
Oleh: Eki Efrilia
“Alam telah membuat manusia menjadi bahagia dan baik, tetapi masyarakat mencelakakan dia dan membuatnya sengsara.”
[JJ Rousseau]
Linimasanews.id—Seorang pemikir liberal sekelas JJ Rousseau saja pernah menyampaikan keprihatinannya di atas. Memang benar, saat ini, alam ini sedang tidak baik-baik saja. Perlakuan sebagian besar manusia yang gemar mengeksploitasi alam adalah penyebab utamanya. Sudah tidak asing di telinga dan mata kita berseliweran berita tentang permasalahan kerusakan alam, seperti banjir bandang, tanah longsor, pembalakan liar, kerusakan, dan kebakaran hutan.
Seperti yang baru saja muncul di line-line portal media online, salah satunya di foto.tempo.co, di mana ada potret pilu seekor lutung (kera) kurus yang menatap sendu ke arah lahan mengering yang ia pijak pasca kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Muaro, Jambi. Bukan hanya lutung yang merana akibat karhutla tersebut, ikan-ikan yang hidup di parit wilayah tersebut pun mati mengambang. Kebakaran yang menghanguskan sedikitnya 1.000 hektare lahan gambut tersebut terjadi sejak sepekan dan meliputi 3 desa yaitu Rantau Panjang, Rindang dan Londrang (Tempo, 29/8/2024).
Kejadian di atas bukan sekali ini saja di Provinsi Jambi, tapi terjadi hampir tiap tahun seperti tanpa keseriusan penanganan. Kejadian besar yang sama juga pernah terjadi di kawasan Hutan Harapan, wilayah Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi pada tahun 2019. Hutan yang menyimpan keanekaragaman hayati tersebut mengalami kebakaran dan menurut Mangarah Silalahi, Presiden Direktur PT Reki (Restorasi Ekosistem Indonesia) ada lebih 5.000-6.000 hektar lahan terbakar saat itu. Ia meyakini peristiwa itu membuat habitat gajah dan harimau berkurang, juga mengancam satwa yang lain.
Menurut Mangarah, telah terjadi pembukaan lahan secara ilegal di kawasan yang dilindungi tersebut, cara membukanya dengan membakar lahan. Para pelaku sebagian telah ditangkap, seperti yang dilakukan oleh Polres Batanghari yang menangkap 27 orang yang diduga terlibat pembakaran hutan dan 21 orang telah ditetapkan sebagai tersangka (Mengabaikan.co.id, 6/11/2019).
Adapun hukum di negeri ini sangat ‘kendor’, terbukti setelah ada penangkapan para pelaku karhutla, hutan-hutan di Jambi khususnya dan di Pulau Sumatera pada umumnya tetap terancam. Kelakuan para pelaku ini, mengancam ekosistem hutan dan itu berarti keberlangsungan hidup bangsa inipun terancam.
Tanah gambut di wilayah Jambi memang rawan kebakaran. Sayangnya, ternyata perusahaan-perusahaan batubara di wilayah tersebut kurang mewaspadainya. Seperti kejadian terbakarnya stockpile (tumpukan batubara) dari PT Buni Borneo Inti di Muaro Jambi yang sangat meresahkan masyarakat, karena ternyata kondisinya masih terbakar setelah diadukan dan dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Masyarakat sangat khawatir karena kebakaran itu bisa merembet ke mana-mana (detik.com, 26/8/2024).
Seperti itulah kehidupan yang diatur oleh sistem rusak bernama kapitalisme. Bukti kerusakan sudah terpampang di mana-mana termasuk kerusakan ekosistem. Dengan adanya kerusakan alam, termasuk dengan terjadinya karhutla dalam hal ini, kehidupan manusia, flora, dan fauna akan selalu terancam. Hukum yang ada dalam sistem ini tidak mampu untuk mengatasi kejahatan-kejahatan yang muncul akibat nafsu serakah dari segelintir manusia yang berupaya mengambil keuntungan di bawah penderitaan makhluk hidup yang lain.
Sudah saatnya kaum muslim berupaya untuk kembali kepada hukum-hukum Allah dan membuang jauh-jauh hukum buatan manusia, karena hukum buatan manusia banyak dipengaruhi oleh hawa nafsu pembuatnya dan jauh dari memberikan kemaslahatan bagi umat. Seperti adanya sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah)
Hukum dalam Islam pun wajib berpijak pada hadis di atas. Di mana pemimpin Islam itu wajib menentukan hukum yang tidak akan memberikan bahaya bagi rakyat. Seperti terbakarnya stockpile yang akhirnya merembet kepada kebakaran hutan, tentu saja itu sangat dilarang di bawah pemerintahan Islam. Sebab, hutan adalah ‘paru-paru dunia’ yaitu bagian yang sangat penting bagi dunia dengan sumbangan oksigen terbesarnya. Hal ini pasti juga menyangkut pelarangan pendirian perusahaan batubara di wilayah rawan terbakar.
Seperti juga dalam firman Allah Subhanahu wa Taala dalam Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 56 jelas menyampaikan, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi yang diciptakan dengan baik, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.”
Allah sangat melarang manusia berbuat kerusakan, sehingga tugas seorang pemimpin dalam Islam adalah mengarahkan dan memberi contoh kepada rakyatnya untuk tidak merusak segala ciptaan-Nya. Apabila mereka melanggar atau bahkan pemimpinnya yang ternyata melakukan pelanggaran, maka hukum Allah akan tegak kepada mereka tanpa pandang bulu.
Rasulullah shallallahu alaihi wassallaalm sendiri mengenalkan tentang konsep “hima” untuk menjaga lingkungan hidup. Rasul menyebut “hima” adalah tempat yang menyenangkan yaitu berupa padang rumput yang tidak boleh seorangpun menjadikannya sebagai tempat menggembala ternaknya dan memanfaatkannya selain untuk kepentingan bersama. Di wilayah “hima” juga ada larangan berburu binatang dan merusak tanaman. Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam bersabda, “Tidak ada hima dibenarkan, kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya.”
Berarti “hima” adalah kawasan milik umum yang keberadaannya wajib dijaga oleh negara.
Demikian juga wilayah hutan di Indonesia ini, ia adalah “hima” milik seluruh umat yang haram pengelolaannya diserahkan kepada individu atau kelompok mana pun. Karena itulah, sistem Islam wajib ditegakkan secara kaffah di muka bumi dengan berdirinya kembali Khilafah Islamiyah ‘ala minhajjin nubuwwah, agar enyah kerusakan parah akibat sistem kapitalisme saat ini, berganti dengan terwujudnya kemaslahatan seluruh umat baik di dunia maupun di akhirat.