
Oleh: Uswatun Khasanah (Muslimah Brebes)
Linimasanews.id—Kasus pembunuhan anak di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menyoroti situasi yang makin genting yang dihadapi anak-anak. Nyawa mereka terancam, terjebak dalam berbagai tantangan yang dihadapi orang tua dan orang-orang terkasih mereka. Ini bukan insiden pertama. Kasus ini telah terjadi di tahun-tahun sebelumnya dan terus berulang, dengan potensi terulang di masa mendatang.
Filisida atau filicide berasal dari bahasa Latin, gabungan dari kata filius (anak laki-laki), filia (anak perempuan) dan cide yang artinya membunuh. Istilah umum yang menggambarkan orang tua yang membunuh anak-anaknya, baik orang tua kandung maupun orang tua tiri.
Ada 5 kategori Filisida menurut Renick (1969). Pertama, Altruistic Filicide, ibu membunuh anak dengan keyakinan bahwa kematian akan menyelamatkan anak dari penderitaan, misalnya karena utang, kemiskinan atau aib keluarga. Kedua, Acutely Psychotic Filicide, dilakukan dalam kondisi psikotik, halusinasi atau delusi tanpa motif rasional.
Ketiga, Unwanted Child Filicide, terjadi ketika anak tidak diinginkan sejak awal, sering ditemukan pada kasus bayi baru lahir (neonaticide). Keempat, Accidental Filicide, terjadi akibat penganiayaan atau kekerasan berlebihan yang sebenarnya tidak ditujukan untuk membunuh. Kelima, Spouse Revenge Filicide, dilakukan untuk melukai pasangan, misalnya karena perslingkuhan atau konflik rumah tangga (metrotvnews.com, 9/9/2025).
Indonesia gawat Filisida. Di sepanjang tahun 2024, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengungkap, sebanyak 19.626 kasus kekerasan pada anak terjadi di Indonesia, dihitung dari laporan yang masuk melalui sistem online Simfoni PPA. Sebanyak 15.240 korban merupakan anak perempuan dan 6.406 lainnya korban anak laki-laki.
Kementerian PPPA menegaskan pentingnya sistem perlindungan anak berbasis masyarakat melalui program Kota Layak Anak (KLA). Dalam hal ini, perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Di samping program KLA, pemerintah juga menguatkan masyarakat melalui pembangunan Ruang Bersama Indonesia (RBI) di tingkat desa dan kelurahan, diharapkan menjadi gerakan kolektif untuk melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk filisida.
Kasus-kasus yang berulang ini sebagian besar disebabkan oleh stres akut yang dialami oleh ibu. Penyebab stres yang dominan pada ibu adalah faktor ekonomi dan keluarga. Hingga kini, fenomena ini tampaknya siap menghancurkan struktur keluarga. Ini merupakan gejala masyarakat dalam sistem kapitalis sekuler yang korup dan destruktif.
Sekularisme memisahkan kehidupan dari agama, secara efektif telah menghilangkan peran alamiah seorang ibu. Memudarnya iman dan takwa, yang tak berakar dalam perilaku, merupakan faktor utama yang menyebabkan para ibu kehilangan akal sehatnya hingga akhirnya membunuh anak-anak mereka. Sekularisme memang membatasi agama dalam ruang sempit, yaitu dalam ritual ibadah itu sendiri, sehingga tidak mampu menjadi solusi bagi permasalahan kehidupan. Namun, Allah Swt. telah membekali manusia dengan seperangkat prinsip-prinsip agama untuk kehidupan di dunia ini, yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah.
Oleh karena itu, hilangnya peran alamiahnya seorang ibu sebagai pelindung anak dari segala ancaman merupakan konsekuensi dari sekularisme yang telah lama mengakar. Ideologi ini telah menyebabkan para ibu mengesampingkan peran agama. Demikian pula, sistem ekonomi kapitalis telah menyingkirkan kesejahteraan dari kehidupan masyarakat. Beban ganda ibu, yang juga diharapkan menafkahi keluarga, ditambah dengan tingginya biaya kebutuhan pokok, menyebabkan stres pada ibu, yang berujung pada tindakan kriminal.
Oleh karena itu, fenomena pembunuhan anak yang terjadi saat ini tidak cukup diatasi dengan meningkatkan kesehatan mental para pelaku. Permasalahan ini seharusnya mendorong negara untuk secara sistematis menghilangkan semua faktor penyebab masalah kesehatan mental pada ibu.
Dalam Islam, tanggung jawab untuk memelihara dan melindungi keluarga berada di tangan suami atau wali, bukan di tangan perempuan sebagai anak, istri, atau ibu. Hal ini dimaksudkan agar ibu dapat secara optimal memenuhi tanggung jawabnya dalam mengasuh dan membesarkan anak. Ketika suami atau wali tidak ada lagi, tanggung jawab atas nafkah dan perlindungan perempuan berada di tangan negara.
Di sisi lain, dalam sistem kapitalis saat ini, beban ekonomi jatuh pada para ibu. Keterpisahan mereka dari mengurus keluarga melemahkan kodrat keibuan mereka. Perhatian mereka terbagi, dengan kebutuhan untuk mengasuh anak dan rumah tangga sekaligus mencari nafkah. Lebih lanjut, pemerintahan negara didasarkan pada prinsip-prinsip sekuler, yang mengakibatkan pola interaksi sekuler dalam masyarakat.
Oleh karena itu, agar interaksi sosial bersifat islami, iman dan takwa harus hadir dalam diri individu. Hal ini, dengan pertolongan Allah, akan memastikan bahwa agama tetap menjadi landasan bagi semua urusan pribadi. Sejak saat itu, orang-orang akan mempelajari agama secara massal demi keselamatan di dunia dan akhirat.
Di luar ketakwaan individu dan masyarakat, negara juga harus memasukkan Islam ke dalam kebijakannya. Dengan demikian, keimanan rakyatnya dapat terjaga dan semua masalah dapat diselesaikan. Berkat hukum Islam, para ibu akan kembali ke peran alamiah mereka sebagai pengasuh anak-anak mereka.