
Oleh: Ika Kusuma
Linimasanews.id—Demo (demonstrasi) sejatinya adalah bentuk reaksi masyarakat terhadap kezaliman yang terus terjadi belakangan ini. Namun, ketika gen Z ikut ambil peran dalam aksi demo yang membuktikan mereka mulai melek politik, tidak sedikit juga yang meragukan peran mereka dan menganggapnya hanya sekadar fomo (fear of missing out) atau sekadar ikut-ikutan, mengingat label yang telah melekat pada mereka. Gen Z dikenal sebagai generasi yang penuh emosional dan haus pengakuan, meskipun mereka juga kreatif dan melek digital.
Mengomentari remaja yang ikut demonstrasi, Psikolog Universitas Indonesia (UI) Prof. Rose Mini Agoes mengatakan, meski demonstrasi bisa menjadi ajang belajar menyampaikan pendapat, namun mereka rentan terprovokasi karena kontrol diri yang belum matang (inforemaja.id, 2/9/2025). Sebab, meskipun demo bisa menjadi ruang berekspresi bagi mereka, namun juga penuh risiko. Kreativitas mereka yang masif menyampaikan protes lewat meme, poster visual hingga narasi digital, juga nyatanya rentan ditunggangi sejumlah kepentingan.
Kesadaran politik Gen Z hari ini sebenarnya bisa menjadi potensi besar menuju perubahan yang hakiki, asalkan diarahkan secara benar. Sayangnya, penggambaran karakter Gen Z berdasarkan ilmu psikologi justru mereduksi kesadaran politik mereka.
Tentu saja ini sejalan dengan pola pikir kapitalisme yang tidak menghendaki kesadaran politik tumbuh pada kaum muda. Maka dari itu, kapitalisme membatasi fokus Gen Z agar nyaman mengekspresikan diri hanya dalam ranah personal dan kultural saja, tidak secara struktural dan politis. Hal ini jelas tidak sesuai dengan konsep penciptaan manusia. Allah menciptakan manusia dengan gharizah baqa’ (naluri mempertahankan diri), termasuk mempertahankan diri dari kezaliman penguasa saat ini.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nidhamul Islam menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan gharizah baqa’ (naluri mempertahankan diri), gharizah nau’ (naluri melestarikan keturunan), serta gharizah tadayyun (naluri beragama). Dalam pandangan Islam, ketiga naluri manusia tersebut hanya bisa terpenuhi dengan sempurna ketika yang dijadikan tuntunan adalah syariat, bukan tuntunan psikologi semata.
Dengan demikian, naluri manusia akan bisa berkembang sesuai fitrahnya, termasuk respons terhadap kezaliman sebagai bentuk pertahanan diri dengan cara yang benar dan mendasar. Maka dari itu, kesadaran politik gen Z justru harus dibangkitkan agar demo tidak cukup berhenti pada isu-isu pragmatis saja, namun juga timbulnya kesadaran akan solusi mendasar untuk menghapus akar kezaliman.
Islam juga tidak pernah menyepelekan peran pemuda dalam membangun peradaban. Sejak masa Rasulullah saw., potensi pemuda telah menjadi garda terdepan dalam melakukan perubahan secara hakiki. Sebab itulah, pemuda tidak hanya dimaksimalkan potensinya dalam ranah personal saja, tetapi juga dibangun kesadaran politiknya sejak dini. Hal ini terbukti, sebagian besar sahabat yang ikut berjuang pada masa Rasulullah adalah dari kaum pemuda, seperti Ali bin Abi Thalib, Mus’ab bin Umair, Zubair bin Awwam, serta masih banyak tokoh pemuda lain yang menjadi garda perjuangan dan dakwah kala itu.
Menyampaikan kritik atau demonstrasi dalam Islam adalah kewajiban syariat sebagai bentuk penolakan terhadap kezaliman. Jadi, bukan sekadar ekspresi emosional sesaat. Islam mengatur muhasabah lil hukkam (koreksi terhadap penguasa). Hal ini didasarkan pada firman Allah, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Hanya saja, kesadaran politik pemuda saat ini masih sangatlah rendah. Kehidupan sekuler telah menghapus maklumat mereka tentang pentingnya syariat dalam mengatur kehidupan sehingga timbul paradigma politik hanya untuk sebagian kalangan saja, yang lain tidak wajib paham dan cukup menyimak saja. Inilah pola pikir kapitalisme yang merusak dan menjadi sumber permasalahan umat saat ini. Mereka tidak lagi paham bahwa Islam mengatur bukan hanya sebatas ibadah ritual, tetapi juga mengatur cara berpolitik, bernegara, dan bermasyarakat.
Karena itu, penting untuk menumbuhkan kesadaran politik bagi gen Z secara terarah demi memaksimalkan potensi pemuda sesuai fitrahnya. Dengan begitu, pemuda (gen Z) dengan segala potensinya bisa kembali menjadi garda terdepan menuju perubahan yang hakiki sesuai dengan syariat.