
Oleh: Mahganipatra (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Linimasanews.id—Salah satu problem sosial masyarakat Bekasi hari ini adalah kemacetan lalu lintas di kawasan Stasiun Bekasi. Terutama, kemacetan di jam-jam sibuk, yakni pada waktu orang berangkat dan pulang bekerja. Sejumlah warga Bekasi di antaranya para pejalan kaki banyak yang mengeluhkan kondisi ini, dan meminta Pemkot Bekasi segera mengambil tindakan.
Dilansir dari rri.co.id (19/8/2024), Kepala Bidang Teknik Lalu Lintas Dishub Kota Bekasi, Teguh Indarto mengatakan, terjadinya kemacetan disebabkan oleh ketidaktertiban dari para pengemudi ojol (ojek online) dan pedagang kaki lima (PKL). Mereka kerap melakukan okupasi trotoar jadi parkiran liar saat hendak menjemput penumpang atau tempat berdagang para pedagang kaki lima (PKL).
Ini berdampak pada kemacetan di sekitar Stasiun Bekasi sehingga para pejalan kaki merasa kesulitan saat berjalan di trotoar. Sejumlah warga juga mengeluhkan hal ini, salah satunya datang dari warga Harapan Indah, Nabil (18), mengaku tidak nyaman dan takut terserempet kendaraan saat harus memaksakan diri berjalan di luar trotoar. Nabil sangat berharap pemerintah segera membangun parkiran yang lebih luas agar tidak ada kendaraan yang menghalangi trotoar untuk masyarakat (bekasipedia.com, 8/8/2024).
Benarkah kemacetan terjadi karena Pemkot Bekasi tidak menyediakan lahan parkir yang memadai? Ataukah para ojol dan calon penumpangnya malas jalan, sulit diarahkan menuju kantung-kantung parkir yang telah disediakan oleh Pemkot Bekasi, seperti yang disampaikan oleh Pejabat (PJ) Wali Kota Bekasi Raden Gani Muhammad, saat akan berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan untuk mengatasi masalah parkir liar di depan stasiun Bekasi? (Kompas.com, 8/8/2024).
Problem Tata Kelola Kota Bekasi
Pemkot Bekasi diminta agar segera menertibkan parkir liar di sekitar Stasiun Bekasi karena dianggap telah mengganggu masyarakat dan berkontribusi dalam problem kemacetan lalu lintas di kawasan itu. Sebenarnya, parkir liar bukan hanya ada di kawasan itu saja, tetapi kerap muncul di wilayah-wilayah lain dan menjadi problem lama yang belum mampu diselesaikan oleh Pemkot Bekasi.
Masalah parkir liar bukan sekadar membuat pejalan kaki tidak leluasa saat berjalan saja, tetapi sesungguhnya bisa jadi buah simalakama bagi Pemkot Bekasi jika tidak segera ditangani. Beberapa efek buruk jangka panjang, di antaranya adalah kerugian ekonomi dari segi efektivitas dan efisiensi, jalan yang macet akan semakin parah, dan akan jadi problem estetika dari tata kelola kota. Oleh karena itu, harus segera ditertibkan. Jika tidak, keberadaannya akan sangat mengganggu, meresahkan masyarakat, dan mengundang konflik horizontal.
Selain itu, penertiban parkir liar erat kaitannya dengan kemampuan Pemkot Bekasi dalam mengatur dan mengelola tata kelola kota. Ini menjadi cerminan jati diri Kota Bekasi untuk terus berupaya membangun “Etalase Bekasi” dengan membangun alun-alun kota dan mengembalikan fungsi trotoar menjadi tempat aman dan nyaman bagi pejalan kaki. Bahkan, mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul di antara para pejalan kaki, pengemudi ojol maupun pedagang kaki lima (PKL).
Sungguh, kewajiban Pemkot Bekasi adalah segera menindak tegas semua pihak yang menyalahgunakan trotoar maupun lahan yang diperuntukkan bagi fasilitas umum menjadi tempat berjualan dan parkir kendaraan. Pemerintah hendaknya membuat lahan parkir yang memadai dengan biaya parkir yang sangat murah atau gratis. Kemudian, membangun fasilitas bagi para penumpang untuk menunggu ojek online, dan juga tempat berjualan yang nyaman dan aman bagi para PKL.
Dengan begitu, masyarakat yang menggunakannya tidak akan ragu untuk menggunakan fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah dan akan melarang siapa pun menaruh barang dagangan, bahan bangunan, parkir mobil, kendaraan, dan sebagainya di trotoar. Sebab, penggunaan seperti ini bisa mengakibatkan kezaliman bagi orang lain.
Tata Kelola Kota dalam Islam
Setiap peradaban manusia memiliki konsep dalam membangun, mengelola dan mengembangkan kota, tempat mereka tinggal. Pembangunan kota dalam Islam akan diarahkan berdasarkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat tempat mereka tingga. Selanjutnya, akan diatur sesuai dengan kebijakan para pemimpin masing-masing.
Misalnya, ketika Nabi Muhammad saw. menjadi kepala negara di Madinah, urusan tata kota dan pembangunan kota ditangani langsung oleh Rasulullah saw. sebelum kemudian diserahkan kepada Umar bin al-Khaththab untuk mengurus tata kelola Kota Madinah dan kepada Amr bin al-‘Ash untuk urusan tata kelola Kota Mekah al-Mukarramah.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Umar bin al-Khaththab menjadi Khalifah, ia mendirikan biro khusus yang disebut dengan nama Dar al-Hisbah. Biro khusus ini dilaksanakan oleh Khalifah Umar, dengan dibantu oleh para petugas khusus yang akan menangani urusan tata kota dan pembangunan kota.
Dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, al-Mawardi menyatakan, “Qadhi Hisbah-yang mengepalai Dar al-Hisbah-berhak untuk melarang orang yang mendirikan bangunan di jalan yang digunakan untuk lalu lintas, sekaligus bisa menginstruksikan kepada mereka untuk menghancurkan bangunan yang mereka dirikan, sekalipun bangunan tersebut adalah masjid.”
Karena kepentingan jalan adalah untuk perjalanan, bukan untuk bangunan, Qadhi Hisbah juga berhak untuk melarang siapa pun meletakkan barang-barang dagangan dan bahan-bahan/alat bangunan di jalan-jalan dan pasar, jika barang dan bahan tersebut bisa memudaratkan bagi orang lain. Dalam hal ini, Qadhi Hisbah berhak untuk melakukan ijtihad dalam menentukan mana yang mudarat dan mana yang tidak. Karena, ini merupakan ijtihad dalam masalah konvensi (kepantasan umum), bukan masalah syar’i.” (Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 430-431).
Oleh karena itu, di dalam Islam tidak akan terjadi munculnya kasus parkir liar yang berujung menjadi pungli (pungutan liar) seperti saat ini.