
Oleh: Rosna Fiqliah (Pemerhati Sospol, Deli Serdang)
Linimasanews.id—Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa buka suara soal utang pemerintah yang mencapaiRp 9.138,05 triliun per Juni 2025 pengelolaannya dipastikan dilakukan secara hati-hati. Purbaya mengatakan, utang pemerintah Indonesia baru setara 39,86% terhadap produk domestik bruto (PDB). Level itu masih di bawah batas maksimal 60% PDB sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. “39% PDB dari standar ukuran internasional itu masih aman,” kata Purbaya (detik.com, 10/10/2025).
Namun, jika dicermati lebih dalam, ukuran aman tersebut sesungguhnya hanyalah berdasarkan standar ekonomi kapitalistik yang tidak melihat hakikat beban utang itu sendiri. Angka 39% mungkin tampak kecil dibandingkan batas 60%, tetapi di baliknya terdapat fakta bahwa sebagian besar penerimaan negara tersedot untuk membayar bunga dan cicilan.
Ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia belum benar-benar berdiri di atas kekuatan sendiri. Ketergantungan pada utang, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, memperlihatkan lemahnya struktur ekonomi yang tidak bertumpu pada pengelolaan kekayaan alam dan potensi rakyat. Lebih dari itu, utang sering disertai dengan syarat-syarat politik dan ekonomi yang membuat negara terikat pada kepentingan global, seperti liberalisasi sektor publik dan privatisasi sumber daya strategis.
Dengan demikian, yang disebut aman secara rasio, sesungguhnya menyembunyikan ketidakmandirian yang kronis, sementara rakyat terus menanggung dampaknya melalui pajak yang tinggi, harga kebutuhan yang naik, dan berkurangnya subsidi.
Dalam pandangan Islam, utang negara bukanlah jalan untuk membangun. Sistem Islam menolak ketergantungan pada pinjaman berbasis riba. Sebab riba diharamkan secara mutlak oleh Allah dalam Al-Qur’an. Negara seharusnya tidak membiayai kebutuhannya dengan cara yang menjerat, melainkan dengan mengelola kekayaan umat secara amanah dan sesuai syariat.
Islam memiliki sumber-sumber keuangan yang jelas dan stabil tanpa harus bergantung pada utang, seperti zakat, jizyah, kharaj, fai’, dan kepemilikan umum atas sumber daya alam. Seluruh hasil dari pengelolaan kekayaan umum seperti tambang, minyak, gas, hutan, dan laut harus dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat, bukan diserahkan kepada swasta atau asing. Dengan cara ini, negara memiliki pemasukan yang besar dan halal, serta tidak perlu menambah beban fiskal melalui utang ribawi.
Selain itu, sistem Islam menata pengeluaran negara melalui lembaga Baitul Mal yang dikelola secara syar’i. Tidak ada ruang bagi korupsi atau pemborosan karena setiap rupiah diatur berdasarkan hukum Allah. Jika terjadi kekurangan dana, negara akan menyesuaikan prioritas pengeluaran, bukan menempuh jalan pintas dengan berutang, bahkan dalam kondisi darurat sekalipun. Dalam hal ini, khalifah (kepala negara) dapat menggerakkan kekuatan umat untuk menutup kebutuhan negara dengan mekanisme yang adil dan sementara, tanpa menimbulkan ketergantungan.
Inilah keunggulan sistem ekonomi Islam di bawah naungan khilafah. Ia membangun kemandirian sejati, menolak riba, dan menata kepemilikan sesuai aturan Ilahi. Dengan sistem ini, pembangunan berjalan di atas keberkahan, bukan beban.
Maka, jalan keluar dari lingkaran utang bukanlah sekadar menjaga rasio di bawah batas aman, tetapi meninggalkan seluruh sistem kapitalistik yang melahirkan ketergantungan itu sendiri. Hanya dengan kembali kepada syariat Allah secara kaffah, umat dan negeri ini akan terbebas dari jeratan utang, dan berdiri tegak di atas kekuatan sendiri, serta memperoleh keberkahan dari langit dan bumi.