
Oleh: Finis (Penulis)
Linimasanews.id—Suasana semarak mewarnai peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. di Dusun Krajan, Desa Kepuh, Kecamatan Kejayan, Pasuruan, Kamis (4/9/2025) malam. Ratusan warga mengikuti tradisi Arebbuan yang menjadi puncak perayaan Maulid Nabi. Dalam tradisi ini, warga berebut aneka barang yang digantung di atas sebuah ancak bambu. Mulai dari pakaian, sarung, celana, hingga uang receh. Usai lantunan selawat menggema, warga tanpa dikomando langsung berebut dengan penuh antusias (Bangsaonline.com, 5/9/2025).
Sesungguhnya, fenomena apa yang terjadi saat ini? Kelahiran Nabi saw. haruskah diperingati dengan sedemikian rupa?
Bershalawat kepada Rasul saw. adalah perintah Allah Swt. kepada hamba-Nya. Firman Allah Swt., “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Kita ternyata diperintahkan tidak hanya cukup bershalawat, tetapi juga meneladani Beliau. Allah Swt. berfirman, “Sungguh, pada (diri) Rasulullah itu telah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (hari) Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS Al-Ahzab: 21).
Cinta kita kepada Rasul tidak cukup dibuktikan dengan bersemangat, sementara perbuatan kita makin menjauh dari apa yang telah dicontohkan oleh Baginda Rasul saw. Cinta tidak hanya dikatakan melalui lisan, tetapi mengikuti apa yang dilakukan oleh seseorang yang dicintainya. Begitu juga cinta hamba kepada Rasul-Nya, lisan dan perbuatan haruslah sama, bukan sekadar manis di bibir saja. Lantas, sudahkah kita meneladani secara total perbuatan Baginda Rasul?
Kondisi masyarakat yang hidup dalam kepemimpinan kapitalisme-sekuler saat ini makin menjauhkan agama dari kehidupan. Masyarakat mengambil sebagian syariat dan mengabaikan sebagian syariat lainnya. Demikian juga keteladanan terhadap Rasulullah saw. juga sebatas ibadah ruhiyah semata, seperti salat, zakat, puasa, haji, berzikir serta bershalawat, dan lain-lain. Sementara, keteladanan Rasul saw. sebagai pemimpin negara yang menerapkan Islam secara kafah, baik di bidang pendidikan, kesehatan, politik, ekonomi, pergaulan, keamanan serta di bidang yang lainnya terabaikan. Akhirnya, terbentuklah masyarakat atau generasi yang baik secara ibadah, tetapi maksiat tetap jalan terus akibat tidak memahami Islam secara kafah (menyeluruh) seperti yang di dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw.
Agar momen Maulid bukan hanya sekadar rutinitas atau tradisi semata, saatnya kita mesti kembali pada keteladanan Nabi secara total (kafah). Yakni, dengan belajar Islam secara intensif, bergabung dalam jamaah dakwah yang menyuarakan Islam kafah, berdakwah melanjutkan kehidupan Islam demi tegaknya syariat Islam di muka bumi ini.
Kita harus meneladani metode dakwah Rasulullah di Makkah dengan menyeru kepada manusia untuk mentauhidkan Allah semata, hingga negara Islam tegak di Madinah dengan penerapan Islam secara kafah oleh negara. Tegaknya institusi Islam inilah yang kemudian mampu menghapus tradisi, budaya bahkan ideologi selain Islam hingga mampu terwujud Islam sebagai ideologi yang menjadi rahmatan lil alamin.