
Oleh: Nur Anisa Saleha (Mahasiswa dan aktivis muslimah)
Linimasanews.id—Dunia sedang menyaksikan sesuatu yang langka: generasi muda kembali peduli terhadap nasib umat. Aksi solidaritas Gen Z di berbagai belahan dunia, dari Bandung hingga Maroko, menunjukkan bahwa nurani belum mati. Mereka turun ke jalan, mengibarkan bendera Palestina, menuntut keadilan, dan menolak normalisasi penjajahan. Namun, di balik semangat itu, ada satu hal yang harus diwaspadai: upaya sistematis untuk mengarahkan empati mereka kepada solusi palsu – “Two-State Solution.” Yaitu sebuah konsep yang terdengar damai, tapi sejatinya adalah perangkap politik global yang justru mempermanenkan penjajahan dan mematikan semangat pembebasan hakiki.
Flotilla Diblokade, Kemanusiaan Dihina
Peristiwa pencegatan kapal-kapal Global Sumud Flotilla menjadi simbol telanjang betapa palsunya wacana “perdamaian” yang selama ini dijual dunia internasional. Kapal-kapal itu membawa obat, makanan, dan harapan untuk Gaza , bukan senjata. Namun, apa yang terjadi? Mereka ditahan, diculik, dan diblokade oleh Israel. Dunia melihat dengan mata kepala sendiri: yang dihalangi bukan militer, tapi kemanusiaan. Aksi protes pun pecah di berbagai kota dunia, London, Paris, Roma, Brussel, hingga Bandung dan Rabat. Generasi muda bersatu melawan ketidakadilan. Namun sayangnya, banyak di antara mereka belum memahami akar masalahnya: bahwa tidak ada perdamaian sejati di bawah konsep Two-State Solution.
Two-State adalah Solusi Palsu
Two-State Solution digambarkan seolah-olah jalan tengah yang damai, dua negara berdampingan, Palestina dan Israel, hidup berdampingan secara damai. Namun, sejarah berbicara lain. Sejak Oslo Agreement (1993), wilayah Palestina justru makin menciut. Pos-pos militer, tembok apartheid, dan pemukiman ilegal terus bertambah, sementara rakyat Palestina kehilangan hak dasar mereka atas tanah, air, bahkan udara. Two-State Solution bukan jalan damai, melainkan mekanisme legalisasi penjajahan. Ia membagi tanah kaum muslim dan mengakui eksistensi negara yang berdiri di atas darah dan penindasan. Dengan kata lain, Two-State Solution adalah kompromi terhadap kezaliman. Bahkan banyak analis independen di dunia Barat sendiri menyebutnya sebagai “dead solution” , solusi mati yang hanya menenangkan hati lembaga donor dan elit politik global, bukan rakyat tertindas di Gaza.
Perspektif Islam: Haramnya Kompromi atas Tanah Umat
Dari pandangan Islam, tanah Palestina adalah tanah kaum Muslimin, bukan milik pribadi atau kelompok. Ia adalah amanah yang harus dijaga, bukan dikorbankan atas nama politik diplomasi. Sebagaimana firman Allah, “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka ….” (QS. Hud: 113)
Ayat ini menegaskan, mencari kompromi dengan kezaliman adalah bentuk kezaliman itu sendiri. Maka, ketika sebuah solusi mengharuskan umat Islam mengakui keabsahan penjajahan dan membiarkan wilayah kaum muslim dirampas, maka solusi itu haram secara syar’i. Islam tidak mengenal solusi separuh jalan terhadap penindasan. Dalam Islam, keadilan hanya akan tegak jika kebenaran ditegakkan sepenuhnya, bukan dinegosiasikan.
Jihad dan Khilafah: Jalan Hakiki Pembebasan
Kata “jihad” sering ditakuti dan disalahpahami. Padahal jihad dalam Islam bukan hanya perang fisik, tapi juga perjuangan total menegakkan keadilan dan kebenaran. Ia mencakup perjuangan intelektual, politik, sosial, ekonomi, dan diplomasi, selama tujuannya adalah menghapuskan kezhaliman dan menegakkan hukum Allah di muka bumi. Dalam konteks Palestina, jihad berarti perjuangan menyeluruh: Membuka blokade kemanusiaan, Menekan politik global yang membela penjajahan, dan Menyatukan kekuatan umat di bawah kepemimpinan yang benar.
Di sinilah peran Khilafah Islamiyah menjadi sentral, bukan sebagai simbol nostalgia, tetapi sebagai sistem politik yang mampu mengkoordinasikan kekuatan umat Islam secara global. Khilafah bukan utopia, melainkan keniscayaan sejarah: sistem yang dulu pernah menegakkan keadilan, membebaskan negeri-negeri tertindas, dan menjaga martabat manusia. Tanpa struktur politik global yang satu, perjuangan umat Islam akan terus tercerai-berai dan mudah dipatahkan oleh kekuatan kolonial modern.
Peran Gen Z: dari Simpati Menuju Kesadaran Ideologis
Generasi Z memiliki peran besar dalam sejarah kebangkitan umat. Mereka tumbuh di dunia digital, cepat mencerna informasi, dan tidak mudah dibungkam oleh propaganda media arus utama, tetapi mereka juga harus belajar membedakan antara narasi dan solusi. Turun ke jalan adalah langkah awal, tetapi memahami arah perjuangan adalah inti dari perubahan.
Gen Z harus menjadi generasi yang tidak hanya “tergugah oleh penderitaan,” tapi juga tercerahkan oleh kebenaran. Menolak Two-State Solution berarti menolak normalisasi kezaliman. Sedangkan menerima jihad serta sistem Islam kaffah berarti menegakkan keadilan sejati yang tidak tunduk pada tekanan global.
Dari Bandung Menuju Kebangkitan Umat
Dari aksi solidaritas di Bandung, kita melihat semangat. Dari Maroko, kita mendengar teriakan. Adapun dari Gaza, kita belajar keteguhan. Semua ini menunjukkan satu hal: umat telah bangkit, tetapi arah perjuangannya harus diluruskan. Kita tidak butuh solusi politik buatan penjajah. Kita butuh keberanian untuk kembali pada aturan Allah.Sebab, pembebasan Palestina bukan sekadar urusan bangsa, tapi urusan iman. Generasi yang beriman tidak akan puas dengan damai semu, karena mereka tahu, tidak ada perdamaian sejati tanpa keadilan Islam.
Maka dengan kejadian pencegatan adalah merupakan bukti Zionist hanya bisa di taklukkan dengan bahasa perang bukan perdamaian. Solusi Two State yang ditawarkan adalah haram, maka jalan satu-satunya hanyalah Jihad dan Khilafah sebagai solusi hakiki membebaskan Palestina.