
Oleh: Diny Nahrudiani, S.K.M, M.K.M (Praktisi kesehatan)
Linimasanews.id—Media sosial dihebohkan dengan beredarnya video yang menunjukkan beberapa produk dengan nama seperti “tuyul”, “tuak”, “beer”, dan “wine” yang diklaim telah mendapatkan sertifikasi halal. Informasi ini memicu kebingungan dan kemarahan di masyarakat, terutama karena produk-produk tersebut dikenal sebagai minuman keras atau memiliki konotasi yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Namun, dalam pernyataannya yang dengan cepat merespons situasi ini untuk memberikan klarifikasi, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama menegaskan bahwa masalah ini lebih terkait dengan penamaan produk daripada kandungan atau substansinya. Menurutnya, produk-produk tersebut mungkin menggunakan nama yang kontroversial, tetapi tidak serta merta berarti zat di dalamnya haram.
Sertifikasi halal yang diberikan oleh BPJPH selalu berdasarkan bahan dan proses produksi produk tersebut, bukan semata-mata namanya. Sebagai contoh, minuman bernama “beer” atau “wine” yang mungkin mengacu pada produk halal seperti minuman berkarbonasi atau non-alkohol. BPJPH memastikan bahwa produk yang mendapatkan sertifikat halal telah melalui proses pemeriksaan yang ketat untuk memastikan bahwa tidak ada kandungan haram yang digunakan.
Menilai hal tersebut, dalam Islam, konsep halal (diperbolehkan) dan haram (dilarang) memang sangat penting dan menjadi panduan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari-hari, terutama dalam aspek makanan, minuman, dan produk konsumsi. Prinsip-prinsip ini diatur dalam Al-Qur’an dan hadis, serta diperjelas oleh para ulama untuk memastikan umat Islam menjalankan perintah Allah dengan benar
Mengapa Halal dan Haram Penting dalam Islam?
Prinsip halal dan haram bertujuan untuk menjaga kemurnian jiwa dan kesehatan fisik umat Islam. Allah Swt. menciptakan aturan ini sebagai bentuk rahmat bagi manusia, untuk menjaga keseimbangan dan kesucian hidup. Dengan menghindari produk haram, seorang muslim akan dapat hidup dengan lebih sehat dan sesuai dengan fitrah yang ditetapkan Allah.
Dalam Islam, mengonsumsi produk haram tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga spiritual. Daging atau minuman yang haram dapat menjadi penghalang doa dikabulkan, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis Nabi Muhammad saw. Selain itu, menghindari yang haram adalah salah satu cara untuk menjaga kebersihan hati dan menjauhkan diri dari dosa.
Keharaman tentang khamr disebutkan dalam Al-Qur’an, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Ma’idah: 90)
Penentuan halal dan haram berkaitan prinsip maqasid syariah (tujuan syariat), yaitu untuk melindungi lima hal utama: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Segala sesuatu yang mengancam lima tujuan ini, dilarang. Sedangkan yang mendukungnya, dianjurkan atau diizinkan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip halal dan haram dalam Islam bukan semata-mata tentang makanan dan minuman, tetapi juga menyangkut seluruh aspek kehidupan umat Islam.
Karena itu, dengan perkembangan industri makanan dan produk, lembaga sertifikasi halal seperti BPJPH di Indonesia berperan penting untuk memastikan bahwa produk yang dikonsumsi umat Islam sesuai dengan prinsip-prinsip halal yang diajarkan dalam Islam. Di samping itu, peran negara juga sangat penting untuk mengontrol terjaminnya kehalalan produk yang beredar di masyarakat.
Namun, negara yang tidak menggunakan hukum Islam, memang akan sulit tegas. Sebab, dasar dari pengaturan masyarakatnya tidak berdasarkan ideologi Islam sehingga akan terus menerus berbenturan dengan kepentingan. Dalam sistem kapitalis, hanya keuntungan yang diperhatikan, bukan lagi standar halal haram dan rida Allah sebagaimana dalam sistem Islam. Alhasil, sekedar penamaan produk dan pemberian label halal pun masih kontroversi. Sistem kapitalis terbukti tidak memiliki aturan yang jelas terkait produk halal dan haram.