
Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd. (Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)
Linimasanews.id—Paus Fransiskus Pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia baru-baru ini berkunjung ke Indonesia. Ia disambut begitu hangat gembira dan antusias baik di kalangan pejabat negara, tokoh-tokoh agama Islam, Cendekiawan hingga masyarakat biasa, bahkan kunjungannya dianggap sebagai momen bersejarah.
Bahkan, dalam rangka menyambut kedatangan Paus Fransiskus ini, sebanyak 33 tokoh muslim Indonesia meluncurkan buku berjudul “Salve, Peregrinans Spei”, yang berarti “Salam Bagimu Sang Peziarah Harapan”. Buku yang tidak hanya sekadar sambutan, namun buku yang diharapkan menjadi simbol komitmen Indonesia terhadap toleransi dan keadilan sosial. Serta buku yang dapat menggambarkan semangat keberagaman dan pluralisme yang hidup di Indonesia (kompas.com, 2/9/2024).
Diketahui kedatangan Paus di Indonesia sudah dimulai sejak Selasa, 6 September 2024 kemarin. Paus Fransiskus telah melakukan beberapa kunjungan ke negara-negara mayoritas Muslim. dI 2019 misalnya, ia mendatangi Uni Emirat Arab (UEA) dan bertemu dengan Imam Besar Al-Azhar, membicarakan persaudaraan.
Perjalanan ke Indonesia adalah yang ketiga kalinya dilakukan oleh seorang Paus. Di mana yang pertama dilakukan Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1989. Sebelumnya, selain ke Jakarta, Paus Fransiskus juga akan mendatangi tiga negera lain di Asia Tenggara dan Pasifik. Yakni Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura (CNBCIdonesia.com, 5/9/2024). Selama di Indonesia, Pemimpin Gereja Katolik dunia ini melakukan serangkaian agenda, yaitu pertemuan dengan Presiden Jokowi, para pejabat dan diplomat, anggota Serikat Jesuit, tokoh agama Kristen, tokoh antaragama, dan umat Katolik dalam acara misa akbar di Gelora Bung Karno.
Kunjungan Pemimpin Gereja Katolik Dunia sekaligus Kepala Negara Vatikan, Yang Teramat Mulia Sri Paus Fransiskus pada 3—6 September 2024 bukanlah kunjungan biasa, tetapi mengandung misi global yang selama ini konsisten diharuskan di negeri-negeri muslim, yakni mempromosikan moderasi beragama. Kehadiran Paus Fransiskus di Indonesia menjadi sinyal kuatnya pengarusan moderasi beragama, ini bisa kita lihat dari pidato yang Paus Fransiskus sampaikan.
Paus menyampaikan bahwa pentingnya toleransi, keberagaman, dan perdamaian dunia ditengah meningkatnya konflik global dan ketegangan antarnegara. Paus Fransiskus, dalam sambutannya, menyatakan kekagumannya terhadap Indonesia sebagai negara yang mampu menjaga persatuan dalam keberagaman (presidenri.go.id, 4/9/2024).
Kedatangan Paus Fransiskus membuat isu toleransi kembali mencuat ke permukaan. Sikap penguasa maupun tokoh-tokoh agama terhadap Paus Fransiskus di moment ini seolah meneladankan sikap toleransi kepada umat Islam di Indonesia. Namun, benarkah toleransi yang mereka maksud dan praktekkan sudah sesuai dengan ajaran Islam?
