
Oleh: Diana Wijayanti
Linimasanews.id—Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat tambang ilegal diperkirakan mencapai sekitar Rp300 triliun. Aset yang disita, seperti alat berat, logam timah, tanah, dan fasilitas smelter, memiliki nilai mencapai Rp6-7 triliun (CNN Indonesia.com, 6/10/2025). Prabowo pun menegaskan bahwa tambang ilegal bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap kepentingan bangsa karena merampas kekayaan alam yang seharusnya milik seluruh rakyat.
Sedangkan di Indonesia, data menunjukkan ada lebih dari 2000 titik pertambangan tanpa izin, yang tersebar di berbagai daerah. Fakta ini memperlihatkan tata kelola sumber daya alam di Indonesia telah menjadi masalah sistemis, bukan teknis.
Faktanya, selama bertahun-tahun, pengelolaan tambang dilakukan dengan pola yang merugikan negara, namun dibiarkan tanpa solusi berarti. Sumber daya alam yang semestinya dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat malah dikuasai oleh segelintir korporasi besar yang mengejar keuntungan. Masyarakat di sekitar tambang sering kali hidup dalam kemiskinan dan mengalami kerusakan lingkungan, sementara negara terkesan tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap masalah ini.
Penyebab utama dari permasalahan ini adalah penerapan sistem kapitalisme sekuler, yang menempatkan keuntungan materi sebagai tolok ukur utama dalam kebijakan ekonomi dan politik. Dalam sistem ini, negara cenderung berperan sebagai fasilitator dan regulator bagi kepentingan korporasi, bukan sebagai pelindung bagi rakyat. Ketika agama dipisahkan dari urusan ekonomi dan politik, pengelolaan sumber daya alam pun diatur berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia. Akhirnya, mengarah pada eksploitasi tanpa batas. Dampaknya adalah kerusakan lingkungan, kesenjangan sosial, dan kemiskinan struktural yang terus berulang.
Bagaimana harusnya pengelolaan tambang? Dalam pandangan Islam, pengelolaan tambang harus dilakukan dengan tujuan yang lebih mulia, yaitu untuk kemaslahatan rakyat. Sumber daya alam seperti tambang, termasuk dalam kategori milkiah ammah (kepemilikan umum), yang berarti kekayaan tersebut diciptakan Allah untuk dimanfaatkan oleh seluruh rakyat, bukan untuk dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu.
Rasulullah saw. mengajarkan dan bersabda bahwa umat Islam berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api—yang mencakup segala sumber daya alam seperti minyak, gas, batu bara, dan hasil tambang lainnya. Oleh karena itu, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan tambang kepada perusahaan swasta, apalagi yang berasal dari asing, karena ini akan merugikan rakyat dan mengalihkan kekayaan umat kepada segelintir orang, terlebih dari negara asing.
Imam As Syafi’i dalam karyanya Al-Um menjelaskan bahwa penguasa tidak boleh memberikan izin kepada individu untuk memiliki sesuatu yang menjadi kebutuhan bersama umat. Pengelolaan tambang dalam sistem Islam bukanlah untuk mengejar keuntungan pribadi atau korporasi, tetapi untuk memastikan kesejahteraan rakyat. Negara memiliki kewajiban untuk mengelola hasil tambang dan mendistribusikan manfaatnya, baik secara langsung melalui fasilitas publik, seperti pendidikan, kesehatan, maupun subsidi kebutuhan dasar masyarakat.
Hasil dan keuntungan yang diperoleh dari sektor tambang tersebut akan disalurkan melalui Baitul Mal, lembaga keuangan negara dalam sistem Islam, yang digunakan sepenuhnya untuk kepentingan umat. Dalam sistem Islam, negara berfungsi sebagai pengurus rakyat (ra’in), dan pengelolaan sumber daya alam menjadi bagian dari tanggung jawab moral untuk memastikan kemakmuran dan keberkahan bagi umat, bukan untuk memperkaya segelintir elite atau perusahaan besar.
Dalam naungan negara Islam (khilafah), setiap kebijakan ekonomi berlandaskan pada hukum syariat, bukan pada kepentingan kapital. Negara akan memastikan pengelolaan sumber daya alam dilakukan dengan prinsip amanah dan tanggung jawab kepada Allah, menutup peluang bagi korporasi untuk menguasai sumber daya strategis. Hanya dengan penerapan sistem Islam yang menyeluruh, pengelolaan tambang dan sumber daya alam lainnya dapat menjadi instrumen kesejahteraan yang hakiki bagi umat manusia, tanpa ada lagi kesenjangan sosial atau kerusakan lingkungan.
Secara keseluruhan, pada kempatan ini penulis mengajak seluruh umat Islam untuk merenungkan kembali pentingnya menerapkan sistem yang adil, yaitu Islam, yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat baik muslim maupun non muslim dan menjamin kesejahteraan umat dalam pengelolaan sumber daya alam.