
Oleh: Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih
Suci lahir dan di dalam batin
Tengoklah ke dalam sebelum bicara
Singkirkan debu yang masih melekat, ho-o
Singkirkan debu yang masih melekat
Lirik lagu musisi Ebiet G.Ade “Untuk Kita Renungkan” yang liris tahun 1982 ini mungkin tidak asing bagi penikmat musik yang penuh kritik. Sebuah lagu yang erat terkait dengan fenomena alam berikut bencana yang menyertainya.
Sebagai negara yang memiliki bentang alam yang begitu banyak ukiran Ilahi-nya, bencana alam menjadi hal yang tak bisa dihindari di Indonesia. Kapan pun ia bisa datang. Fenomena alam yang bergerak ini perlu dipahami sepenuh hati, sepenuh jiwa dan raga agar bisa menghadapinya.
Saat ini berbagai bencana menguji negeri. Bumi Pertiwi diterjang bencana, banyu meluap mengharu biru, bentala bergeser melongsorkan tanah, menimbun dan hancurkan rumah-rumah. Berbagai daerah terdampak karenanya. Lumajang diterjang banjir dan tanah longsor pada hari Kamis 18/4/2024 (Kompas, 20/4/2024). Sigi Desa Balongga dan Sambo terendam air serta lumpur (Tribun News, 19/4/2024). Banjir disertai tanah longsor melanda Kabupaten Lebong, Bengkulu, sejak Selasa 16/5/2024 (Kompas, 18/4/2024), dan masih banyak lagi daerah yang diterpa bencana yang tak luput hadirkan korban jiwa.
Dilansir dari databoks.katadata.co.id 1/4/2024, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa terdapat 557 bencana alam di Indonesia selama 1 Januari-1 April 2024. Banjir menjadi bencana alam terbanyak hingga awal April, yaitu 355 kejadian, setara 63,73% dari total bencana alam secara nasional. Angka yang cukup fantastis yang telah direkap selama tiga bulan berjalan di negeri ini.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa bencana tak bisa dihindari dan betapa butuhnya mitigasi agar dampak bencana bisa ditangani, serta risiko yang muncul pun bisa diminimalisasi.
Urgensi Mitigasi
Tak dimungkiri, curah hujan yang tinggi adalah salah satu faktor alam di negeri ini. Banjir menjadi risiko yang muncul berulang saat air tumpah ruah mengalir ke segala arah.
Kondisi alam Indonesia seperti ini haruslah dipahami secara pasti oleh pengurus negeri. Sebab, tanpa itu, dampak bencana sangat besar dirasa. Korban jiwa, harta benda, maupun infrastruktur hancur lebur, sulit untuk ditangani. Mitigasi bencana yang lemah makin menghambat proses penanganan pasca-bencana.
Sebagai sebuah fenomena yang berulang, sebetulnya penyebab banjir bisa diprediksi. Indonesia yang bercurah hujan sangat tinggi bisa memprediksi melalui waktu kejadian, yaitu saat musim hujan. Teknologi yang ada pun sudah bisa memperkirakan kapan waktu terjadinya hujan dengan curah yang tinggi. Dengan demikian, pemerintah bisa menginformasikan juga mengedukasi masyarakat untuk berjaga-jaga.
Namun, realitasnya saat ini banjir masih saja tidak bisa diantisipasi. Dampaknya masih saja dirasa besar oleh penduduk negeri. Sepertinya saat ini mitigasi masih lemah di negeri ini. Padahal, mitigasi sangatlah urgen untuk dilakukan, mengingat negeri ini sangat rawan bencana. Terkait banjir berulang, mitigasi ini menjadi sangat penting. Dengan mitigasi, risiko yang akan timbul akibat bencana banjir dapat diatasi.
Sebetulnya mitigasi bencana banjir dapat dilakukan sebelum, saat, dan sesudah terjadinya bencana. Mitigasi bencana banjir pun dapat diperhatikan, baik dari aspek pembangunan fisik (struktural) maupun peningkatan kemampuan masyarakat untuk menghadapi bencana (nonstruktural).
Sesungguhnya pembangunan yang bisa mencegah meluasnya bencana banjir bisa dilakukan sebelum banjir tiba. Misalnya, melarang adanya pembangunan permukiman di wilayah yang rawan banjir. Selain itu, dapat juga melakukan revitalisasi sungai dengan mengeruk endapan sehingga daya tampung sungai bisa optimal, tidak meluap karena daya tampung yang minim akibat endapan yang ada.
