
Oleh: Eki Efrilia
“Penjara sekalipun tak bakal mampu mendidikku jadi patuh”
(Wiji Thukul, penyair Indonesia)
Linimasanews.id—Penggalan puisi dari Wiji Thukul, (seorang penyair yang disinyalir merupakan korban penculikan saat reformasi 1998 dan sampai sekarang belum ditemukan) ini, seperti sesuai dengan kelakuan beberapa oknum warga binaan pemasyarakatan (WBP) di lembaga pemasyarakatan kelas IIA Cikarang. Meski mereka sudah ada di dalam jeruji besi dan wajib taat pada aturan yang berlaku di penjara, ternyata masih banyak yang melanggar.
Hal itu terbukti setelah dilaksanakan pengeledahan kamar dan tes urine oleh petugas Lapas (lembaga pemasyarakatan) dibantu oleh aparat penegak hukum dan Badan Narkotika Kabupaten Bekasi, di mana ternyata ada barang-barang terlarang yang ditemukan seperti 10 unit handphone, 12 unit charge, 1 unit terminal, 1 unit headset, 2 buah tang, 3 buah paku, 1 alat cukur, 3 gunting, 1 alat cukur elektrik, 6 buah senjata tajam, 2 buah tali, 7 buah besi dan lain sebagainya (Okezone.com, 3 Oktober 2024).
Tentu saja peralatan tersebut sangat berbahaya, misalnya seperti handphone yang sekarang ini ternyata marak dipakai untuk transaksi narkoba antara penghuni lapas dengan orang-orang di luar lapas. Juga dengan adanya senjata tajam, tang, dan peralatan lain yang bisa jadi dipakai untuk melukai sesama warga binaan atau bahkan bisa untuk menyerang sipir penjara.
Sayangnya, dalam sidak (operasi mendadak) yang sudah pasti dilakukan untuk kesekian kalinya ini, tetap saja ada barang-barang berbahaya tersebut. Ini menunjukkan para warga binaan tersebut tidak pernah jera atas hukumannya. Padahal seharusnya, penggeledahan barang-barang terlarang di kamar-kamar warga binaan, mengandung efek jera bagi para mereka. Efek jera tersebut sebetulnya adalah dengan memberi mereka tuntutan hukum tambahan atas tindak pidana membawa barang-barang terlarang ke dalam bui. Kalau hanya penyitaan, sangat mungkin mereka mengulangi perbuatannya lagi.
Juga tentang tes urine yang ternyata dilakukan secara acak, hanya kepada 33 orang warga binaan. Padahal menurut data, jumlah warga binaan 1.724 orang (bekasikab.co.id, 4 Oktober 2024). Apabila memang ingin memberantas narkoba di lapas tersebut, maka seharusnya diberlakukan tes urine kepada semua warga binaan.
Tindakan aparat dengan menggeledah kamar dan menguji urine warga binaan secara acak ini seperti hanya sebuah seremonial belaka, tetapi efeknya hampir tidak ada kepada warga binaan. Para warga binaan ini seharusnya benar-benar dibina agar kelak saat kembali ke masyarakat, mereka telah menjadi seperti masyarakat pada umumnya yang tidak ada kekhawatiran akan membuat onar atau kejahatan. Sayangnya saat ini, banyak residivis atau penjahat kambuhan, yaitu setelah keluar penjara ternyata membuat ulah lagi.
Semua itu dikarenakan kehidupan saat ini dilingkupi oleh sistem kapitalisme, yaitu sistem yang mengedepankan materi atau harta atas segala hal. Orang menjadi berlomba-lomba memperkaya diri, baik itu dengan cara halal maupun haram. Sayangnya, orang mencari harta dengan cara haram saat ini semakin banyak saja. Sehingga jeruji besi alias penjara menjadi makin penuh manusia, bukan malah makin berkurang.
Hal ini dikarenakan, sistem kapitalis saat ini mempunyai sistem hukum yang sangat lemah, banyak kongkalikong antara penjahat dan aparat. Sehingga saat dipenjara pun, asal si terpidana banyak uang, dia bisa menyogok aparat sehingga dia bisa mendapatkan fasilitas, misalnya handphone, kipas angin atau AC (Air Conditioner), kamar VIP yang berbeda dengan barak-barak penjara yang kumuh yang penuh dengan orang dan lain sebagainya.
Contoh yang saat ini peristiwanya sedang viral adalah adanya pungli (pungutan liar) di rumah tahanan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Apabila si tersangka ingin tidak dimasukkan ke ruang isolasi, maka ia harus membayar sejumlah besar uang yang kisarannya puluhan juta kepada oknum karyawan KPK (hulondalo.id, 4/10/2024).
Sistem kapitalisme yang sudah terbukti sangat busuk dan membuat banyak negara salah urus termasuk di negeri ini, sudah sewajarnya diganti. Tentu saja, penggantinya adalah sistem Islam. Ada tiga pilar yang akan selalu menyertai sistem Islam yang dilaksanakan secara kaffah di bawah naungan Khilafah Islamiyah ‘ala minhajjin nubuwwah, yaitu yang pertama adalah keimanan dan ketaqwaan individu, sedangkan yang kedua adalah opini publik yang memandang buruk kejahatan atau kemaksiatan dan kemudian yang ketiga adalah sanksi tegas dari negara bagi para pelaku kriminal.
Seorang muslim yang beriman akan tunduk kepada aturan-aturan Allah. Ketaqwaan yang dimilikinya akan mencegah dirinya dari perbuatan-perbuatan kriminal seperti mencuri, merampok, menggunakan dan mengedarkan narkoba, berzina dan lain sebagainya. Semua itu ia upayakan karena ia sangat takut terhadap azab Allah di hari kemudian dan ia begitu merindukan surga sebagai rumah terakhirnya.
Lingkungan masyarakat di bawah naungan Khilafah Islam adalah lingkungan yang mengemban dan menyebarkan nilai-nilai Islam, di mana perbuatan yang melanggar hukum Allah dipandang sebagai perbuatan yang sangat hina. Hal ini akan menjadi opini publik yang akan selalu diemban oleh masyarakat. Apabila Ada pelanggaran hukum, maka masyarakat akan mengingatkan dan mencegah perbuatan tersebut meluas dan menjadi bencana.
Negara mempunyai peranan penting agar rakyat terhindar menjadi pelaku atau korban atas sebuah kejahatan. Negara memfasilitasi pembinaan-pembinaan keumatan sehingga kaum muslim taat kepada hukum-hukum Allah. Apabila ada pelanggaran pidana, maka negara segera menindak tegas pelaku dan si pelaku akan diadili sesuai hukum negara yang semuanya bersumber pada hukum-hukum Allah. Dalam Islam, sifat sanksi hukumannya adalah zawajir (menimbulkan efek jera bagi si pelaku dan orang lain sehingga tidak berani melakukan kejahatan serupa) dan jawabir (menebus dosa kejahatan tersebut sehingga tidak lagi terhitung dosa lagi di hari perhitungan kelak).
Dengan sistem kekhilafahan Islam yang menerapkan sanksi yang tepat yang sumbernya Kitabullah dan hadis Nabi, sudah sangat bisa dipastikan angka kejahatan jauh menurun dan bisa jadi malah sampai ke angka zero.