
Editorial —Kasus mutilasi seorang wanita muda di Surabaya yang dilakukan oleh kekasihnya sendiri kembali membuka mata kita pada bahaya laten gaya hidup bebas generasi muda. Potongan tubuh korban ditemukan dalam jumlah ratusan di kamar kos pelaku. Polisi menyebut motifnya sederhana, kesal karena pintu kos tak dibukakan, dan tertekan tuntutan ekonomi dari sang pacar. Namun di balik fakta kriminal ini, terdapat persoalan sosial yang jauh lebih dalam, normalisasi kohabitasi atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan.
Di Indonesia, tren kohabitasi makin jamak ditemui. Alasan yang dikemukakan pun beragam, ingin mengenal pasangan lebih dalam sebelum menikah, efisiensi biaya hidup, atau alasan praktis lainnya. Bahkan beberapa psikolog merasionalisasi fenomena ini dengan menyarankan agar pasangan yang ingin tinggal bersama setidaknya membuat kesepakatan terkait biaya, lokasi, serta batasan peran. Seakan-akan, tinggal satu atap dengan pasangan tanpa akad adalah sesuatu yang wajar dan normal.
Namun, di sinilah letak masalahnya. Normalisasi kohabitasi adalah buah dari sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Ketika manusia hidup tanpa pedoman halal-haram, maka setiap keputusan dilandaskan pada logika praktis semata. Cinta, amarah, hingga urusan ekonomi dilepaskan dalam bentuk paling mentah, tanpa kendali nilai transenden. Kohabitasi hanyalah satu pintu dari rangkaian panjang liberalisasi pergaulan yang kini dianggap “biasa” oleh generasi muda. Yakni pacaran, seks bebas, hingga kekerasan dalam relasi.
Negara seolah hadir hanya sebagai pemadam kebakaran. Aparat baru bisa bertindak setelah terjadi korban. Aktivitas pacaran, kohabitasi, hingga zina tidak dipandang sebagai tindak pidana. Barulah jika ada kematian, mutilasi, atau penganiayaan, hukum ditegakkan. Padahal, sistem sosial seharusnya mencegah kerusakan sejak hulu, bukan sekadar menjerat pelaku ketika kerusakan sudah menelan korban.
Dalam Islam, benteng pertama melawan perilaku menyimpang adalah ketakwaan individu. Pemuda yang memahami tujuan penciptaannya tidak akan menjadikan nafsu sebagai kompas hidup. Ia menjaga diri dari pacaran, zina, apalagi tinggal satu rumah tanpa akad. Ketakwaan pribadi diperkuat dengan kontrol masyarakat, amar makruf nahi mungkar. Masyarakat Islam aktif menasihati, mengingatkan, dan mencegah pergaulan bebas agar tidak menjadi budaya.
Di atas semua itu, negara memegang peran sentral. Sistem pendidikan Islam akan membentuk kepribadian islami sejak dini. Sistem pergaulan Islam menutup peluang bagi perzinaan dengan mengatur interaksi laki-laki dan perempuan. Dan sistem sanksi Islam menjerat setiap pelaku jarimah (pelanggaran syariat) dengan hukuman yang tegas, sehingga menimbulkan efek jera sekaligus menjaga kehormatan masyarakat.
Kohabitasi yang berbuah tragedi di Surabaya adalah alarm keras. Jika bangsa ini terus membiarkan sekularisme meracuni generasi muda, tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu. Sebaliknya, bila syariat Islam ditegakkan secara menyeluruh, maka generasi akan terlindungi, masyarakat terjaga, dan nyawa pun terselamatkan. [OHF]