
Oleh: Yolanda Anjani, S.Kom. (Aktivis Dakwah)
Linimasanews.id—Erfin Fachrur Razi resmi dilantik sebagai Kepala Inspektorat Kota Medan oleh Wali Kota Medan, Rico Waas (Waspada.co.id, 10/9/2025). Prosesi pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan berlangsung di Ruang Rapat III Lantai IV Balai Kota Medan.
Publik dikejutkan oleh kabar pelantikan ini. Yang menjadi sorotan, pejabat penting itu ternyata merupakan sahabat SMA sang wali kota. Fakta ini menimbulkan tanda tanya besar, Apakah jabatan publik boleh dibagi-bagikan atas dasar kedekatan personal semata?
Kritik pun bermunculan. Bagaimana mungkin jabatan yang seharusnya menjadi benteng terakhir pengawasan pemerintahan justru diberikan kepada “teman lama”? Apakah rakyat bisa berharap pada independensi dan integritas seorang inspektur jika hubungan pribadinya begitu kental dengan kepala daerah?
Fenomena ini bukan sekadar persoalan satu kota, tetapi gambaran rusaknya sistem rekrutmen pejabat di negeri ini. Nepotisme yang dibiarkan menjalar hanya akan memperlemah tata kelola pemerintahan, membuka peluang korupsi, dan menghancurkan kepercayaan rakyat.
Jabatan jadi Warisan Kedekatan
Inspektorat adalah lembaga vital. Ia bertugas mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak terjadi penyimpangan. Jika posisinya diisi oleh orang dekat penguasa, maka fungsi pengawasan bisa lumpuh sejak awal.
Inilah wajah nyata politik sekuler hari ini, jabatan tidak lagi dimaknai sebagai amanah, melainkan sebagai hadiah loyalitas. Padahal, dalam sistem demokrasi modern, kita sering mendengar jargon meritokrasi, profesionalitas, dan transparansi. Namun faktanya, banyak jabatan publik justru dibagi atas dasar relasi, bukan prestasi.
Kondisi ini jelas bertentangan dengan semangat keadilan. Publik tentu berhak bertanya: Apakah tidak ada sosok lain yang lebih berkompeten, lebih berintegritas, dan lebih pantas mengisi jabatan itu? Jika ada, mengapa justru teman SMA yang dipilih?
Islam sejak awal telah menegaskan bahwa kekuasaan adalah amanah besar, bukan alat dagang, apalagi mainan persahabatan. Rasulullah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, setiap pemimpin, mulai dari kepala daerah hingga pejabat terkecil, akan ditanya oleh Allah tentang keputusannya. Jika jabatan diberikan bukan kepada ahlinya, itu berarti telah menyalahi amanah.
Dalam hadits lain, Rasulullah juga memperingatkan, “Apabila amanah disia-siakan, tunggulah saat kehancuran.” Beliau lalu ditanya, “Bagaimana maksud amanah disia-siakan?” Beliau menjawab, “Apabila urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari)
Nepotisme jelas merupakan bentuk nyata dari penelantaran amanah. Bukan hanya merugikan rakyat, tetapi juga menjerumuskan penguasa pada kehancuran moral dan politik.
Sistem Islam dapat Menghapus Nepotisme
Lalu, bagaimana solusinya? Islam tidak hanya mengecam nepotisme, tetapi juga memberikan sistem pencegahannya. Dalam Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, jabatan publik diisi berdasarkan kompetensi, ketakwaan, dan kemampuan mengemban tugas—bukan berdasarkan hubungan darah, kekerabatan, atau pertemanan.
Khalifah sebagai pemimpin negara Islam tidak boleh memberikan jabatan kepada orang dekatnya hanya karena loyalitas. Ia terikat dengan hukum syariat yang mewajibkan pemilihan pejabat secara profesional dan transparan.
Beberapa prinsip penting dalam Daulah Islam yang penting kita ketahui adalah pertama, jabatan merupakan amanah, bukan milik pribadi. Kedua, pengangkatan pejabat harus melalui seleksi syar’i, berbasis kapasitas dan kelayakan. Ketiga, setiap pejabat tunduk pada syariah dan diawasi oleh Mahkamah Mazhalim (pengadilan khusus untuk penguasa). Keempat, rakyat berhak menuntut jika ada penyalahgunaan wewenang.
Dengan mekanisme ini, peluang nepotisme akan tertutup rapat. Penguasa tidak bisa semena-mena karena ia sadar setiap kebijakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan rakyat.
Kasus pelantikan teman SMA sebagai Kepala Inspektorat di Medan hanyalah satu contoh dari banyak praktik nepotisme di negeri ini. Selama sistem sekuler kapitalistik dipertahankan, kasus serupa akan terus berulang. Sudah saatnya umat sadar bahwa solusi tidak cukup dengan mengganti figur, melainkan perubahan sistem.
Islam dengan sistem khilafah telah memberikan mekanisme yang adil, bersih, dan amanah dalam pengelolaan jabatan publik. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)
Maka, mari berhenti berharap pada sistem yang rusak. Nepotisme hanya bisa dihentikan secara tuntas dengan kembali pada aturan Allah dengan menegakkan kepemimpinan Islam dalam bingkai Daulah Islamiyah.