
Oleh: Tri Cahya Arisnawati (Aktivis Dakwah)
Linimasanews.id—Masa jabatan Presiden Jokowi hanya tinggal menghitung hari. Sayangnya, saat akan segera berakhir, tetapi sederet hujan kebijakan kontroversial dikeluarkan oleh Presiden Jokowi. Alhasil, menjadi perhatian publik dan menjadi sorotan banyak kalangan karena dinilai tidak memihak kepada rakyat.
Pertama, aturan menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT), yang kata Jokowi akan dimulai tahun depan. Kedua, mengerek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang berpotensi menaikkan harga barang dan jasa. Ketiga, menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras di delapan wilayah sejak Maret 2024. Keempat, mewajibkan pekerja membayar iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebesar 3 persen. Kelima, memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia hingga 2061. Keenam, organisasi masyarakat (ormas) keagamaan boleh mengelola tambang. Terbaru dan membuat resah masyarakat terutama para orang tua adalah kebijakan mengenai pengadaan alat kontrasepsi bagi usia pelajar (Tempo.co, 8/8/2024).
Dikutip dari Metro TV (6/8/2024), menurut politikus PDIP, Deddy Sitorus, hujan kebijakan kontroversial Jokowi di akhir masa jabatannya sebagai bentuk dari red herring. Dalam ilmu politik, red herring digunakan oleh rezim yang sedang berkuasa untuk mengalihkan perhatian publik dari agenda yang tersembunyi dengan isu-isu atau kebijakan yang dinilai kontroversial. Tujuannya, agar menyita perhatian publik dari agenda besar yang sedang direncanakan rezim.
Kebijakan-kebijakan kontroversial di atas begitu masif dikeluarkan sehingga rakyat menjadi bingung dan disibukkan hanya membahas kebijakan-kebijakan tersebut. Sementara itu, publik hampir saja kecolongan, ambisi Jokowi untuk memuluskan anak bungsunya untuk melesat dalam kontes Pilkada hampir saja gol.
Sebelumnya, menjadi kontroversial upaya Jokowi memuluskan jalan putranya, Gibran Rakabuming Raka menjadi pendamping Prabowo di Pilpres 2024. Usianya yang belum genap 40 tahun dibuat tidak jadi soal karena pamannya Anwar Usman yang kala itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, meneken uji materi terkait batas usia Capres-cawapres perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Keputusan ini akhirnya gol, Gibran berhasil maju menjadi Wakil Presiden Prabowo.
Jika publik jeli melihat, upaya untuk membangun dinasti politik Jokowi makin sempurna di depan mata. Ini tampak seiring rencana Kaesang Pangarep (29) digadang-gadang akan menjadi bakal calon Wakil Gubernur Jakarta di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Sekalipun batal, keputusan tersebut sudah mengundang perhatian dan kemarahan publik. Dari kalangan tokoh hingga warga biasa dari berbagai wilayah beramai-ramai turun ke jalan melakukan demonstrasi. Sebab, isu bahwa Jokowi sedang membangun dinasti politik makin berembus kencang.
Di balik rentetan kebijakan kontroversial yang dikeluarkan hingga isu membangun dinasti politik yang kian hari makin berembus kencang, beritanya terpampang di Newyork Times (Magdalene.co, 11/8/2024). Wajar apalagi hal ini terjadi di akhir masa jabatannya. Ini tampak mempertegas bahwa Jokowi seakan tak rela kehilangan kekuasaannya seiring berakhirnya masa jabatannya sebagai Presiden pada Oktober mendatang.
Dari serangkaian kebijakan kontroversial di atas, bagaimana pandangan dalam Islam mengenai hal tersebut? Sesungguhnya, serangkaian kebijakan kontroversial dan tidak pro terhadap rakyat yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi, tidak bisa dilepaskan dari peran sistem demokrasi hari ini. Sistem demokrasi lahir dari rahim sekularisme dan liberalisme. Realitasnya, benar-benar telah memisahkan peran agama dari kehidupan dan negara, sehingga para penguasanya bebas melakukan apa pun selama hal itu dianggap memberi kemaslahatan bagi dirinya dan kelompok pendukungnya.
