
Oleh. Mutiara Hasanah, S.S.T.
Linimasanews.id—Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional atau seringkali disebut May Day. Akan tetapi, kondisi buruh masih merana terlebih dalam aspek kesejahteraan. Hal ini nampak dalam tuntutan yang diusung oleh buruh pada aksi Hari Buruh tahun ini yang disampaikan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Buruh menuntut HOSTUM: Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah dan Cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja (liputan6.com, 29/4/2024).
Di sisi lain, ketersediaan lapangan pekerjaan kini makin menipis. Sebagaimana hasil survei menunjukkan bahwa 69% perusahaan di indonesia menghentikan perekrutan karyawan baru pada 2023 karena khawatir terjadi PHK. Lebih dari setengahnya adalah perusahaan besar, seperti industri perbankan, perhotelan, dan farmasi.
Tampak bahwa buruh makin terbelit persoalan yang membuat mereka terpuruk. Hal ini bukanlah masalah yang muncul tiba-tiba, melainkan akibat dari penerapan kapitalisme yang memandang buruh sebagai faktor produksi semata. Jadilah spirit perusahaan akan meminimalkan biaya produksi termasuk biaya tenaga kerja. Di saat yang sama, negara tidak memberikan jaminan bagi buruh, karena negara hanya berperan sebagai regulator atau penengah jika terjadi konflik.
Jadilah nasib buruh bergantung di tangan perusahaan semata. Perusahaan dengan prinsip kapitalismenya menjadikan buruh hanya faktor produksi sehingga muncul banyak kasus ketidaksewenangan terhadap buruh seperti tidak memberikan hak buruh, memberi upah tidak sesuai UMR, mudah memecat buruh, tidak memberi THR, dan lainnya.
Buruh menjadi tak berdaya. Mereka bekerja, tetapi tidak menyejahterakan, sedangkan beban kerja makin berat. Namun jika keluar dari pekerjaan, mereka akan sulit mencari pekerjaan karena gelombang besar PHK. Inilah efek domino masalah yang terjadi akibat penerapan kapitalisme yang rusak dan menyengsarakan.
Jika kita mau melihat pada agama kita, Islam hadir memberi pandangan khas terhadap buruh. Berbeda dengan kapitalisme yang berlepas tangan terhadap kesejahteraan buruh, justru Islam memandang buruh bagian dari rakyat yang harus diurusi oleh negara. Sistem Islam menjadikan negara sebagai pihak utama yang memegang tanggung jawab untuk kesejahteraan rakyatnya, tak terkecuali buruh.
Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).
Dalam buku “Politik Ekonomi Islam,” Syekh Abdurrahman Al-Maliki menjelaskan bahwa politik ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer pada tiap individu dalam negara. Sehingga rakyat mampu memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuan mereka.
Kebutuhan primer yang wajib diadakan negara ini dilakukan melalui dua mekanisme, secara langsung berupa pelayanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis oleh Khilafah pada rakyat tanpa biaya untuk mendapatkannya. Mekanisme kedua adalah secara tidak langsung, yakni Khilafah menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat laki-laki yang baligh untuk bekerja mencari nafkah bagi keluarganya. Kesempatan ini bisa berupa bekerja sebagai buruh, membuka usaha tertentu, menjadi petani, pebisnis, pedagang baik jasa maupun industri, sangat dibuka seluas-luasnya oleh negara.
Negara memastikan hubungan buruh dan perusahaan sesuai dengan syariah Islam. Mulai dari akad yang jelas terkait pekerjaan, upah, jam kerja, keselamatan kerja, dan fasilitas, hingga kedua pihak rela atas akad itu. Inilah gambaran kondisi buruh yang didambakan. Negara mengurusi mereka, masyarakat pun senang karena terpenuhi kesejahteraan. Negara pun senang karena kebutuhan masyarakat terpenuhi, ekonomi berputar secara sehat dan kesejahteraan hidup nyata di tengah-tengah umat. Wallahu a’lam bissawab.