
Oleh: Ika Kusuma
Linimasanews.id—Indonesia negara dengan kekayaan alam yang melimpah dan tersebar hampir di seluruh luas wilayahnya. Salah satunya, tambang emas. Indonesia tercatat menempati posisi ke-6 dunia sebagai negara dengan cadangan emas terbesar, sebanyak 2600 ton. Selain itu, menduduki posisi ke-8 sebagai negara dengan produksi emas, sebanyak 110 MT pada tahun 2023.
Namun sayangnya, banyak sekali ditemukan kasus tambang emas ilegal. Bukan oleh WNI saja, tetapi juga WNA. Seperti yang terjadi di Kalimantan Barat, sekelompok Warga Negara Asing (WNA) asal China telah menggali lubang sepanjang 1.648,3 meter di bawah tanah di Ketapang, Kalimantan Barat dan berhasil menggasak 774,27 kg emas serta 937,7 kg perak dengan total kerugian negara ditaksir mencapai Rp1,02 triliun (CNNIndonesia.com, 27/9/2024).
Diketahui, Kalimantan Barat merupakan provinsi penting dalam industri emas dan perak Indonesia, berada di urutan kedua Izin Usaha Pertambangan (IUP) terbanyak setelah Sulawesi Tenggara. Berdasarkan data ESDM 2020, di Kalimantan Barat terdapat 21 IUP emas dan perak serta terdapat 2 eksplorasi (CNBCIndonesia.com, 15/5/2024).
Diketahui pula, penambangan emas ilegal tak hanya menyebabkan kerugian negara dan kerusakan alam, tetapi juga korban nyawa akibat kurangnya tingkat keamanan bagi para pekerja. Seperti di Solok Sumatra Barat, 11 orang dinyatakan meninggal dan 13 lainya terluka akibat longsor di tambang emas ilegal (VOA Indonesia.com, 28/9/2024). Kasus serupa juga sudah sering terjadi di tambang-tambang ilegal lainya.
Namun demikian, yang juga tidak boleh luput dari perhatian, bukan hanya kasus tambang ilegal yang merugikan negara. Sebab, kekayaan alam Indonesia faktanya juga disinyalir lebih banyak menghasilkan keuntungan bagi perusaan asing dibanding untuk rakyat.
Salah satunya, tambang emas terbesar di Distrik Grasberg. Pengelolanya merupakan perusahaan patungan Freeport-MC Moran dengan perusahan BUMN Indonesia Asahan Aluminium. Meskipun bekerja sama dengan BUMN, tidak bisa dimungkiri persentase keuntungan lebih banyak mengalir ke kantong swasta, bahkan asing. Hal serupa tak hanya terjadi pada tambang emas, tetapi tambang-tambang kekayaan alam Indonesia lainya. Sebab, pengelolaannya banyak diserahkan kepada pihak asing maupun swasta.
Padahal, dengan kekayaan alam yang melimpah, harusnya rakyat bisa menikmati hasilnya. Malangnya, rakyat di daerah dengan sumber kekayaan melimpah, kerap kali justru hidup di bawah garis kemiskinan. Akibatnya, banyak muncul tambang-tambang ilegal sebagai bentuk ketidakpuasan rakyat karena mereka juga merasa mempunyai hak untuk menikmati hasil dari kekayaan alam tersebut. Meskipun sering mendatangkan korban jiwa karena keamanan yang kurang, nyatanya keberadaan tambang ilegal terus menjamur.
Selain penerapan hukum yang kurang tegas, ini membuktikan adanya kesalahan tata kelola tambang. Negara terbukti belum berhasil mengelola SDA dengan benar. Negara masih sangat tergantung pada asing dan swasta dalam mengelola SDA-nya sehingga hasil yang didapat pun tak bisa maksimal. Bahkan, negara hanya mendapatkan persentase yang kecil dari keuntungan yang didapat.
Inilah dampak penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini hanya menjadikan SDA sebagi objek penghasil keuntungan, tanpa memperhatikan hal lain. Akibatnya, negara tak lagi mengindahkan kerusakan yang diakibatkan eksplorasi berlebihan. Pemerintah juga terkesan enggan ribet dengan menyerahkan pengelolaan SDA kepada swasta ataupun asing dengan dalih apa pun itu, alih-alih mengelolanya sendiri.
Ironis, Indonesia termasuk negara yang cadangan emasnya terbesar dunia, tetapi rakyatnya banyak hidup di bawah garis kemiskinan. Indonesia termasuk terbanyak mempunyai tambang produksi, tetapi rakyatnya masih sulit mencari kerja. Bukankah semua ini sudah cukup menjadi bukti kegagalan negara dalam mengelola SDA? Harusnya negara tak cukup hanya sebagai regulator kebijakan bagi para pemodal. Negara harusnya ambil peran utama dalam mengelola SDA-nya untuk kesejahteraan rakyat. Ini bukti sistem kapitalis telah menyandera fungsi negara yang sesungguhnya.
Jika merujuk pada sistem Islam, negara diposisikan sebagai raa’in (pelayan) yang berfungsi mengurusi semua keperluan rakyatnya. Kekuasan digunakan dengan sebaik-baiknya untuk mengurus rakyatnya, termasuk pengelolaan SDA. Dalam Islam, SDA yang melimpah adalah milik bersama, semua rakyat berhak memanfaatkan dan menikmati hasilnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, rumput dan api, dan harganya adalah haram. Abu Sa’id berkata, yang dimaksud adalah air yang mengalir.” (HR.Abu Daud dan Ahmad).
Kerena itu, negara akan mengelola SDA yang ada, sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Negara tidak akan menyerahkan pengelolaannya kepada asing maupun swasta karena selain merugikan, ini juga akan membahayakan kedaulatan negara.
Dengan begitu, lapangan pekerjaan juga otomatis akan banyak tersedia. Negara mesti memanfaatkan SDM yang ada tanpa campur tangan asing. Kekurangan tenaga ahli akan bisa diatasi dengan terus meningkatkan kemampuan SDM melalui pendidikan sehingga mampu menghadirkan tenaga tenaga ahli di bidangnya. Selain itu, keamanan para pekerja selalu dijamin sesuai standar keamanan serta didukung penyediaan alat-alat canggih sesuai perkembangan teknologi terbaru.
Eksplorasi dan ekploitasi SDA juga diperhatikan agar tidak berlebihan dan dilakukan sebaik mungkin sehingga meminimalisasi kerusakan alam yang mungkin terjadi. Hal ini penting guna menjaga kelestarian SDA. Karena sejatinya, Islam memandang SDA sebagai anugerah dari Allah Swt. dan rahmat bagi seluruh alam. Karena itu, umat berhak memanfaatkanya untuk kesejahteraan. Di saat yang sama juga wajib menjaga kelestariannya. Untuk itu, penerapan sanksi tegas tak segan-segan dilakukan jika ada oknum nakal yang melanggar.
Jika sistem Islam kembali ditegakkan, tidak lagi mustahil, seluruh umat bisa merasakan manfaat kekayaan SDA. SDA bukan lagi hanya milik segelintir orang yang punya kuasa seperti dalam sistem kapitalisme saat ini.