
Oleh: Yulia (Pegiat Pena Banua)
Linimasanews.id—Generasi Z dikenal sebagai generasi yang menguasai teknologi digital. Usia Generasi Z hari ini menunjukkan masa produktif dalam hidupnya. Selain itu, ahli psikologi mengungkap ada fakta menarik pada generasi Z, yaitu rentan terserang penyakit mental. Gangguan kesehatan mental di kalangan Gen Z atau generasi Z meningkat sebesar 200%.
Dilansir dari situs Kementerian Kesehatan, sebanyak 6,1 persen penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun menderita masalah kesehatan mental. Psikiater dr. Lahargo Chamberlain dari SpKJ pun membenarkan adanya peningkatan tersebut. Dalam praktik klinis, Lahargo menemukan bahwa gangguan mental health yang paling umum di kalangan Gen Z adalah gangguan kecemasan, depresi, dan bunuh diri (Vokasi UNAIR, 15/09/2025).
Salah satu penyakit mental tersebut adalah duck syndrom (sindrom bebek), yaitu kondisi dimana seseorang merasa tenang dan baik-baik saja, tetapi sebenarnya mengalami tekanan dan kepanikan dalam memenuhi tuntutan kehidupan. Hal ini digambarkan seperti bebek yang berada di permukaan air tampak tenang, padahal kakinya di bawah air sedang berusaha berenang.
Penyebab dari sindrom bebek ini, di antaranya pengaruh media sosial yang menuntut seseorang untuk memiliki kehidupan sempurna. Selain itu, akibat terpapar citra kehidupan orang lain yang terlihat sempurna. Hal ini pula yang akhirnya membuat seseorang memiliki standar ekspektasi tinggi yang mendorongnya meraih kesuksesan di bidang akademik maupun karier.
Banyaknya tuntutan kehidupan tersebut juga membuat mereka untuk serba bisa atau multitasking. Hal inilah yang membuat mereka mengalami tekanan dalam hidup yang tidak dapat diungkapkan. Dengan kata lain, mereka yang mengalami sindrom bebek ini harus pura-pura bahagia di atas luka yang tidak bisa diungkapkan.
Dengan demikian, sindrom bebek ini akan menimbulkan dampak bagi pribadi seseorang. Stres dan kecemasan adalah gejala ringan yang apabila dibiarkan akan menimbulkan depresi hingga kemungkinan terburuk adalah bunuh diri. Sebagaimana kasus-kasus bunuh diri yang terjadi di kalangan pemuda yang diawali dengan stres. Dampak ini sangat merugikan bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya yang juga akan ikut terdampak jika tidak segera diatasi.
Jati Diri Pemuda Muslim
Generasi muslim seharusnya tidak mudah terserang sindrom bebek ini. Sayangnya, sistem kehidupan saat ini membuat pemuda Islam jauh dari jati diri mereka sebenarnya. Standar hidup yang telah Allah tentukan dalam Al-Qur’an yang harusnya dipakai oleh pemuda muslim, kini berubah menjadi standar Barat. Keteladanan terbaik yang seharusnya diikuti oleh pemuda muslim adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, kini banyak pemuda malah memilih mengikuti tren artis atau tokoh Barat yang standar hidupnya bukan mengikuti aturan Islam. Dengan demikian, banyak pemuda muslim saat ini yang tidak mengetahui jati dirinya, bahkan tidak mengetahui tujuan hidupnya sehingga membuat mereka menjalankan kehidupan sesuai dengan hawa nafsunya.
Fakta-fakta di atas berbanding terbalik dengan keadaan pemuda di Gaza yang di balik reruntuhan, ada kekuatan besar yang berasal dari keimanan mereka. Sebagaimana yang kita lihat di berbagai media, sekalipun serangan bom tidak pernah berhenti dan kelaparan melanda, mereka hampir tidak pernah mengeluh dengan keadaan tersebut.
Sebagaimana diungkapkan Dr. Al-Faroukh, dikutip dari Aljazeera, BBerdasarkan pengamatan dan data dari berita dan rekan-rekan yang bekerja dengan warga Gaza, warga Gaza memiliki tingkat ketahanan mental yang sangat tinggi dan belum pernah terjadi sebelumnya di dunia. Bahkan, beberapa korban yang kehilangan anggota keluarga atau rumah mereka dalam perang tidak menunjukkan tanda-tanda gangguan pasca trauma sama sekali, malah mereka terlihat memiliki ketahanan mental yang sangat tinggi”.
Sumber kekuatan yang dimiliki oleh mereka adalah Al-Qur’an yang setiap ayatnya bersemayam dalam hati dan pikiran mereka sebagaimana firman Allah yang artinya, “(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya, “Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” (QS: Ali Imran: 173)
Para orang tua di Gaza tidak meninggalkan harta warisan, namun mereka mewariskan keimanan yang luar biasa kepada anak-anak mereka. Hal inilah yang membedakan pemuda di Gaza dengan pemuda di belahan dunia lain yang mudah terserang penyakit mental karena tidak memiliki sandaran kuat.
Kita juga dapati bahwa standar kebahagiaan pun jauh berbeda. Di dalam dunia sekuler kapitalis hari ini, kebahagiaan seseorang berbeda-beda, tidak dapat didefinisikan. Sedangkan dalam Islam, kebahagiaan itu adalah buah dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang akan melahirkan ketenangan dalam jiwa seseorang. Terlepas keadaan fisiknya sedang digempur hingga terluka, iman Islam membuat warga Gaza tetap tenang dalam menjalankan kehidupan.
Sebagaimana pemuda Gaza yang kuat karena keimanannya, begitu pula seharusnya pemuda kaum muslimin di seluruh negeri, yakni harus memiliki keimanan yang kuat. Namun, hal itu tidak akan kita temukan jika tidak bangkit dan berupaya untuk mengubah keadaan umat Islam hari dari kemunduran dalam berbagai aspek kehidupan akibat kehidupan sekuler kapitalis. Maka, kaum muslimin harus menyadari bahwa mereka harus terus belajar dan memahami syariat Allah yang akan membawa kaum muslimin kembali kepada masa kejayaannya.