
Oleh. Ummu Kinanty
Linimasanews.id—Terkait dana pensiun wajib untuk pekerja di Indonesia. Ini artinya, pegawai swasta nanti akan diminta untuk membayar iuran tambahan selain Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan. Namun, mengenai beban iuran tambahan masih dalam pembahasan.
Dikutip dari CNBC Indonesia, Kepala Eksekutif Pengawas PPDP Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono menjelaskan nantinya aturan ini akan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan diturunkan dalam Peraturan OJK (POJK). Kepala Eksekutif Pengawas PPDP OJK Ogi Prastomiyono mengatakan, aturan ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan kemudian diturunkan ke dalam Peraturan OJK (POJK). Adapun penyelenggaraannya bisa melalui Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) maupun Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Pekerja yang memiliki penghasilan melebihi nilai tertentu, diminta untuk tambahan iuran pensiun secara sukarela, tambahan tapi bentuknya wajib (4/9/2024).
Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan replacement ratio atau rasio pendapatan pekerja saat pensiun dibanding gaji yang diterima saat bekerja. Sebagai jaminan hari tua agar tidak menjadi beban dan dapat hidup dengan baik di masa pensiun. Selain program pensiun tambahan, para pekerja di Indonesia juga tengah dihadapkan munculnya potongan gaji untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang masih dalam proses penundaan dan rencana asuransi wajib kendaraan bermotor yang juga masih dalam pembahasan telah menanti kedepannya.
Penambahan potongan iuran JHT dan BPJS sebagai pungutan wajib bagi para pekerja ini justru semakin menurunkan kualitas hidup mereka sebelum masa pensiun tiba. Secara keseluruhan, sistem fiskal atau pungutan di dalam negara yang menerapkan sistem demokrasi sekuler akan berdampak pada penurunan kualitas hidup manusia secara keseluruhan. Bagaimana tidak rakyat menanggung terlalu banyak pungutan wajib berupa pajak. Pos penerimaan utama dalam sistem keuangan negara demokrasi adalah pajak. Pajak dalam sistem demokrasi adalah pungutan wajib yang harus dibayarkan oleh penduduk kepada negara sebagai sumbangan wajib.
Subjek pajak atau orang yang terkena wajib pajak berasal dari semua kalangan sehingga orang miskin pun bisa terkena pajak. Bahkan justru para pemilik modal besar dalam usaha bisa dapat keringan mendapat insentif pajak, sedangkan rakyat miskin tidak ada keringanan pembayaran pajaknya. Dengan harga-harga barang kebutuhan pokok yang terus beranjak naik, biaya pendidikan dan kesehatan yang mahal kalau harus ditambah dengan penambahan potongan lagi pada gaji yang katanya sebagai jaminan hari tua, justru sebelum masa tua mereka datang kehidupan mereka sudah sulit duluan.
Negara hanya tahu memangkas sumber penghasilan rakyat tanpa mau tahu kesulitan hidup yang mereka hadapi. Kita bisa rasakan kepedulian dan kepekaan penguasa saat ini sangat minim. Setiap iuran yang sifatnya menabung harusnya tidak dipaksakan untuk membayar apalagi sifatnya sukarela tapi kok wajib. Belum lagi memotong gaji si penerima gaji tanpa permisi dan diskusi. Main atur, main paksa, dan main sunat gaji. Sedangkan negara sendiri belum optimal memberikan pelayanan kepada rakyat dengan sebaik-baiknya.
Hal ini tidak akan terjadi dalam periayahan di dalam sistem Islam. Dalam Islam, pemimpin hadir memberi layanan sebaik mungkin. Tugasnya adalah mengurus urusan rakyat, bukan mengeruk keuntungan dari rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR Bukhari)
Sistem pemerintahan yang dikenal dengan sistem Khilafah menempatkan penguasa (imam) sebagai pe-ri’ayah (pelayan) urusan rakyat dengan landasan hukum syarak. Penguasa tidak dibolehkan menyimpang dari hukum syarak karena alasan kemaslahatan tertentu, seperti memungut harta dari rakyat terus-menerus dengan alasan gotong royong dan jaminan masa tuanya.
Dalam Khilafah, dharibah (pajak) adalah pungutan yang dikenakan sekedar untuk menutup selisih kekurangan ketika ada satu pembiayaan yang khas, sedangkan negara tidak bisa mencukupi atau kas negara sedang kosong. Hanya untuk menutup selisih ketika kekurangan saja, maka waktunya juga bersifat temporal dan situasional. Jika tidak ada kekurangan kas, tidak akan ada pungutan pajak.
Inilah perbedaan nyata dalam pemerintahan sistem Islam dan kapitalisme. Dalam Islam, penguasa menjalankan tugasnya mengurus rakyat dengan memaksimalkan pendapatan dari kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Sedangkan dalam sistem kapitalisme, negara seakan-akan berbisnis dengan rakyatnya. Parahnya lagi, rakyat juga masih harus memikul pajak dan beban utang negara dengan berbagai alasan yang dicari-cari.
Dalam Islam, penguasa menjalankan tugasnya mengurus rakyat dengan memaksimalkan pendapatan dari kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Rakyat tidak akan dibebani dengan berbagai potongan dalam penghasilannya. Sistem Islam adalah sistem yang manusiawi, memanusiakan manusia dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.