikemas secara menarik, humoris dan edukatif membuat mudah dipahami oleh generasi muda. Sebut saja misalnya Feri Irwandi, Raymond Chin, Bintang Emon, Sherly Annavita, Rijal Djamal, dan lainnya.
Keterlibatan Gen-Z dalam aksi unjuk rasa bisa jadi indikasi akan bangkitnya kesadaran politik di kalangan generasi muda. Meskipun demikian, kesadaran ini juga harus dibangun atas landasan yang benar dan pemikiran yang matang, bukan sekadar ikut-ikutan sebagai ajang unjuk keberanian. Pemuda memang harus melek terhadap fakta kerusakan yang terang benderang. Bukan malah bersikap masa bodoh dan lebih fokus mencari kesenangan dengan mengikuti tren yang melalaikan.
Hanya saja, masyarakat hari ini masih menggunakan standar Barat dalam memandang potensi generasi muda atau remaja. Dalam pandangan psikologi Barat, usia remaja antara 12-17 tahun adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa remaja.
Barat menganggap masa remaja sebagai ‘trial and error’’. Pada usia ini remaja dianggap belum matang secara mental, emosional dan sosial. Mereka sedang melewati proses pencarian jati diri sehingga sering dianggap wajar jika melakukan kesalahan. Maka, anak usia di bawah 18 tahun disebut anak di bawah umur yang belum bisa dikenakan hukum dan tanggung jawab sebagaimana orang dewasa.
Hal ini sungguh berbeda dengan cara pandang Islam. Di dalam Islam, istilah remaja itu sebenarnya tidak ada. Sebab, batasan antara masa kanak-kanak dan dewasa adalah baligh yang ditandai dengan keluarnya darah haid bagi wanita, sedangkan bagi laki-laki telah mengalami mimpi basah. Tidak ada penundaan tanggung jawab dalam ajaran Islam. Setiap manusia yang sudah baligh maka dia sudah mukallaf (terikat hukum syara’). Artinya, sudah bertanggung jawab atas amalannya, sudah dikenai pahala dan dosa, dan diberikan sanksi hukum apabila melakukan tindak kejahatan.
Jika Barat memandang usia muda itu sebagai kelemahan, Islam justru menganggap usia muda sebagai masa yang penuh energi dan potensi besar membangun peradaban. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam memberikan panduan dalam mempersiapkan kedewasaan anak. Dengan mengajarkan anak shalat sewaktu umur tujuh tahun, jika umur sepuluh tahun belum mau shalat maka boleh dipukul untuk mendidik, bukan menyakiti.
Hadits tersebut bukan hanya terkait ibadah shalat saja, tetapi juga hal-hal, yang lain untuk dilatih sejak dini. Jadi ketika masa baligh tiba, mereka sudah siap untuk bertanggung jawab atas diri sendiri, dan terhadap penciptanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Selain itu, pendidikan Islam dibangun atas dasar akidah. Sejak awal anak-anak diajarkan untuk mentauhidkan Allah Ta’ala, sehingga segala potensi yang dimiliki akan diarahkan untuk ketaatan kepada Allah. Berbeda dengan pendidikan Barat yang sekuler, memisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan.
Dalam Islam, tidak ada istilah sekolah agama dan sekolah umum, karena pendidikan agama juga berkaitan dengan sains dan teknologi. Sehingga bisa dipelajari secara bersamaan dengan menjadikan Al-Qur’an dan sunnah sebagai rujukan. Tidak heran, pada masa Khilafah Abbasiyah banyak melahirkan ilmuwan yang hasil karyanya bisa digunakan hingga sekarang. Seperti, Abbas Ibnu Firnas penemu pesawat, Al-Khawarizmi penemu angka nol, Ibnu Sina ahli kedokteran, dan masih banyak lagi.
Bahkan, para sahabat Rasulullah yang berperan penting dalam perkembangan dakwah Islam rata-rata adalah kaum muda. Mereka adalah generasi terbaik di masa kenabian, di antaranya ada Ali bin Abi Thalib, sepupu Nabi yang menjadi pemuda pertama yang masuk Islam di usia belia, Arqam Ibnu Al-Arqam (18) menjadikan rumahnya sebagai markas Nabi untuk mendidik para generasi pertama Islam selama 13 tahun, Zaid bin Tsabit (13) yang menjadi sekretaris pribadi Rasulullah, Thalhah bin Ubaid (16) yang melindungi Nabi dari lemparan panah musuh dengan tubuhnya sehingga jarinya putus dan masih banyak lainnya.
Tidak lupa, ada Muhammad Al-Fatih, panglima yang dikabarkan oleh Rasulullah sepeninggal beliau akan menjadi panglima terbaik di antara umatnya yang akan menaklukkan kekaisaran Romawi di akhir zaman. Pada usia 21 tahun, Muhammad Al-Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel (yang kemudian menjadi pusat Kekhilafahan Turki Utsmani) pada 857 Hijriah, 800 tahun setelah disebutkan oleh Rasulullah. Keberhasilannya ini tak lepas dari didikan ibunya yang menanamkan keimanan dan keyakinan bahwa dialah panglima yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Umat Islam terutama generasi mudanya harus mengenal sejarah agamanya sendiri agar mereka paham akan kebesaran Islam ketika diterapkan dengan benar dalam kehidupan. Bukan sekadar meromantisasi sejarah untuk menghibur diri di saat umat Islam sedang kalah.
Dengan mengetahui sejarah dan mempelajari apa saja yang membuat Islam dahulu begitu besar dan disegani, umat akan terinspirasi. Lalu, tumbuhlah rasa percaya diri untuk bisa mengulang kejayaan Islam kembali. Hal ini bisa dimulai dengan rasa gelisah, melihat kondisi hari ini yang salah karena jauh dari tuntutan syari’ah.
Gelisah yang muncul atas kesadaran akan mendorong umat untuk melakukan sesuatu menuju perubahan. Kesadaran politik seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh generasi muslim saat ini agar potensi, energi dan emosi mereka digunakan untuk dakwah dan perjuangan. Yakni, menjadi ‘The agent of change’ bagi terwujudnya kebangkitan Islam.