
Oleh: Yeni Purnama Sari, S.T.
(Muslimah Peduli Generasi)
Linimasanews.id—Musim hujan mulai menghampiri di berbagai wilayah Indonesia. Curah hujan tinggi dalam waktu lama diduga menjadi pemicu air pasang di laut karena menahan debit aliran sungai. Kuantitas air yang melebihi kapasitas inilah yang membuat luapan air kembali menuju daratan, sehingga terjadilah banjir yang menggenangi pemukiman warga, terutama di sekitar pesisir laut.
Pulau Dewata, Bali yang dikenal keindahan wisata terpopuler, kini berubah seketika akibat diterjang banjir. Berdasarkan kesimpulan Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) KLH, Dr. Mitta Ratna Djuwita bahwa adanya faktor multidimensi yang memicu banjir. Tidak hanya masalah alih fungsi lahan saja, melainkan pasang air laut, dan penyumbatan sistem drainase yang penuh sampah. Oleh karena itu, perlu penanganan yang serius dan menyeluruh. Diantaranya, perbaikan drainase dan mengelola sampah dari hulu ke hilir, mitigasi dampak banjir di kawasan pesisir, serta tata ruang yang sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan (Kompas.com, 16/09/25).
Hal serupa juga terjadi di Kabupten Lampung Barat. Banjir bandang yang dipenuhi lumpur dan kayu besar telah menghantam dan merusak puluhan rumah, sepeda motor, bahkan mobil milik warga. Kerugian diduga mencapai setengah miliyar rupiah, meskipun tidak ada korban jiwa. Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS), Hifzon Zawahiri mengungkapkan, alih fungsi lahan menjadi penyebab berkurangnya fungsi hutan di kawasan TNBBS sebagai daerah resapan air. Artinya, seluas 81.359 hektare atau 25,94 persen dari total luas kawasan TNBBS dialihfungsikan menjadi lahan terbuka, sehingga tanah longsor dan banjir mudah terjadi (Liputan6.com, 14/9/25).
Sesungguhnya hujan merupakan rahmat dan anugerah yang diturunkan Allah untuk memberikan manfaat bagi kehidupan, bukan sebagai musibah atau bencana. Banjir terjadi bukan semata karena intensitas hujan, melainkan peringatan bagi manusia yang berulah melebihi batas, serakah, dan tidak peduli terhadap alam seperti membuang sampah sembarangan, hingga eksploitasi hutan menjadi lahan terbuka. Daerah yang seharusnya menjadi resapan air, berubah menjadi bangunan dan gedung.
Semua itu bertujuan untuk industrialisasi pariwisata yang menjanjikan keuntungan materi, tanpa memandang kemaslahatan rakyat. Padahal rakyat nantinya menjadi korban atas kerusakan alam yang terjadi. Dengan bekal izin tata kelola lahan dari penguasa, maka para pemilik modal tak segan untuk memuaskan nafsu pribadi, tidak peduli jika harus menumbalkan alam. Bagi mereka, alam sebagai alat komoditas ekonomi yang harus dimanfaatkan sebanyak-banyaknya. Alam yang harusnya dijaga dengan baik, justru ternodai oleh tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, hak rakyat pun terampas, keamanan dan kenyamanan hilang.
Sistem kapitalisme demokrasi telah membuka ruang kebebasan bagi siapapun untuk mengeksploitasi alam dalam rangka membuka jaringan bisnis, tanpa memikirkan dampaknya bagi lingkungan dan masa depan generasi berikutnya. Sedangkan Islam melarang kepemilikan lahan atas individu, swasta maupun asing sebagai objek eksploitasi, melainkan amanah dari Allah yang dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Allah telah memperingatkan tentang kerusakan akibat keserakahan manusia.
Berbagai bencana yang menimpa negeri ini, seperti banjir merupakan sinyal kuat untuk mengakhiri paradigma sekuler yang lahir dari sistem Kapitalisme. Setidaknya umat menyadari bahwa Islam harus selalu diemban dimanapun dan kapanpun sebagai solusi atas permasalahan kehidupan. Dengan begitu, manusia bersungguh-sungguh menjaga dan mengelola alam dengan baik sesuai kebutuhan, sehingga tidak akan mengundang murka Allah.
Sebagaimana Allah berfirman, “Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 96)
Islam memiliki batasan dalam pengembangan ekonomi yang berkaitan dengan alam. Negara akan mengatur tata kelola lingkungan agar tetap lestari, menjaga daerah resapan air, dan pembangunan tidak mengganggu ekosistem yang ada. Negara bertindak sebagai pelayan umat dan penjaga kehidupan, sehingga akan memberikan sanksi tegas jika ada pelanggaran seperti pembukaan lahan liar dan pembangunan tanpa izin di daerah pesisir atau rawan bencana. Selain itu, rakyat akan dijamin oleh negara dalam pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, sehingga rakyat tidak terdorong untuk melakukan perusakan alam demi menopang kehidupan.
Fenomena banjir yang terjadi seharusnya menjadi pelajaran dan peringatan, bahwa terdapat kesalahan dalam tata kelola lingkungan alam yang dilakukan manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya umat kembali menerapkan sistem Islam, bukan hanya sebagai agama spiritual, tetapi secara menyeluruh yang mengatur hubungan manusia dengan Pencipta, diri sendiri, sesama dan juga alam semesta. Dengan demikian, Islam akan melahirkan individu maupun masyarakat yang bertakwa, dan negara yang mengurusi umat di dalam naungan Khilafah, sehingga saling bekerjasama untuk menjaga keseimbangan alam. Wallahualam bisawab.