
Oleh: Astriani Nur Fatikasari
Linimasanews.id—Fenomena aksi demonstrasi yang kerap melibatkan generasi muda, khususnya Gen Z, kembali menjadi sorotan publik. Seperti dilaporkan Kompas (05/09/2025), Psikolog Anak dan Remaja Anastasia Satriyo menilai Gen Z memiliki mekanisme pertahanan unik dalam merespons tekanan. Mereka lebih memilih berbicara lewat media sosial, meme, poster kreatif, dan estetika visual ketimbang melakukan tindakan destruktif. Sementara itu, Psikolog UI, Prof. Rose Mini Agoes Salim mengingatkan bahwa keterlibatan remaja dalam demonstrasi memiliki sisi risiko. Meski bisa menjadi ajang belajar menyampaikan pendapat, anak di bawah umur rentan terprovokasi karena kontrol diri yang belum matang (inforemaja.id, 2025).
Kedua pandangan ini menempatkan Gen Z dalam kerangka psikologi modern, yang sejatinya lahir dari paradigma kapitalisme. Pola pikir ini cenderung menekankan aspek mekanisme pertahanan individu, alih-alih mendorong kesadaran politik yang mendalam. Akibatnya, sikap kritis pemuda diarahkan sekadar menjadi ekspresi identitas kreatif, tanpa mengarah pada perubahan mendasar terhadap sistem yang menimbulkan kezaliman.
Padahal, sejak awal penciptaannya manusia dibekali naluri baqa’, yaitu dorongan mempertahankan diri dari kezaliman dan ketidakadilan. Islam tidak membatasi fenomena ini dalam klasifikasi psikologi, tetapi memberikan jalan yang jelas agar energi perlawanan itu terarah pada tuntunan syarak.
Lebih dari itu, dalam Islam, aktivitas muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) bukan sekadar ekspresi spontan, melainkan bagian dari ibadah. Allah Swt. berfirman, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik ….” (QS. An-Nahl: 125).
Rasulullah saw. juga menegaskan keutamaan sikap berani menasihati penguasa zalim: “Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu memerintahkannya kepada kebaikan dan melarangnya dari kemungkaran, kemudian penguasa itu membunuhnya.”
Sejarah Islam pun mencatat, pemuda selalu menjadi garda terdepan dalam perjuangan. Generasi sahabat muda seperti Ali bin Abi Thalib, Mus’ab bin Umair, dan Usamah bin Zaid menjadi motor perubahan yang nyata, bukan sekadar simbol kreatif. Maka, potensi Gen Z saat ini pun semestinya tidak diarahkan sebatas pada aksi simbolik atau ekspresi visual, tetapi untuk mengusung perubahan hakiki (taghyir) dengan Islam sebagai landasan.
Kasus yang menimpa pelajar SMA di Bandung, yang dikeluarkan karena membuat konten tidak etis terkait demo (kumparan.com, 2025), menjadi pengingat bahwa tanpa arah yang benar, keterlibatan remaja dalam aksi bisa disalahgunakan atau bahkan merugikan mereka sendiri. Di sinilah pentingnya kerangka Islam untuk menuntun energi kritis pemuda menuju perubahan yang benar-benar menghapuskan kezaliman.
Gen Z adalah generasi yang penuh energi, kreatif, dan berani. Namun, energi itu tidak boleh hanya diwadahi dalam estetika visual atau mekanisme pertahanan psikologis. Islam menawarkan jalan perubahan yang nyata, dengan menyalurkan potensi pemuda pada perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan yang hakiki. Karena, hanya dengan Islam, perlawanan terhadap kezaliman bisa menghasilkan perubahan sistemik, bukan sekadar ekspresi temporal.