
Oleh: Mukhlisatun Husniyah (Muslimah Peduli Generasi)
Linimasanews.id—Indonesia yang penduduknya merupakan mayoritas muslim justru marak mengalami kasus kriminal, salah satunya pembunuhan. Banyak motif yang menyebabkan seseorang menjadi pelaku kriminal. Nyawa saat ini tak ada harganya. Siapa pun bisa menjadi korban. Seseorang bisa menghabisi siapa saja, bahkan orang terdekatnya.
Beberapa waktu lalu, di Lampung Tengah, seorang pria beristri Suryadi (42) membunuh siswi SMK berinisial AD (15) yang berasal dari Lampung Timur yang merupakan kekasih gelap Suryadi. Kejadian ini bermula ketika AD meminta uang 8 juta untuk membeli iphone. Tersangka yang tidak sanggup memberikan sejumlah uang tersebut kemudian menganiaya korban hingga tewas (Tribunnews.com, 19/9/2025).
Tak jauh berbeda, seorang remaja berinisial FF (16) ditangkap polisi setelah membunuh kekasihnya, seorang mahasiswi asal Nusa Tenggara Timur (NTT) berinisial IM (23), di Ciracas, Jakarta Timur. Aksi nekat itu terjadi karena pelaku cemburu setelah melihat foto korban bersama pria lain (Tribunnews.com, 17/9/2025).
Miris
Sungguh miris kondisi negeri ini, generasi muda terjangkit virus merah jambu tanpa rambu-rambu. Pergaulan mereka tanpa batas aturan. Akhirnya, banyak pintu mendekati zina, hingga berakhir hina, bahkan pembunuhan menjadi hal biasa.
Hilangnya peran orang tua dalam pendampingan dan abainya masyarakat menjadi faktor rusaknya generasi. Negara pun seolah melegalkan zina dan tidak menerapkan sanksi tegas terhadap pelaku yang terlibat pembunuhan. Hukum yang diberikan tidak ada efek jera bagi pelaku, sehingga muncul kejahatan sama dengan motif yang berbeda.
Sistem kapitalisme sekuler yang dianut saat ini memisahkan agama dari kehidupan. Inilah penyebab utama segala persoalan. Gaya hidup liberal membuat seseorang merasa bebas bertindak dalam kehidupannya. Baik ketika marah, cinta, maupun senang. Seseorang bisa melampiaskan dengan cara apa pun sesuka hatinya, tidak peduli caranya halal atau haram.
Di sistem kapitalis sekuler ini, aktivitas pacaran dianggap hal yang normal dan diwajarkan. Padahal, pacaran adalah perbuatan yang mendekati zina dan diharamkan dalam Islam. Selain itu, banyak dampak negatifnya, salah satunya, berujung menjadi korban pembunuhan.
Negara yang bersistem kapitalis sekuler ini tidak membentuk rakyatnya agar memiliki pemahaman yang benar dalam menjalani kehidupan, yakni pemahaman Islam. Bahkan, mendukung aktivitas pacaran dan perzinaan. Bahkan, beberapa masyarakat beranggapan bahwa seseorang yang tidak memiliki pacar akan susah mendapat jodoh, tidak laku, atau dianggap tidak normal.
Urgensi Sistem Islam
Fakta ini menunjukkan begitu pentingnya untuk memahamkan masyarakat akan sistem sosial atau pergaulan dalam Islam. Dalam Islam, ketakwaan individu adalah benteng awal bagi seseorang agar mampu bertindak sesuai tujuan penciptaan. Dengan ketakwaan, seseorang akan menjauhi hal-hal yang diharamkan oleh Islam. Di antaranya, pacaran dan membunuh.
Selain ketakwaan individu, diperlukan juga kontrol masyarakat dengan aktif mengingatkan dan mencegah kemungkaran. Dalam Islam, perbuatan zina termasuk dalam dosa besar. Dalam firman Allah Swt. melarang mendekatinya. “Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.” (QS. Al-Isra’: 32).
Bagi pelaku zina tersebut, Islam memberikan sanksi yang tegas sehingga memberi efek jera, yaitu dicambuk seratus kali bagi yang belum menikah, dan hukuman rajam sampai meninggal bagi yang sudah menikah. Hal ini tentunya membuat masyarakat menghindari perbuatan yang dilarang tersebut.
Sedangkan untuk pelaku pembunuhan yang disengaja, dalam Islam berlaku hukum qisas (hukuman setimpal). Maka, hukuman yang tepat bagi pelaku pembunuhan, yaitu hukuman mati. Hal ini berbeda dengan hukuman di Indonesia saat ini, yakni pelaku pembunuhan hanya dapat diancam pidana penjara paling lama 15 tahun (Pasal 338 KUHP lama dan Pasal 458 ayat (1) UU 1/2023). Hukuman tersebut tak memberi efek jera bagi masyarakat. Karenanya, masih banyak terjadi kasus pembunuhan yang disengaja.
Karena itu, penting bagi negara untuk menerapkan sistem Islam secara kafah. Negara juga mesti berperan aktif membentuk rakyatnya agar berkepribadian Islam melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam, menerapkan sistem pergaulan Islam, serta melaksanakan sistem sanksi Islam pada pelaku jarimah (pelanggaran terhadap hukum syariat).
Penerapan syariah Islam secara kaffah hanya mungkin dijalankan saat umat hidup dalam naungan Khilafah. Inilah kewajiban dan keniscayaan secara agama dan realita. Tanpa itu, mustahil persoalan ini dapat diselesaikan.