
Oleh: Rini Rahayu
(Ibu Rumah Tangga, Pegiat Dakwah, Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi)
Linimasanews.id—Masyarakat dari berbagai kalangan berduyun-duyun turun ke jalan menggelar aksi unjuk rasa di depan kompleks DPR RI Jakarta, pada tanggal 22 Agustus 2024 yang lalu. Mereka menuntut dan mendesak agar DPR RI membatalkan pengesahan revisi UU Pilkada. Mereka meminta agar DPR tidak merubah putusan MK dalam masalah ambang batas syarat pencalonan kepala daerah dan batas calon peserta Pilkada 2024 (Tempo.co, 22/08/2024).
Cukupkah Turun ke Jalan?
Aksi yang digelar masyarakat ini sebagai upaya untuk mengawal pelaksanaan pilkada mendatang, karena diduga adanya upaya DPR untuk menganulir putusan MK melalui revisi UU pilkada. MK telah menetapkan perubahan isi UU Pilkada mengenai ambang batas pencalonan kandidat yaitu menjadi 6,5 persen dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) dan batasan usia paling rendah adalah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon walikota dan wakil walikota, yang terhitung sejak penetapan paslon, bukan usia pada saat dilantik. Inilah yang melatarbelakangi masyarakat melakukan demo, karena masyarakat melihat ada upaya praktik politik dinasti dalam revisi UU Pilkada setelah putusan MK keluar.
Kejadian ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah berada pada titik puncak kemarahan terhadap tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang dilakukan oleh pejabat atau penguasa. Masyarakat ingin segera terjadi perubahan. Namun, apakah cukup hanya dengan aksi turun ke jalan, berdemo menuntut pengawalan terhadap putusan MK untuk melawannya?
Demokrasi digadang- gadang sebagai sistem paling baik karena mengakomodir seluruh rakyat untuk ikut terlibat dalam pengambilan keputusan walaupun melalui perwakilan. Hanya saja, kenyataannya tidak seindah teori. Keterlibatan rakyat dalam politik hanya bersifat prosedural, yakni ketika mereka menyalurkan suaranya dalam pemilu. Itu pun masih bisa direkayasa dengan politik uang dan pencitraan.
Dalam demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis uang adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang sebenarnya dan bukan lah rakyat. Walaupun demikian, masyarakat masih saja memperjuangkan demokrasi. Padahal, akar masalah sebenarnya adalah bukan pada penguasanya tapi pada sistem yang diterapkan dan aneka kekacauan yang terjadi sejatinya adalah lahir dari sistem demokrasi itu sendiri.
Jadi, sudah jelas bahwa tidak cukup hanya dengan mengawal keputusan MK saja dan turun ke jalan melakukan aksi menuntut ditegakannya demokrasi sebagai perlawanan terhadap penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Tetapi harus dicari sistem yang tepat yang dapat menyelesaikan semua masalah yang terjadi. Sistem yang bersifat tetap tidak berubah-ubah dan tidak memihak pada sekelompok orang tertentu saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan. Sistem yang dibutuhkan adalah sistem yang dirancang oleh sang Maha Pencipta yang sudah pasti sempurna, yaitu sistem Islam.
Islam Solusi Tepat Menghadapi Abuse of Power
Sejauh ini, sistem demokrasi memang masih dianggap sebagai sistem politik terbaik karena dipandang melibatkan seluruh rakyat dalam pengambilan keputusan meski pun melalui perwakilan. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu demos yang berarti ‘rakyat’ dan kratos yang berarti ‘kekuasaan yang mutlak’. Jadi demokrasi adalah siatem pemerintahan ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’.
Berdasarkan definisi ini, demokrasi seakan sangat ideal. Setiap individu rakyat seakan diberi ruang aspirasi dan kontribusi dalam setiap pengambilan keputusan. Kesetaraan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang adil bagi semua warga negara pun seolah mendapat jaminan. Hanya saja, realitanya rakyat pemilik modal besar lah yang menjadi penguasa sesungguhnya dalam sistem ini. Karena kekuasaan dalam demokrasi dibentuk oleh politik uang dan pencitraan saja, dan sudah pasti hanya pemilik uang lah yang dapat melakukannya.
