
Oleh: Lisa Herlina (Aktivis Muslimah)
Linimasanews.id—Bulan Rabiul Awal, bulan kelahiran seorang manusia mulia, kekasih Allah Swt., yaitu Baginda Rasulullah Muhammad saw. Umat Islam wajib bersyukur atas nikmat kehadiran Rasulullah saw. Sebab, kelahirannya merupakan penyelamat manusia saat di dunia hingga nanti di akhirat.
Rasulullah saw. adalah teladan, baik dari perkataannya, perbuatannya dan diamnya. Risalah Beliau, yaitu Islam menjadi agama yang dipeluk oleh miliaran manusia di muka bumi. Allah Swt. telah mengangkat Beliau menjadi Nabi akhir zaman.
Esensi memperingati kelahiran Nabi (maulid Nabi) adalah meneladan Nabi. Meneladan Nabi ini sejatinya harus secara totalitas mengaplikasikan risalahnya dalam kehidupan. Tidak bisa aturan salatnya diambil, tetapi aturan cara bergaulnya tidak diteladani, termasuk dalam bersikap dengan orang lain yang berbeda akidah.
Namun, sikap umat Islam yang baru-baru ini terjadi berkaitan dengan kunjungan Pemimpin Gereja Katolik sedunia, Paus Fransiskus yang datang ke Indonesia tanggal 3-6 September 2024 patut dipertanyakan. Banyak video beredar terkait cara bergaul dengan orang kafir, yaitu ketika Paus Fransiskus berkunjung. Ada seorang wanita muslimah lengkap dengan hijabnya menangis di hadapan Paus mengaku haru menjadi bagian dari katedral.
Tidak sampai di situ, Kementerian Komunikasi Republik Indonesia (Kominfo) dan Kementerian Agama (Kemenag) sempat memberi imbauan agar azan Maghrib diganti running text saat pelaksanaan Misa Akbar di Gelora Bung Karno. Imam Besar Masjid Istiqlal pun mencium kening Paus sebelum meninggalkan masjid, seakan melengkapi pesan cara toleransi kepada umat Islam.
Gambaran Toleransi ala Rasulullah
Toleransi yang dipertontonkan saat ini kebablasan. Seolah dipaksakan dan terus digaungkan atas nama kemanusiaan agar diterima umat Islam, padahal bukan toleransi seperti yang tidak diajarkan oleh Rasulullah.
Dalam sebuah hadis, sewaktu Nabi melaksanakan salat bersama Ali bin Abu Thalib, pamannya yaitu Abu Thalib yang berbeda akidah melihatnya, lalu Abu Tholib menanyakan apa yang dikerjakan Nabi. Nabi pun menjawab, ” Wahai Paman, ini agama Allah, agama para malaikat-Nya, agama para rasul-Nya dan juga agama nenek moyang kita, Ibrahim. Aktu diutus oleh Allah agar menyampaikan agama ini kepada semua manusia. Engkau, hai Pamanku, orang yang paling berhak untuk menerima dan menolongnya.”
Kemudian Abu Thalib berkata, “Hai keponakanku, sungguh aku tak mampu meninggalkan agama nenek moyangku dan juga tradisi-tradisi peninggalannya. Akan tetapi, demi Allah, aku pasti akan menolongmu dari sesuatu sekecil apapun yang tidak kamu sukai.” (Dikutip dari Sirah Nabawiyah karangan Rawwas Qalahji bagian Rasulullah mendakwahi keluarganya).
Karena itu, sangat disayangkan ketika ada seorang imam besar masjid kelas nasional justru memberi karpet merah dan ruang bagi pemuka agama lain menyampaikan pesan berbalut dialog lintas agama. Ini adalah kesalahan besar. Padahal, Nabi membawa risalah Al-Qur’an yang jelas. Berkaitan tentang bergaul dengan orang yang berlainan akidah, Al-Qur’an menyatakan,
قُلْ يَـٰٓأَيُّهَا ٱلْكَـٰفِرُونَ ﴿١﴾ لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَآ أَنتُمْ عَـٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَآ أَنتُمْ عَـٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ ﴿٦﴾
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun 109: Ayat 1-6)
Miris, narasi yang dibangun hari ini adalah justru ajaran nenek moyang yang tidak ber-Islam secara kafah (menyeluruh). Bukan Nabi Ibrahim, nenek moyang agama tauhid, yaitu agama yang mengajarkan hanya menyembah Allah azza wajalla. Saat ini, label mengikuti nenek moyang dimaknai dengan mengimani banyak agama sekaligus. Padahal, ini adalah sinkretisme.
Sedangkan, Rasulullah sendiri tidak membiarkan ada penyimpangan sedikit pun dalam hati seseorang. Rasulullah meminta umatnya hanya mengimani dan menjalankan ajaran Islam. Islam melarang kafir maupun mengambil sebagian ajaran Islam dan mencampurnya dengan ajaran lain (atas nama ajaran nenek moyang).
Inilah sikap tegas dan jelas terhadap penganut agama lain. Ini salah satu keteladanan Rasulullah dalam kehidupan antarumat beragama. Islam mengajarkan hidup rukun dengan menjaga akidah masing-masing dan tidak bisa mencampuradukkan dengan ajaran agama lain. Sebagaimana Allah Swt. berfirman,
فَا صْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَ اَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ
“Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik.”
(QS. Al-Hijr 15: Ayat 94)
Artinya, Allah Swt. memerintahkan kepada Rasulullah saw. untuk menyeru umat manusia hanya menyembah Allah Swt. saja, menjelaskan kerusakan akidah dan kerusakan tradisi mereka, serta rusaknya aturan yang dijalankan oleh mereka.
Sementara hari ini, sinkretisme mencampuradukkan semua ajaran agama atas nama kemanusiaan, kearifan lokal dan dialog lintas agama. Ini adalah hal yang mencitraburukkan Islam. Sebab, dalam Islam, keimanan adalah at-tasdiq al jazm, yaitu pembenaran secara pasti atas keberadaan Allah sebagai Maha Pencipta dan Maha Pengatur, keimanan kepada Rasulullah, malaikat hari akhir, balasan di akhirat berupa suurga dan neraka. Karena itu, jika pembenaran ini disertai dengan pembenaran agama lain, pasti tertolak. Siapa pun yang mengajak umat Islam untuk toleransi ala sinkretisme ini, sama halnya dengan mengajak untuk keluar dari agamanya.
Untuk hal ini, Nabi sangat serius melindungi akidah umatnya. Tidak ada kompromi dalam hal akidah. Beliau dengan gigih dan kuat membawa dakwah hingga negara Islam tegak di Madinah sebagai pelindung atau penjaga agama itu sendiri. Ketika saat ini, negara Islam tidak ada, akibatnya banyak yang mencampuradukkan Islam dengan sekularisme (yaitu memisahkan agama dengan setiap urusan kehidupan), baik dalam dirinya maupun dalam kehidupan.
Maka, hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Rabiul Awal tahun ini, mestinya jadi momentum menjadikan Beliau satu-satunya role model dalam kehidupan, baik dalam keluarga, masyarakat, hingga bernegara, termasuk dalam memaknai toleransi.