
Oleh. Fathimah A. S.
(Aktivis Dakwah Kampus)
Linimasanews.id—Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat, jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) dari Januari sampai September hampir mencapai 52.933 orang. Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengatakan, PHK utamanya terjadi di sektor tekstil dan pekerja paruh waktu (part time) (finance.detik.com, 26/9/2024).
Hal ini selaras dengan data dari Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), sejak Januari hingga September terdapat perusahaan tekstil tutup dan melakukan PHK yang jika ditotal sebanyak 14.000 buruh, di antaranya PT S Dupantex, PT Alenatex, PT Kusumahadi Santosa, PT Kusumaputra Santosa, PT Pamor Spinning Mills, PT Sai Apparel, PT Sinar Panca Jaya (kumparan.com, 1/9/2024).
Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Nurjaman, mengatakan tingginya angka PHK ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah turunnya daya saing industri dalam negeri hingga terbatasnya kecukupan modal dan anjloknya daya beli masyarakat (cnbcindonesia.com, 7/92024). Selain itu, PHK juga terjadi karena perusahaan melakukan pemangkasan demi alasan efisiensi keuangan (bbc.com, 12/9/2024).
Problem Mengakar
Gelombang PHK yang terjadi di tahun 2024 menunjukkan ada yang tidak beres dengan tata kelola ekonomi di negeri ini. Bila kita bicara terkait lapangan kerja, pihak yang memegang peran sentral adalah negara. Mulai dari pengadaan lapangan kerja hingga perlindungan hak-hak pekerja. Akan tetapi, hari ini peran tersebut sangat minim bahkan luput dari perhatian. Berbagai aset publik, kekayaan negara, dan kekayaan umum sebagian besar berada dalam kendali swasta. Padahal apabila kekayaan tersebut dikelola dengan baik oleh negara, akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Tak pelak, pengadaan lapangan kerja dan pengelolaan pekerja lebih bergantung pada swasta atau industri, namun justru memunculkan masalah baru. Sudah menjadi rahasia umum, industri merupakan pihak yang memiliki keinginan untuk mengejar keuntungan dan meminimalisir kerugian. Ketika terdapat masalah, industri akan berusaha menekan biaya produksi dan yang paling mudah adalah melakukan PHK. Ini adalah lingkaran setan sistemik yang sulit diurai dalam kehidupan kapitalistik hari ini.
Terlebih lagi, adanya payung hukum berupa UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja semakin terlihat jelas keberpihakan pada investor atau swasta. Alhasil, terjadi pengabaian perlindungan hak-hak pekerja dan peningkatan potensi PHK. Sebaliknya, UU tersebut juga mempermudah tenaga kerja asing (TKA) masuk ke dalam negeri.
Islam Melindungi Pekerja
Hal ini berbeda jauh dengan Islam. Aturan dalam Islam berasaskan akidah Islam, yaitu keimanan kepada Allah Swt. Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengatur. Sehingga aturan-aturan Islam ini akan menyisihkan kepentingan golongan tertentu. Negara akan berperan sebagai pemelihara urusan rakyat. Berlandaskan ketakwaan, penguasa akan menegakkan syariat Islam dengan seadil-adilnya karena terikat dengan pertanggungjawaban kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Melalui penerapan sistem ekonomi islam, negara akan menjamin pemenuhan seluruh kebutuhan pokok rakyatnya, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Selain itu, pengadaan lapangan kerja juga selalu diprioritaskan. Mekanismenya dengan pengelolaan kekayaan umum dan pengembangan proyek padat karya dalam berbagai sektor seperti pertanian, perikanan, perindustrian, dan pertambangan.
Dengan demikian, lapangan kerja akan selalu ada. Kemudian, iklim usaha akan diciptakan agar kondusif, seperti birokrasi yang tidak berbelit dan mudahnya akses informasi pasar, sehingga dapat memudahkan orang yang ingin membuka usaha baru. Dengan pengaturan seperti ini, pekerja dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dengan baik.
Dalam Islam juga terdapat pengaturan terkait pengusaha dan pekerja. Negara juga wajib menjamin pelaksanaan hal ini. Hubungan antara pengusaha dan pekerja adalah hubungan kerja sama dengan posisi setara, tidak ada yang dipandang lebih rendah dan tidak ada yang dipandang lebih tinggi. Pengusaha dan pekerja harus melakukan kontrak kerja (akad ijarah) dengan prinsip saling menguntungkan, tidak boleh ada satu pihak yang mendzalimi dan merasa terzalimi.
Demikianlah Islam menyelesaikan problem pekerja dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Insyaallah, penerapan Islam secara kaffah akan membawa pada keberkahan di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bishawwab.