
Suara Pembaca
Dikutip dari tribun. com (30/8/24), pengerjaan fisik proyek pembangunan Sub Drainase (Subdrain) di kawasan Medan Sunggal masih terus berlanjut hingga saat ini. Menurut Plt Kepala Dinas Sumber Daya Air Bina Marga dan Bina Konstruksi Kota Medan, Gibson Panjaitan, pengerjaan fisik proyek pembangunan sub draine ini sudah 80 persen. Dikatakan Gibson, proyek sub drainase ini selesai pada bulan Oktober 2024 mendatang. Menurutnya, saat ini pengerjaan fisik sub drainase ini lagi tahap pemasangan box culvert di Jalan Sunggal.
Banjir seolah sudah langganan setiap tahunnya di kota Medan. Jika hujan sudah hitungan jam maka banjir akan menggenangi Kota Medan, khususnya daerah Medan Sunggal, Medan Baru, Medan Maimun, dan Medan Selayang. Hingga kini, pemerintah Kota Medan berfokus untuk memperbaiki drainase di Kota Medan dan normalisasi sungai. Drainase dilakukan untuk menampung air yang diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi. Sedangkan normalisasi sungai untuk mengatasi agar tidak terjadi luapan sungai. Akhirnya, dilakukanlah berbagai upaya untuk dua hal tersebut.
Menurut para pakar drainase yang sudah ada sebelumnya sudah kurang berfungsi karena banyaknya timbunan sampah dan lumpur di dalamnya. Begitu pula DAS (Daerah Aliran Sungai) yang juga mengalami pendangkalan karena timbunan lumpur dan sampah. Keduanya patut dicermati mengapa masyarakat gemar membuang sampah di selokan dan bantaran sungai. Padahal sudah jelas, hal tersebut bisa mengakibatkan bencana. Sudah jelas pula ancaman sanksi berupa kurungan dan denda yang terpampang di sepanjang sungai, tetapi tetap saja warga tak mengindahkannya.
Berarti ada yang keliru di sebagian besar masyarakat. Ada kesalahpahaman di sana. Jadi, walaupun dibangun drainase, jika pemahaman masyarakat tidak diperbaiki maka tidak akan efektif.
Hal yang harus dilakukan oleh kita hari ini adalah penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya mencintai lingkungan, baik di darat dan di laut. Satu sampah yang kita buang itu bisa menjadi pemicu banjir, kerusakan air dan tanah. Bahkan sering kita dengar terdamparnya ikan besar di laut juga penyu ternyata mereka memakan sampah plastik atau kaki dan mulut mereka terlilit sampah plastik. Sungguh ironis. Sungai yang dahulunya sebagai penopang kehidupan masyarakat kini bau dan jorok, bahkan beracun.
Oleh karena itu, negara harus benar-benar serius menangani kondisi ini. Tetapi, ini semua berkaitan dengan sistem yang merusak. Masyarakat terpaksa hidup sulit, minim pemahaman agama. Lingkungan hidup hanya dianggap sekadar tempat tinggal, bukan sebagai penopang kehidupan.
Sistem Islam jauh sejak dahulu telah berhasil menjadikan lingkungan menjadi asri. Dalam Islam, drainase terencana dengan baik serta ada pengawasan yang ketat jika ada kerusakan. Selain itu, pemberian pemahaman bahwa merusak lingkungan dan alam adalah haram terus digalakkan. Jadi, ada ketakwaan individu yang sangat kuat dibangun oleh negara. Ditambah sistem yang menjaganya langsung merujuk pada titah Sang Pencipta, yaitu Allah Swt. Jika ada ketakwaan individu dan negara memberlakukan sanksi yang tegas maka pembangunan yang dilakukan bisa berjalan efektif seperti yang diinginkan.
Eni Yulika