Dalam sudut pandang Islam, demokrasi lebih banyak menampakan kerusakannya dibandingkan manfaatnya. Karena demokrasi lahir dari sistem sekularisme yang mengagungkan paham kebebasan dan menafikan agama untuk mengatur kehidupan manusia. Dalam demokrasi manusia boleh bebas berpendapat, berperilaku, beragama, bahkan berkepemilikan. Dengan demikian konsep dosa, halal dan haram tidak dikenal dalam sistem ini, karena kekuasaan tertinggi dan kebenaran hanya ada dalam hasil voting melalui lembaga perwakilan rakyat.
Lembaga perwakilan rakyat inilah yang kemudian akan membuat undang-undang atau peraturan yang wajib dijalankan oleh penguasa yang diangkat oleh rakyat melalui pemilu, kemudian pelaksanaannya diawasi oleh anggota parlemen dan lembaga yudikatif.
Semua ini tentu sangat bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, manusia adalah sebagai makhluk ciptaan Allah, maka manusia wajib terikat dengan akidah dan syariat yang telah Allah tentukan seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an dan juga telah Allah turunkan Rasulullah saw. sebagai role model yang harus dijadikan panduan dalam menyelesaikan segala masalah yang terjadi.
Artinya, tidak ada kebebasan dalam Islam, dan pemisahan agama dari kehidupan manusia (sekularisme). Karena seluruh perbuatan manusia. Terikat dengan syariat yang sudah pasti mendatangkan kebaikan bagi umat manusia. Tidak ada satu aspek pun yang luput dari aturan Islam, termasuk dalam berpolitik.
Dalam Islam, kedaulatan tertinggi bukan ditangan rakyat yang lemah dan terbatas, tetapi kedaulatan tertinggi ada di tangan Sang Pencipta (Al-Khaliq) yaitu Allah Swt. Jadi tidak ada musyawarah apabila menyangkut urusan halal haram. Seperti yang tercantum dalam firman Allah, Al-Qur’an surah Yusuf ayat 40, yang artinya,
“Sesungguhnya keputusan (hak membuat hukum) hanya milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus.”
Kemudian dalam surah lain, yaitu QS Al Maidah ayat 50, Allah berfirman yang artinya, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Poin-poin penting inilah yang mustahil ada dalam demokrasi. Kebebasan yang diusung dan dijadikan dasar oleh demokrasi, justru menjadi biang kerok timbulnya berbagai UU atau peraturan yang rusak yang merugikan rakyat kecil dan menguntungkan rakyat besar (para pemodal dan penguasa). Kebebasan perpikir akan menimbulkan kebebasan berperilaku dan menimbulkan perbuatan bejat merajalela di mana-mana. Kebebasan beragama hanya akan membuat rakyat dibenturkan satu sama lain. Sedangkan kebebasan kepemilikan hanya akan membuka peluang bagi penjajahan gaya baru dan perampokan kekayaan negara oleh pihak asing dan aseng yang bermodal besar.
Sedangkan menurut Islam, kebebasan manusia dibatasi oleh syariat yaitu hukum dan peraturan yang telah Allah tetapkan yang sudah pasti adil untuk seluruh umat manusia. Manusia akan menyandarkan segala perbuatannya hanya untuk meraih rida Allah dan bertakwa kepada-Nya. Para pemimpin akan senantiasa menggunakan Al-Qur’an dan as-sunnah sebagai pedoman dalam membuat peraturan.
Dengan demikian, tidak patut apabila kita membandingkan demokrasi dengan Islam, mengusung ide-idenya apalagi sampai mati-matian membela untuk mempertahankannya. Sudah saatnya seluruh potensi umat bersatu untuk menegakkan Islam secara kaffah yang akan membawa kebaikan dunia dan akhurat. Demokrasi, sekularisme, dan kapitalisme sudah nampak jelas kebobrokan dan kerusakannya bahkan nyata-nyata gagal dalam menyejahterakan rakyatnya, maka sistem mana lagi yang pantas dan sesuai selain Islam?