
Suara Pembaca
Raffi Ahmad menjadi bahan pergunjingan netizen setelah mengabarkan dirinya mendapatkan gelar doktor kehormatan atau honoris causa (HC) dari sebuah universitas di Thailand. Ia mendapatkan gelar tersebut dalam bidang Event Management and Global Digital Development (3/10).
Pemberian-pemberian gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) oleh kampus ke sejumlah tokoh bukan fenomena baru. Misalnya, Ketua DPR Puan Maharani mendapat gelar kehormatan oleh Universitas Diponegoro (Undip). Lalu ada Wakil Ketua Umum Golkar Nurdin Halid yang juga diberikan gelar kehormatan oleh Universitas Negeri Semarang (Unnes). Selain Doktor Kehormatan, ada juga nama Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri yang dianugerahi Profesor Kehormatan dengan status Guru Besar Tidak Tetap oleh Universitas Pertahanan RI (Unhan).
Penghargaan ini diberikan oleh perguruan tinggi melalui proses seleksi tertentu dan atas persetujuan Menteri Pendidikan. Tokoh atau pejabat publik di negeri ini yang mendapatkan gelar kehormatan tersebut diklaim telah melakukan terobosan-terobosan solutif untuk menyelesaikan problematika negeri ini atau telah memberikan jasa luar biasa bagi perguruan tinggi dan umat manusia. Namun, apakah faktanya demikian?
Jika melihat kondisi masyarakat yang ada, baik kualitas pendidikan, kesehatan, dan taraf hidup ekonomi, tidak ada perubahan signifikan. Bahkan, kalau kita boleh jujur, kondisi masyarakat di negeri ini masih terpuruk dalam kepemimpinan rezim 10 tahun ini. Paradigma kapitalisme telah menjadikan gelar akademik adalah sebuah privilese yang tidak hanya menentukan besaran tunjangan hidup, tetapi juga menjadi jalan untuk meraih simpati publik. Wajar, tidak sedikit tokoh dan pejabat publik berupaya meraih gelar kehormatan tersebut.
Realitas ini jelas makin menjauhkan dunia pendidikan dari visi mulianya, sekaligus mencoreng muruah kaum cendekia. Hal ini juga merugikan mahasiswa serta alumni yang telah berusaha keras bertahun-tahun untuk meraih gelar akademik di kampus dan ketidakadilan bagi mereka yang benar-benar layak mendapatkan gelar tersebut berdasarkan prestasi dan dedikasi yang dimiliki. Setinggi apa pun gelar akademik seseorang, ia harus mampu mempertanggungjawabkan gelarnya. Gelar sejati bukan diraih untuk meraih reputasi atau kepentingan materi semata, tapi untuk memecahkan permasalahan dan kemuliaan hidup manusia.
Islam menetapkan bahwa manusia terbaik semata karena ketakwaannya, bukan gelar akademiknya. Dalam Islam, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian Islam. Ini terwujud dengan cara menanamkan tsaqafah Islam berupa akidah, pemikiran, dan perilaku islami. Terlebih lagi, pada diri ahli ilmu melekat pemahaman bahwa segala sesuatu yang mereka peroleh di dunia, kelak akan Allah minta pertanggungjawabannya. Dengan begitu, setinggi apa pun ilmu seseorang dan sebanyak apapun gelar yang mereka miliki, orientasinya adalah untuk kehidupan akhirat.
Tidak sebatas itu, Islam juga mengajarkan keterpaduan antara ilmu dan amal. Ilmu tidak hanya menjadi sesuatu yang dihafalkan, atau pelengkap orasi ilmiah di panggung pengukuhan. Ilmu adalah rujukan dalam berpikir dan berbuat. Sistem pendidikan Islam pun bertujuan membentuk intelektual agar mengamalkan ilmunya demi kemaslahatan umat, bukan semata demi tujuan-tujuan individual yang bersifat duniawi.
Mayang Trisna Wardani
(Mahasiswa Pasca Sarjana, Bogor)