Di antara langkahnya itu, mengeluarkan kebijakan yang menyusahkan dan menzalimi rakyat. Penguasa hari ini tidak memberi ruang bagi syariat untuk mengatur dan mengambil kebijakan. Semua pengambilan keputusan murni berdasarkan akal manusia yang lemah dan hawa nafsu yang mendominasi. Tidak heran, hasilnya banyak kebijakan yang kontroversial, tidak hanya menzalimi rakyat tapi juga bertentangan dengan syariat agama.
Demokrasi membuat siapa pun yang berkuasa begitu terobsesi dengan kekuasaan, tanpa pernah merasa cukup dengan jabatan yang diembannya. Dalam sistem demokrasi, jabatan dan kekuasaan adalah adalah seputar kekayaan, kemewahan, dan kemudahan mengendalikan apa pun sesuai kepentingan, termasuk merombak hukum yang tidak sesuai dengan kepentingan.
Pemahaman inilah yang membuat para penguasa dalam sistem demokrasi tidak mengenal halal haram dalam menjalankan roda pemerintahannya. Asal dianggap mendatangkan kemaslahatan, apa pun akan dilakukan, walaupun bertabrakan dengan syariat. Alhasil, penyalahgunaan jabatan sering dijumpai dalam sistem demokrasi. Baik perilaku korupsi hingga nepotisme sudah menjadi berita yang menghiasi alam demokrasi.
Kekuasaan adalah Wasilah untuk Menjaga Agama
Setiap manusia cenderung menyukai kekuasaan. Sebab, menyukai kekuasaan merupakan salah satu perwujudan dari naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’). Islam juga tidak melarang seseorang untuk berkuasa. Namun, kecintaan berlebih terhadap kekuasaan (hubb ri’asah) sangat ditentang oleh Islam. Kecintaan yang berlebih terhadap kekuasaan dapat membawa kehancuran bagi pelakunya.
Dalam Islam, kekuasaan adalah wasilah untuk menjaga agama dan meriayah/mengurusi umat (ri’ayah syu’unil umah). Para penguasa dalam Islam ditanamkan pemahaman dalam jiwanya bahwa kekuasaan itu adalah amanah bagi pemangku jabatan. Apabila dalam mengurus umat terjadi kezaliman terhadap rakyat, maka kecelakaan bagi penguasa itu dan ia akan mendapat balasan yang pedih di akhirat.
Nabi saw. bersabda, “Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga.” (HR. Bukhari Muslim)
Dengan pemahaman ini, dalam menjalankan tugasnya, penguasa akan sangat bersungguh-sungguh. Sebab, ia memahami bahwa sebagai pemimpin dan penguasa ia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Kekuasaan yang disyariatkan Islam bertujuan: Pertama, mengatur urusan dunia kaum muslim dan warga negara dengan syariat Islam, seperti menjamin kebutuhan hidup, menyelenggarakan pendidikan yang terbaik dan terjangkau, menyediakan fasilitas kesehatan yang layak dan cuma-cuma untuk semua warga, tanpa memandang kelas ekonomi.
Kedua, kekuasaan juga dibutuhkan untuk menjaga dan melaksanakan urusan agama, seperti melaksanakan hudud untuk melindungi kehormatan, jiwa, dan harta masyarakat. Khalifah bersama aparat keamanan dan para hakim akan menjaga perdagangan di tengah masyarakat agar terhindar dari kecurangan, juga mencegah muamalah ribawi (Muslimah news, 12/3/2022).
Dengan kekuasaan pula, Islam akan disebarkan ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad. Dengan itu, tidak ada satu pun negeri yang tidak mengenal Islam dan tidak diterapkan syariat Islam. Oleh sebab itu, apalah artinya kekuasaan jika tidak digunakan untuk menegakkan agama dan hukum-hukum Allah Swt., sebaliknya malah digunakan untuk mengeksploitasi jabatan hanya untuk memenuhi ambisi demi kepentingan diri sendiri, keluarga, dan kelompok-kelompok yang mendukungnya.
Maka dari itu, kekuasaan di jalan Allah Swt. mesti ditegakkan agar hukum-hukum Allah Swt. diterapkan untuk mengatur urusan negara dan umat. Dengan begitu, niscaya kemaslahatan dan kesejahteraan akan terwujud.
Masya Allah mencerdaskan umat