Sungguh, umat Islam harus kritis dan memiliki sikap yang benar, terutama dalam permasalahan toleransi sesuai tuntunan syariat. Pasalnya, dalam Islam toleransi dalam kehidupan umat beragama memiliki aturan yang baku dan jelas. Sebagaimana sejarah yang menyebutkan bahwa Spanyol sebagai salah satu cermin hidup toleransi antara Muslim, Yahudi dan Kristen. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imron: 19)
Dari ayat ini jelas mengajarkan kepada umat Islam bahwa toleransi dengan orang kafir tidak boleh mengurangi keyakinan terhadap Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, sedangkan yang lain salah. Islam adalah satu-satunya jalan keselamatan di dunia dan akhirat, sedangkan yang lain tidak. Selain itu, toleransi tidak boleh mengurangi semangat dakwah mengajak mereka (orang kafir) untuk masuk Islam. Sebab, hubungan yang harusnya terbangun antara umat Islam dan orang kafir (non muslim) hanyalah hubungan dakwah. Sebagaimana yang pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ketika menjadi kepala negara di Madinah.
Di mana Rasulullah mengirim utusan yang membawa surat ajakan masuk Islam kepada Heraklius (kaisar Romawi), Raja Negus (penguasa Ethiopia), dan Kisra (penguasa Persia). Isi dalam surat tersebut, beliau mengajak mereka (para raja-raja) untuk masuk Islam dan keselamatan mereka akan terjamin di dunia dan akhirat. Namun jika menolak, beliau mengajak mereka bergabung dengan negara Islam di bawah kepemimpinan islam dengan jaminan keselamatan dunia. Dan jika masih menolak, maka Rasulullah menyatakan perang, karena mereka secara tidak langsung menghalangi secara jelas masuknya dakwah Islam ke negeri mereka. Demikianlah sikap Rasulullah terhadap pemimpin negara-negara kafir.
Toleransi bukan bermakna berpartisipasi, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tegas menolak melakukan toleransi dalam bentuk terlibat apalagi mengamalkan ajaran agama lain. Ketika masih di Mekah, ada beberapa tokoh kafir Quraisy menemui beliau, mereka menawarkan toleransi.
“Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (kaum muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Jika ada sebagian ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan mengamalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada sebagian ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus amalkan.” Kemudian turunlah Quran surah Al-Kafirun yang menolak keras toleransi semacam ini.
Oleh karena itu, sebuah kesalahan besar ketika masjid yang pada dasarnya merupakan tempat ibadah kaum muslimin, justru digunakan untuk menyambut pemimpin agama Katolik. Ini adalah toleransi kebablasan yang dipraktekkan kaum muslimin. Para ulama bersepakat, bahwa yang boleh menggunakan masjid dan memakmurkan masjid hanya orang muslim.
Toleransi yang kebablasan atau sesat ini bukan sebuah kebetulan, pasalnya kejadian ini bersamaan dengan upaya pemerintah mengaruskan moderasi beragama di tengah umat Islam. Proyek moderasi beragama adalah gagasan barat yang kini ditancapkan di negeri muslim, termasuk Indonesia. Definisi Islam moderat telah memunculkan makna yang rancu dan cenderung merugikan umat Islam, salah satunya terkait toleransi beragama yang tengah dijalankan rezim sekuler dalam menyambut paus ini.
Harus diakui bahwa ideologi kapitalisme dengan asas sekulernya tidak akan membiarkan ideologi Islam bangkit menggantikan eksistensi kapitalisme. Mengusung ide moderasi beragama, dengan berbagai pemikiran turunannya adalah salah satu strategi yang ditempuh barat sebagai pemilik ideologi kapitalisme untuk menghalangi umat Islam kembali kepada ajarannya yang shahih. Sebab jika hal tersebut terjadi maka tamatlah peradaban kapitalisme, Islam akan bangkit sebagai kekuatan besar dan memimpin dunia.
Melalui proyek moderasi ini pula mereka menuding umat Islam yang memperjuangkan Islam yang shahih dan menolak moderasi sebagai kelompok radikal intoleransi. Oleh karena itu, tidak ada sikap lain yang seharusnya ditunjukan oleh umat Islam hari ini kecuali menolak keras setiap upaya penyesatan umat Islam dan melakukan aktivitas dakwah untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam. Wallahualam bissawab.