Edukasi terkait bencana pun dapat dilakukan sebelum banjir terjadi. Masyarakat diberikan pemahaman yang cukup, bukan hanya terkait akan datangnya bencana banjir dan bencana lain yang mengikuti (seperti longsor), tetapi juga pemahaman terkait upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalkan risiko. Misalnya, terkait jalur evakuasi, penyelamatan barang-barang terkategori penting, cara evakuasi terhadap kalangan yang lemah fisik (balita, lansia, orang sakit, cacat) dll. Semua itu bisa dilakukan tanpa menunggu bencana tiba.
Lalu, jika saat bencana terjadi maka informasi secepat mungkin harus segera tersampaikan terkait tempat pengungsian, kapan harus mengungsi, cara menuju tempat pengungsian, serta barang apa saja yang perlu dibawa. Kemudian, jika bencana telah usai, upaya paripurna pun dilakukan untuk mengembalikan warga ke rumah masing-masing, diikuti pembersihan dan perbaikan rumah, gedung, dan berbagai sarana publik lainnya.
Bila negara abai dengan proses mitigasi ini, masyarakat terdampak bencana akan mengalami penderitaan. Kehilangan harta benda, kerusakan rumah, bahkan kehilangan nyawa mereka alami. Belum lagi, setelah bencana, mereka pun harus mengeluarkan dana cukup besar untuk memperbaiki semua yang mereka miliki.
Bila negara lalai, korban akhirnya harus tinggal di pengungsian dalam waktu yang agak lama karena banjir yang tak kunjung surut. Tidak hanya tinggal seadanya, mereka pun makan dan tidur ala kadarnya karena pemerintah tidak menjamin penuh kebutuhan pangan pengungsi. Biasanya, masyarakatlah yang berperan besar memberikan bantuan untuk pengungsi secara swadaya.
Selain itu, berbagai penyakit (kulit, diare) akibat kotornya air banjir menghampiri mereka. Di samping itu, untuk bisa bekerja normal pun, sangat sulit. Sulit bagi mereka untuk mendapatkan aksesnya.
Sudah seharusnya negara melakukan mitigasi. Sebab, dengan adanya mitigasi yang sungguh-sungguh dan profesional, berbagai risiko yang terkait bencana bisa diminimalisasi. Penyelesaiannya pun bisa lebih cepat sehingga warga tidak berlama-lama berada di pengungsian. Dengan demikian, perekonomian dapat kembali normal sehingga masyarakat tidak lama mengalami penderitaan akibat banjir yang berkepanjangan.
Paradigma Mitigasi dalam Islam
Dalam Islam, mitigasi merupakan bagian dari tanggung jawab negara dalam mengurus rakyatnya. Saat negara dihadapkan pada wilayahnya yang rentan dengan bencana, maka negara harus bersungguh-sungguh melakukan mitigasi secara seksama sehingga mampu meminimalisasi risiko akibat bencana yang dihadapi.
Dalam Islam, negara akan mengerahkan segenap kemampuan dan sumber daya yang ada agar berbagai bencana dapat diatasi, sekalipun biaya yang besar harus dikeluarkan. Negara menjamin ketersediaan dana untuk menanggulangi bencana. Negara tidak akan melimpahkan tanggung jawabnya pada swadaya masyarakat, berapa pun dana yang dibutuhkan.
Semua ini mudah dilakukan karena negara memiliki kas negara yang optimal dengan sumber pemasukan yang beragam. Tanpa utang ribawi dan pajak sebagaimana terjadi dalam sistem yang berlangsung saat ini sekalipun, kas negara tetap terisi.
Dalam sistem Islam, Baitul Mal sebagai brankas anggaran negara memiliki pos khusus untuk keperluan bencana alam. Pada bagian belanja negara terdapat Seksi Urusan Darurat atau Bencana Alam dengan dana yang diperoleh dari pendapatan fai dan kharaj serta dari harta kepemilikan umum. Apabila tidak mencukupi, maka akan dibiayai dari harta kaum muslim secara sukarela (kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah karya Syekh Abdul Qadim Zallum) untuk kemudian diberikan kepada kaum muslim sebagai bantuan atas setiap kondisi darurat atau bencana yang menimpa mereka.
Demikianlah paradigma mitigasi dalam sistem Islam. Sebuah keunggulan di antara keunggulan lainnya yang dimiliki. Tentunya, semua ini hanya bisa dijalankan dalam sistem yang berada dalam asuhan sistem Islam kaffah (sistem Khilafah Islamiyyah) yang pernah berjaya hampir 14 abad lamanya. Sistem yang tak pernah abai dari mengurusi rakyatnya. Sistem Islam tak lalai dari menyelamatkan rakyatnya dari bencana.