
Oleh: Jenita Dewi, S.Pd. (Aktivis Dakwah Yogyakarta)
Linimasanews.id—Seolah tak ada tempat yang aman, nyaman, dan damai untuk menikmati hidup di Indonesia, padahal negeri ini mayoritas beragama Islam. Tingkat sadisme kini melewati ambang batas, tak ada lagi hati nurani, tak ada lagi rasa kemanusiaan. Betapa sekarang begitu mudah kita temukan berita di luar nalar. Banyak kasus kejahatan yang terus berulang terjadi di kalangan pemuda.
Sebuah video diduga aksi tawuran beredar viral di media sosial dan grup percakapan. Sejumlah pelaku tawuran tersebut terlihat membawa senjata tajam jenis klewang. Tampak salah satu pelaku tawuran lain mengayunkan senjata tajam yang mereka bawa (metrotvnews.com, 20/9/2024).
Sementara itu di wilayah lain, Polrestabes Semarang dan Pemerintah Kota Semarang menyepakati sejumlah langkah yang bakal ditempuh guna mencegah maraknya kasus tawuran antargeng belakangan ini. Para gengster yang berulah biasanya memiliki akun media sosial untuk saling menantang. Pemerintah mengimbau masyarakat untuk bisa ikut melaporkan akun itu agar di-take down (detikjateng.com, 20/9/2024).
Kasus ini hanyalah sepenggal kejahatan pemuda. Sudah berderet-deret korban bernasib tragis akibat ulah sadis dan biadab. Hal ini menunjukan makin suramnya potret generasi hari ini. Mereka bertindak semaunya tanpa memikirkan akibatnya, apalagi mengaitkannya dengan kehidupan akhirat. Hal yang demikian kian menghiasi kehidupan generasi saat ini. Fenomena ini sekaligus menggambarkan anak-anak kehilangan masa kecil yang membahagiakan. Tak ada lagi bermain dan belajar dengan tenang sesuai dengan fitrah anak dalam kebaikan.
Bobroknya kelakukan pemuda seharusnya membuka mata umat bahwa serangan pemikiran liberal begitu masif terjadi di tengah umat Islam. Liberalisme ini adalah buah dari sekularisme, ide yang memisahkan agama dari kehidupan. Sekularisme merupakan asas dari ideologi kapitalisme yang dimiliki Barat. Kehidupan serba bebas dituntun oleh hawa nafsu adalah buah pemikiran sekuler yang mengabaikan peran agama dalam kehidupan.
Dalam sistem ini, agama hanya dipandang sebagai formalitas. Standar kebahagiaan diletakkan pada kepuasan materi dan kesenangan jasadiyah semata. Sistem hukum pun lemah dalam menjerat pelaku kriminal. Ini juga yang makin menyuburkan kejahatan. Tak heran bila pemuda kian lihai berlakon sebagai penjahat.
Sistem sanksi yang sangat lemah terbukti dari banyak kasus kriminalitas terjadi, tetapi sanksi yang diberikan tidak memberikan efek jera pada para pelaku kejahatan. Belum lagi, jika pelaku masih di bawah umur, seolah mereka mendapat perlindungan. Padahal, di usia mereka yang dikata masih di bawah umur itu mereka mampu melakukan tindakan keji. Artinya mereka mestinya sudah tahu perbuatannya dan paham akan konsekuensinya. Jika sistem sanksi masih lemah, maka kejahatan akan terus berulang, bahkan dengan cara-cara yang lebih keji.
Kejahatan terjadi disebabkan banyak faktor ibarat lingkar setan. Pelaku kejahatan ada yang didorong desakan ekonomi, desakan nafsu ataupun pengaruh lingkungan.
Pengangguran, kemiskinan, dan ketidakadilan mendorong orang berbuat nekat. Kriminalitas juga makin subur dengan dibukanya peredaran minuman keras, konten porno, industri hiburan, dan propaganda-propaganda yang menyesatkan lainnya.
Kondisi ekonomi yang makin memprihatinkan menyebabkan rakyat hidup susah. Alhasil, rawan melakukan aksi kriminalitas. Mirisnya, sekularisme dijadikan asas dalam membangun sumber daya manusia. Lihatlah, sistem pendidikan diarahkan untuk mencetak generasi pendobrak perekonomian, sebagai tenaga kerja, tanpa peduli kepribadian yang terbentuk. Tak heran, ditemukan banyak pemuda yang pandai secara akademik, tetapi minim akhlak dan adab. Bahkan, mereka sudah ada di level bangga dengan kejahatan dan kemaksiatan yang dilakukannya.
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat membentuk kepribadian berakhlak dan berbudi luhur pada siswa, nyatanya tidak mampu melakukan tugasnya. Inilah buah dari penerapan paham sekularisme dan liberalisme. Sekolah pun turut terpengaruh. Visi membangun generasi yang hanya disandarkan untuk mengejar materi semata yang berakibat lahir generasi tamak, tanpa berpikir panjang apakah perbuatannya benar atau salah. Bahkan mereka dapat memaksakan kehendaknya agar keinginannya terpenuhi. Cara pandang seperti inilah yang mendorong manusia melakukan tindakkan kriminalitas dengan mudah.
Islam Solusi Komprehensif
Islam adalah satu sistem kehidupan yang begitu kuat mendorong umatnya untuk meraih ilmu. Kewajiban meraih ilmu di antaranya ditetapkan berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw., “Meraih ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah).
Dengan demikian, dalam Islam pendidikan merupakan kewajiban dan kebutuhan bagi umat. Pendidikan telah diwajibkan oleh syariat juga kebutuhan vital untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Karena itu, negara Islam memfasilitasi wajib belajar untuk setiap warga negaranya. Pendidikan dibuat berbasis pada akidah Islam. Sistem pendidikan yang seperti ini akan membentuk para siswa berkepribadian Islam, dengan pola pikir Islam dan pola sikap Islam.
Akidah Islam akan membuat siswa mampu membedakan perbuatan baik dan buruk. Dengan demikian, lahir generasi dengan pribadi adab mulia yang taat kepada Allah Swt. dan senantiasa menggunakan ilmunya untuk hal yang bermanfaat, yaitu memelihara agama (Islam) dan kemajuan peradaban, bukan hanya mengejar materi semata.
Di lain sisi, untuk mencegah merajalelanya tindak kejahatan, Islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Aturan Islam telah menjelaskan bahwa setiap tindak kejahatan akan dimintai pertanggungjawaban berupa sanksi di dunia dan di akhirat kelak. Oleh karena itu, sanksi-sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir).
Demikianlah, hanya Islam saja yang mampu memberi solusi komprehensif mengatasi kriminalitas yang merajalela saat ini. Namun, penerapan aturan Islam dalam kehidupan hanya akan terwujud oleh negara karena negaralah yang memiliki wewenang penuh dalam mengatur warga negara dan menerapkan suatu hukum di wilayahnya.