
Oleh: Rahma Inayah (Aktivis Muslimah)
Linimasanews.id—Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak awal digadang-gadang sebagai solusi jangka panjang untuk menekan angka stunting di Indonesia. Melalui pemberian makanan harian bagi siswa sekolah, pemerintah berharap tumbuh kembang anak lebih terjamin, kualitas pendidikan meningkat, dan generasi mendatang lebih sehat.
Namun, di balik semangat tersebut, pelaksanaan MBG justru memunculkan banyak masalah. Kasus keracunan massal yang menimpa ribuan siswa di berbagai daerah menjadi tamparan keras bagi pemerintah. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat hingga 21 September 2025 terdapat 6.452 anak yang menjadi korban keracunan. Sementara data Badan Gizi Nasional (BGN) per 25 September 2025 mencatat 5.914 anak terdampak. Perbedaan ini menunjukkan lemahnya transparansi pelaporan antarlembaga (detikHealth, 29/9/2025).
Meski pemerintah menyebut kasus tersebut hanya terjadi pada 0,00017 persen dari total porsi makanan, angka kecil itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menutup mata. Di balik persentase tersebut, ada ribuan anak yang menderita, orang tua yang panik, serta rumah sakit yang kewalahan menangani pasien.
Alih-alih menunjukkan empati dan tanggung jawab, respons pemerintah justru defensif. Narasi yang dibangun menekankan bahwa MBG hanyalah butuh “perbaikan teknis”. Padahal, masalah ini jelas bersifat sistemis, bukan sekadar kesalahan operasional di lapangan. Sikap seperti ini hanya menyepelekan penderitaan korban dan mengabaikan akar persoalan yang jauh lebih serius.
Akar Masalah: Dari Sanitasi hingga Sistem yang Tergesa-gesa
Jika ditelusuri, penyebab keracunan MBG bukanlah misteri. Ada sejumlah faktor mendasar yang bisa diidentifikasi, antara lain:
Pertama, kapasitas dapur mitra berlebihan tanpa fasilitas penyimpanan memadai dan tenaga masak yang tidak terlatih secara higienis. Kedua, distribusi yang jauh dan tidak efisien, menyebabkan makanan basi sebelum diterima siswa.
Ketiga, sanitasi dan air bersih di banyak lokasi tidak memenuhi standar kesehatan. Keempat, pengawasan yang lemah, minim tenaga ahli gizi serta jarang dilakukan inspeksi dari puskesmas. Kelima, pelaksanaan tergesa-gesa, digelar serentak tanpa uji coba atau pilot project yang matang.
Keenam, pengadaan bahan baku terburu-buru, sebagian pemasok tidak memenuhi standar, bahkan guru diminta membantu distribusi tanpa pelatihan higienis. Ketujuh, potensi bancakan proyek, karena rantai pengadaan yang besar membuka peluang inefisiensi dan penyimpangan anggaran.
Kombinasi faktor tersebut membuat kasus keracunan berulang dan meluas di berbagai daerah.
Program Populis Sarat Kepentingan
Sejak awal, MBG diluncurkan secara nasional tanpa menyesuaikan kapasitas daerah. Akibatnya, ada wilayah yang siap, ada pula yang kewalahan. Banyak guru terbebani tugas tambahan, makanan terbuang karena kualitas buruk, dan sejumlah kasus berujung pada keracunan massal.
Tujuan MBG untuk mencetak anak sehat memang mulia, tetapi hasilnya belum bisa dibuktikan. Data SSGI 2022 menunjukkan prevalensi stunting sebesar 21,6%, turun menjadi 19,8% pada 2024. Penurunan ini merupakan hasil dari berbagai program lintas sektor, bukan semata-mata MBG. Karena itu, klaim keberhasilan program ini masih lemah dan cenderung prematur.
Lebih jauh, MBG kental dengan aroma populisme politik. Skala besar dan pelaksanaan serentak menunjukkan ambisi pencitraan, bukan perencanaan matang. Penunjukan mitra pelaksana Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tanpa mekanisme verifikasi terbuka membuka peluang konflik kepentingan. Banyak lembaga pelaksana bahkan berafiliasi dengan partai politik atau kelompok kekuasaan tertentu.
Alhasil, MBG lebih menonjolkan kuantitas porsi ketimbang kualitas gizi dan keamanan pangan. Di sisi lain, anggaran besar justru rawan diselewengkan melalui proyek pengadaan barang dan jasa. Ketika kepentingan politik lebih diutamakan daripada keselamatan anak, rakyatlah yang menjadi korban.
Solusi Fundamental: Mengubah Akar Sistem
Masalah MBG tidak hanya soal teknis, tetapi juga mencerminkan sistem kebijakan yang salah arah. Pola pikir kapitalistik menjadikan rakyat sebagai objek program, bukan subjek yang dilayani. Untuk membangun generasi sehat dan cerdas, dibutuhkan sistem yang menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai amanah, bukan komoditas politik.
Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan adalah tanggung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari, dari Abdullah bin Umar)
Dalam sistem khilafah, negara berperan sebagai pelayan umat, memastikan distribusi sumber daya berjalan adil dan kebutuhan dasar rakyat terpenuhi. Pendapatan negara berasal dari sumber yang sah, seperti fai’, kharaj, dan hasil kekayaan alam yang dikelola untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan segelintir elite.
Negara wajib menciptakan lapangan kerja, menjaga kestabilan harga, dan memastikan daya beli masyarakat tetap tinggi. Dengan begitu, setiap keluarga mampu menyediakan makanan bergizi secara mandiri tanpa bergantung pada program populis.
Alhasil, hanya sistem Islam yang mampu menjamin kesejahteraan sejati, melahirkan generasi sehat, kuat, dan berdaya. Selama kebijakan masih berakar pada paradigma kapitalistik, rakyat akan terus menjadi korban eksperimen kebijakan yang gagal seperti MBG.