
Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd. (Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)
Linimasanews.id—Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang ditandatangani Jumat, 26 Juli 2024 resmi mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja. Dalam Pasal 103 disebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.
Untuk pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi setidaknya berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi; menjaga kesehatan alat reproduksi; perilaku seksual berisiko dan akibatnya; keluarga berencana (KB); melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual; serta pemilihan media hiburan sesuai usia anak. Sementara itu, pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa dan remaja paling sedikit terdiri dari deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi (tempo.co, 1/8/2024).
Sungguh, penyediaan alat kontrasepsi untuk anak sekolah dan remaja atas nama seks aman merupakan kebijakan yang hanya menjerumuskan generasi pada jurang kehancuran. Kebijakan ini menunjukkan bahwa negara melegalkan seks bebas pada generasi. Kebijakan ini adalah wujud nyata liberalisasi tingkah laku telah mengakar kuat di negeri ini.
Ini adalah gambaran rusaknya masyarakat serta abainya negara terhadap masa depan generasi. Meski aman dari persoalan kesehatan, namun penggunaan alat kontrasepsi akan menghantarkan generasi pada zina yang jelas diharamkan Islam.
Masyarakat seharusnya tidak diam dengan aturan yang memandang remeh dosa besar kepada Allah ini. Sebab, ini adalah bentuk kemaksiatan yang terorganisir oleh negara (kemaksiatan sistemis). Dari kebijakan ini kita bisa melihat, meskipun negeri ini mayoritas muslim, aturan yang ditegakkan adalah aturan kapitalis sekuler. Aturan ini lahir dari ideologi yang memisahkan agama dengan kehidupan.
Dengan Ideologi ini, generasi dijauhkan dari jati dirinya sebagai muslim. Kerusakan perilaku akan makin dirasakan. Terlebih lagi, selama ini sistem pendidikan yang diterapkan adalah sekuler. Sistem ini meletakkan kepuasan jasadiyah dan materi sebagai tujuan hidup.
Belum lagi, masyarakat tidak lagi menjadikan standar benar salah atau halal haram dalam mengambil keputusan. Masyarakat pun cenderung membiarkan perilaku bebas dengan alasan hal tersebut merupakan privasi atau urusan masing-masing. Masyarakat tidak peduli lagi dengan merajalelanya seks bebas di kalangan pemuda dan enggan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Oleh karena itu, selama negara ini menerapkan sistem kapitalisme, kebijakan berbuat maksiat atas nama liberalisasi akan terus bermunculan. Sungguh sistem kapitalisme telah menjadi akar persoalan mendasar kerusakan generasi hari ini.
Kehidupan generasi akan sangat berbeda manakala diatur dengan Islam. Negara dalam Islam berperan sebagai raa’in (pengurus) umat dan junnah (pelindung). Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)
“Sesungguhnya Al Imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud, dll)
Al Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim; “(Imam itu perisai) yakni seperti as-sitr (pelindung), karena imam (khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum Muslim, dan mencegah antarmanusia satu dengan yang lain dari saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.
Dari sini jelas bahwa negara harus menggunakan kekuasaannya untuk menjaga rakyatnya agar tetap berpegang teguh pada syariat Islam. Khalifah menjalankan hukum Allah atas rakyat dan ia bertanggung jawab langsung kepada Allah atas kepemimpinannya. Karena itu, negara tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti melegalkan perzinaan.
Negara wajib membangun kepribadian Islam pada setiap individu rakyatnya. Untuk mewujudkannya, negara menerapkan sistem pendidikan Islam yang bertujuan membentuk kepribadian Islam kewarganegaraannya. Pengajaran yang diberikan kepada rakyat benar-benar dijauhkan dari paham-paham yang hanya merusak akidah umat Islam, seperti sekularisme, liberalisme, kapitalisme, dan lain-lain.
Rakyat mesti diberi pandangan yang shahih tentang hidup, bahwa kebahagiaan hakiki adalah meraih rida Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan begitu, generasi hanya akan beramal jika dia memahami amal bahwa tersebut tidak bertentangan dengan syariat. Lebih dari itu, ia akan menyibukkan diri pada menjalankan kewajiban dari Allah, menuntut ilmu berupa tsaqafah Islam dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain itu, negara Islam (khilafah) melakukan edukasi melalui berbagai sarana khusus media. Media berada dalam kontrol negara. Tayangan yang dibolehkan hanya tayangan yang membangun suasana iman masyarakat, berita-berita dalam negeri dan luar negeri yang mampu meningkatkan wibawa negara Khilafah.
Negara juga menerapkan sistem sanksi sesuai Islam yang bersifat tegas dan mencerahkan, sehingga mampu mencegah masyarakat dari melakukan kemaksiatan dan perilaku sesukanya (liberal). Demikianlah, penjagaan dan masa depan cemerlang generasi hanya terwujud dalam negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh, yaitu Khilafah Islamiyah.