
Suara Pembaca
Pertamina, sebagai penyedia bahan bakar minyak (BBM) terbesar di Indonesia, telah mengumumkan rencana untuk menghapus Pertalite dari daftar produk mereka. Langkah ini diambil dengan alasan bahwa Pertalite dianggap tidak layak pakai dan tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Sebagai hasilnya, tahun depan hanya akan tersedia tiga jenis BBM yang dijual oleh Pertamina.
Wacana penghapusan atau pembatasan Pertalite bukanlah hal baru. Diskusi mengenai masa depan Pertalite telah berlangsung sejak tahun lalu. Namun, pada tahun 2024, rencana ini akan menjadi kenyataan (23/4/2024). Sebenarnya, standar penentuan layak atau tidaknya suatu jenis bahan bakar berdasarkan apa? Pasalnya, standar kelayakan suatu bahan bakar sering kali berubah mengikuti kepentingan tertentu.
Apabila di waktu mendatang ditemukan lagi bahan bakar yang dinilai lebih mengurangi polusi meskipun kecil, selama hal tersebut dapat menjadi komoditi potensial, dan lebih menjanjikan keuntungan maka akan dijual juga ke rakyat, dengan menarik produk yang lama. Suatu kepentingan tertentu memungkinkan dapat mengubah standar. Pada faktanya, selama Pertalite beredar belum pernah ada kasus yang muncul akibat dampak Pertalite tersebut.
Semenjak Pertalite muncul digunakan sebagai alternatif bahan bakar pengganti premium, awalnya sempat diunggulkan sebagai bahan-bakar yang ramah lingkungan. Sebagaimana yang pernah ditulis dalam salah satu artikel di salah satu media. “Pertalite Melaju Lebih Jauh,” demikian slogan bahan bakar berkadar oktan 90 tersebut. Pada 24 Juli 2015, bahan bakar berwarna hijau terang ini mulai diuji coba pasar di 101 SPBU di tiga kota: Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dalam uji pasar itu Pertamina mengklaim Pertalite sebagai bahan bakar ramah lingkungan, irit, dan harga terjangkau.(30/08/2017).
Secara pertimbangan dampak lingkungan pun tidak terlihat nyata. Justru yang sangat jelas terasa dampaknya adalah terjadinya penghilangan hutan dalam skala luas, yang menjadi paru-paru negeri, bahkan dunia. Yang pasti akan terkena dampak adalah sosial ekonomi masyarakat, karena harus mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk operasional kehidupan. Demikian juga bagi pedagang skala kecil sampai menengah dan masyarakat pada umumnya. Terjadi peningkatan harga kebutuhan pokok seperti sembako dan bahan dasar produksi tak dapat dihindari. Hal ini akan mengakibatkan makin berat taraf hidup rakyat pada umumnya.
Keputusan perundangan yang muncul di belakang, sesudah suatu produk bahan bakar ditetapkan untuk digunakan, merupakan suatu keputusan yang tidak mempertimbangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Maka hal demikian akan selalu muncul selama ada kepentingan yang bercampur aduk antara individu sebagai pejabat negara dengan pengusaha.
Jika suatu keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak berlandaskan tuntunan pedoman hidup ummat manusia, niscaya akan menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Namun, jika didasarkan pada suatu kepentingan semata maka hanya kesengsaraan yang didapatkan. Sementara tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi tidak tercapai, bahkan terbengkalai.
Tari Handrianingsih
Kota Yogyakarta, DIY