
Oleh: Irawati Tri Kurnia (Ibu Peduli Umat)
Linimasanews.id—Akhir-akhir ini gencar promosi tentang kemandirian finansial bagi perempuan (jawapos.com, 5/7/2024). Melansir unicef.or.id, promosi kemandirian finansial bagi perempuan masuk dalam salah satu program rencana pembangunan dalam Sustainable Development Goals. Dijanjikan bahwa jika perempuan mandiri secara finansial, maka kehidupannya akan makin baik. Sebab, dia memiliki penghasilan sendiri untuk menikmati kehidupannya.
Keyakinan ini pun dibangun di kalangan muslimah. Padahal, pandangan Islam berbeda sekali tentang hal ini. Mengapa sampai muncul pandangan bahwa ketika perempuan mandiri secara finansial, kualitas hidupnya akan membaik?
Problem ini sebetulnya muncul seiring dengan ketidaksejahteraan manusia secara keseluruhan, bukan hanya perempuan. Saat ini, dunia Islam berada dalam penjajahan negara-negara Barat, baik secara politik maupun budaya. Ada kegagalan yang telah terjadi dalam sistem kehidupan dunia saat ini karena diatur sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini gagal menyejahterakan manusia, termasuk di dalamnya perempuan.
Mirisnya, beban kegagalan ini justru dibebankan pada perempuan. Perempuan dituntut harus berkontribusi, yakni harus punya penghasilan agar tidak jatuh miskin. Padahal, yang menjadi akar masalah kemiskinan adalah kegagalan sistem kapitalisme sekuler dalam distribusi kekayaan di dunia hingga semua orang bisa menikmati nikmat yang telah Allah ciptakan di muka bumi ini.
Padahal, dalam Islam, perempuan memiliki hak istimewa, dijamin keamanan finansialnya. Jadi, bukan dituntut mandiri finansial. Allah menciptakan perempuan disertai hak keamanan finansial, yaitu dengan cara perempuan senantiasa dinafkahi, tidak pernah diwajibkan untuk menafkahi. Jangankan bagi orang lain, untuk dirinya sendiri saja perempuan tidak diwajibkan untuk menafkahi. Karena itu, perempuan selalu berada dalam keamanan finansial, selama dunia berjalan sesuai regulasi Islam dalam hal penafkahan.
Terbukti, sistem kapitalisme sekuler yang hari ini menjajah dunia Islam, tidak mampu memenuhi kebutuhan para perempuan. Terlebih lagi, ketika perempuan berada dalam situasi perceraian, tidak ada kepala keluarga karena meninggal, dan lain-lain. Para janda dan para perempuan dalam kategori ini, bisa dikatakan diabaikan oleh negara. Mereka diminta untuk mengurus diri mereka sendiri, sekalipun mereka itu berstatus single parent (orang tua tunggal). Mereka diminta mencari nafkah sendiri untuk anak-anaknya. Bahkan, jika perempuan ini sampai terlihat mengemis dan mengais-ngais makanan sekalipun, negara tetap tidak peduli.
Terhadap situasi ini, negara menuntut perempuan untuk mencari nafkah sendiri agar kehidupannya lebih baik. Inilah situasi yang mengungkung dunia Islam saat ini. Lalu, dipromosikanlah narasi “kemandirian finansial perempuan” yang melanggar aturan Islam. Padahal, Islam telah memberikan keamanan finansial bagi perempuan.
Islam tidak pernah memandang bahwa peran laki-laki sebagai mencari nafkah adalah kondisi istimewa superior, yang kemudian memberinya hak untuk mendikte dan memegang kendali pada perempuan. Sebaliknya, hak istimewa itu diberikan kepada perempuan. Ketika perempuan ada dalam keluarganya, lalu laki-laki yang punya kewajiban untuk memenuhi nafkahnya tidak mau, maka negara akan turun tangan, memaksa laki-laki itu agar melakukan kewajibannya. Jika memang tidak ada kerabat laki-laki satu pun yang bisa menafkahi si perempuan tersebut, maka negaralah yang menafkahinya.
Pola penafkahan untuk kaum perempuan ini telah diterapkan dalam mekanisme negara Islam yang dibangun oleh Rasulullah saw. di Madinah, dilanjutkan oleh para khalifah. Rasulullah sebagai kepala negara senantiasa memelihara keuangan, melindungi para perempuan secara finansial dari kesulitan. Kepala negara memastikan standar hidup yang baik bagi perempuan dengan cara mengalokasikan kas Baitulmal untuk memberikan keamanan finansial kepada perempuan yang tidak memiliki kerabat laki-laki. Sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Bukhari, “Barang siapa yang mati meninggalkan harta maka hartanya itu untuk ahli warisnya. Dan barang siapa meninggalkan keluarga miskin maka itu menjadi tanggungan kami.”
Dalam sistem Islam (khilafah), para perempuan yang berstatus janda atau belum menikah tetapi usianya lanjut, sementara orang tuanya juga sudah sangat tua sehingga tidak bisa memenuhi lagi kebutuhannya, mereka selalu menikmati keamanan finansial.
Dalam Islam, laki-laki dilarang keras memanfaatkan kewajibannya memberikan keamanan finansial sebagai cara untuk memanipulasi atau mengendalikan istrinya. Dalam kisah hadis dikisahkan, istri Abu Sufyan melaporkan suaminya kepada Rasulullah, kepala negara. Dia mengatakan bahwa Abu Sufyan adalah orang yang pelit, tidak memberi nafkah yang cukup. Dia bertanya, “Apakah boleh mengambil harta Abu Sufyan tanpa sepengetahuannya?” Rasul menjawab, “Ambillah dari hartanya yang cukup untukmu dan anak-anakmu dengan cara yang makruf.”
Jadi, ketika laki-laki diberikan tanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada para perempuan, negara juga memperhatikan proses penafkahan tersebut. Dengan begitu, tidak terjadi manipulasi pengendalian istri atas nama bahwa laki-laki sebagai pemberi nafkah.
Dengan gambaran di atas maka bisa kita lihat, regulasi Islam sangat sempurna dalam memberikan keamanan finansial, bukan malah menuntut kemandirian finansial kepada perempuan.