
Oleh: Emil Apriani
Linimasanews.id—Belum lama ini Bali dihadapkan pada kenyataan pahit. Banjir besar yang terjadi sejak Selasa, 9 September 2025 menjadi banjir terparah dalam puluhan tahun terakhir. Banjir merendam enam kabupaten/kota. BNPB mencatat, korban meninggal hingga saat ini ada 18 orang. Ratusan lainnya terdampak dan mengungsi. Sementara pencarian korban hilang masih berlangsung. Status tanggap darurat hingga darurat bencana pun ditetapkan (detik.com, 14/9/2025).
Banjir besar ini jelas bukan sekadar bencana alam, melainkan buah dari salah urus tata ruang yang kronis, alarm keras kegagalan tata ruang, lemahnya perencanaan, serta dominasi kepentingan ekonomi atas kelestarian lingkungan. Sungai yang seharusnya menjadi jalur alami air, kini terimpit bangunan. Alih fungsi lahan sawah, hutan, serta daerah resapan air menjadi kawasan produksi dan pariwisata berlangsung masif demi kepentingan ekonomi. Pembangunan wisata ini memang mendatangkan pemasukan bagi Bali, tetapi memperburuk daya serap tanah, rusaknya keseimbangan ekologis, dan menurunnya kemampuan alami Bali mencegah bencana banjir.
Salah Tata Kelola
Di sinilah tampak wajah asli sistem kapitalisme. Pembangunan yang dilakukan bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, melainkan keuntungan pemodal. Hutan bisa ditebang demi membuka lahan produksi. Sungai bisa dipersempit demi bangunan komersial dan izin bisa diterbitkan meski jelas-jelas di kawasan rawan bencana. Dalam kerangka kapitalisme, tanah, hutan, air, bahkan ruang hidup rakyat diperlakukan sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi tanpa memikirkan daya dukung lingkungan.
Kapitalisme menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator utama keberhasilan. Sementara kelestarian alam dan keselamatan manusia dikorbankan. Maka tak heran ketika pariwisata Bali dijadikan mesin penghasil devisa pembangunan, akomodasi turis justru dibiarkan merusak hulu hingga hilir ekosistem. Banjir yang melanda Bali hanyalah salah satu contoh nyata dari bencana ekologis yang lahir dari paradigma kapitalistik.
Tragedi banjir ini seharusnya membuka mata bahwa masalahnya bukan sekadar salah izin atau lemahnya pengawasan. Akar persoalannya jauh lebih dalam, yakni sistem kapitalisme yang menempatkan kepentingan ekonomi di atas kepentingan lingkungan dan keselamatan rakyat. Selama sistem ini tetap dijadikan pijakan pembangunan, bencana demi bencana hanya akan terus berulang dengan korban jiwa dan kerugian yang kian besar.
Tata Kelola Alam dalam Islam
Sebaliknya, Islam menegaskan bahwa alam ini adalah amanah dari Allah SWT untuk dikelola dengan bijak, bukan dieksploitasi tanpa batas. Syariat Islam menempatkan bumi, hutan, air, dan segala sumber daya alam sebagai milik Allah yang harus dikelola sesuai aturan-Nya. Sumber daya vital tidak boleh diprivatisasi apalagi dikomersialisasikan demi keuntungan segelintir pihak. Karena itu, hutan, sungai, dan kawasan resapan tidak boleh dijadikan objek kepentingan ekonomi atau dikorbankan demi pembangunan yang hanya menguntungkan investor.
Al-Qur’an secara tegas melarang manusia merusak bumi. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Ar-rum ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar”. Ayat ini menegaskan bahwa kerusakan ekologis yang terjadi, termasuk banjir bandang akibat alih fungsi lahan dan pembangunan rakus ruang merupakan akibat ulah manusia yang mengabaikan aturan Allah.
Dalam pandangan Islam, negara wajib mengatur tata ruang dengan berlandaskan kemaslahatan, menjaga keseimbangan ekologis, serta melindungi rakyat dari ancaman bencana. Negara tidak boleh membiarkan pembangunan yang merusak daya dukung lingkungan, melainkan harus mengarahkan seluruh aktivitas pembangunan agar sejalan dengan prinsip syariah, yakni menjaga jiwa, menjaga harta, dan menjaga bumi sebagai bagian dari amanah manusia di muka bumi.
Islam juga tidak menjadikan pariwisata sebagai objek komersial atau sumber utama pemasukan negara sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Pembangunan pariwisata dalam Islam hanya bersifat pelengkap untuk kebutuhan manusia secara terbatas, bukan mesin akumulasi kapital yang merusak alam dan mengundang bencana. Dengan paradigma Islam, pembangunan tidak akan mengorbankan keseimbangan ekologis, melainkan berjalan seiring dengan perlindungan terhadap alam.
Negara akan memastikan tata kelola lingkungan berjalan dengan prinsip amanah, menjaga hutan dan daerah resapan sebagai milik umum yang tidak boleh dikuasai oleh investor, serta menempatkan keselamatan rakyat sebagai prioritas utama. Inilah jaminan nyata bahwa hanya dengan syariat Islam, pembangunan dapat selaras dengan kelestarian bumi dan keberlangsungan hidup manusia.