
Oleh: Rohayah Ummu Fernand
Linimasanews.id—Organisasi Pangan Dunia (FAO) yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengungkapkan, masih banyak kelaparan akut di 59 negara atau wilayah, dengan jumlah 1 dari 5 orang di negara itu mengalami kelaparan akibat permasalahan pangan akut. Berdasarkan laporan mereka bertajuk Global Report on Food Crises 2024, tercatat sebanyak 282 juta orang di 59 negara mengalami tingkat kelaparan akut yang tinggi pada 2023. Jumlah orang kelaparan pada 2023 itu meningkat sebanyak 24 juta orang dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini disebabkan oleh meningkatnya cakupan laporan tentang konteks krisis pangan serta penurunan tajam dalam ketahanan pangan, terutama di jalur Gaza dan Sudan.
“Krisis ini menuntut tanggapan segera. Menggunakan data dalam laporan ini untuk mengubah sistem pangan dan mengatasi penyebab kerawanan pangan dan kekurangan gizi akan sangat penting,” kata Antonio Guterres, sekretaris jenderal PBB di website FAO.org sebagaimana dikutip Sabtu (4/5/2024).
Selama empat tahun berturut-turut, proporsi orang yang menghadapi kerawanan pangan sudah tinggi. Anak-anak dan perempuan berada di garis depan krisis pangan ini, dengan lebih dari 36 juta anak di bawah usia 5 tahun kekurangan gizi akut di 32 negara (CNBCIndonesia.com, 4/5/2024).
Buah Penerapan Kapitalisme Global di Dunia
Persoalan kelaparan yang tiada usai di dunia hari ini sejatinya merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme global di dunia. Sistem kapitalisme mengakibatkan sebagian besar kekayaan alam dikuasai oleh segelintir orang. Sistem kapitalisme menafikkan kepemilikan umum atau publik, sebaliknya liberalisasi kepemilikan justru diakui dan diberlakukan. Alhasil, siapa saja yang memiliki modal besar akan diberi jalan untuk melakukan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang notabene adalah milik umum/publik.
Konsep kapitalisme telah menjadikan sebagian besar umat manusia sulit mengakses kebutuhan pokoknya, salah satunya berupa pangan. Kalaupun diberi akses, masyarakat harus membayar dengan harga yang mahal. Sebab, liberalisasi sumber daya alam oleh pihak swasta/pemilik modal meniscayakan kapitalisi yang berorientasi pada untung (bisnis). Faktanya, pemerintah terus melibatkan korporasi dalam produksi dan distribusi pangan, mulai dari produksi hingga distribusi yang melakukan kartel, spekulan, penimbunan, dan lain-lain. Karenanya, kedaulatan pangan adalah hal yang mustahil direalisasikan jika masih mempertahankan sistem kapitalisme.
Kondisi ini diperparah dengan negara dalam sistem kapitalisme yang hanya diposisikan sebagai regulator. Negara dalam sistem kapitalisme berlepas tangan atas tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat, termasuk dalam menjamin kebutuhan pangan. Alih-alih mengayomi masyarakat, sistem kapitalisme justru melahirkan aturan-aturan yang menyengsarakan rakyat.
Islam Menjamin Kebutuhan Pangan Rakyat
Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam, sebuah aturan hidup yang datang dari Allah, sang pencipta manusia dan alam semesta. Islam memandang pemimpin/penguasa wajib bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyatnya, termasuk dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka, seperti pangan, sandang, dan papan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“Imam/pemimpin adalah raa’in (pengurus) dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Politik pangan Islam di dalam negeri adalah mekanisme pengurusan hajat pangan seluruh individu rakyat, yakni menjamin pemenuhan pangan seluruh rakyat, individu per individu. Islam memandang peran sentral pengaturan seluruh aspek kehidupan, termasuk tata kelola pangan berada di tangan negara/Khilafah. Sebab, negara adalah penanggungjawab utama dalam mengurusi dan memenuhi hajat rakyat, yakni sebagai raa’in (pelayan/pengurus) dan junnah (pelindung). Negara adalah ujung tombak dalam pengelolaan pangan, bukan korporasi.
Dalam hal produksi, negara harus memberikan dukungan kepada para petani dengan membuka seluas-luasnya lahan pertanian. Tanah negara dan tanah rakyat yang menganggur dan tidak dikelola dapat dimanfaatkan menjadi lahan-lahan pertanian produktif bagi siapa saja yang mau dan bersedia mengelolanya. Berbagai kemudahan harus diberikan oleh negara kepada para petani, mulai dari kemudahan perizinan penggunaan lahan, infrastruktur, subsidi, hingga permodalan gratis. Dukungan lahan diberikan dengan melakukan link and match dengan memanfaatkan lembaga-lembaga penelitian (riset) dalam mengembangkan produksi pangan sesuai kebutuhan petani. Di mana lembaga ini akan dikelola oleh negara, bukan korporasi.
Negara Khilafah akan melepaskan diri dari ikatan-ikatan internasional. Sebab, keterikatan dengan lembaga internasional menyebabkan kebijakan negara akan terikat dengan lembaga tersebut. Padahal dalam Khilafah, kebijakan negara harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, sebab hal ini akan menghilangkan kemandirian negara. Begitupun rantai pasok pangan, seluruhnya akan dikuasai oleh negara dan tidak boleh dialihkan kepada korporasi. Korporasi hanya boleh terlibat pada proses penjualan di pasar. Dalam mewujudkan kedaulatan pangan, Khilafah tidak boleh bergantung pada impor. Pemerintah akan menertibkan rantai distribusi dari petani sampai ke konsumen. Para spekulan, kartel, agen yang menimbun dan memainkan harga harus ditindak tegas dengan pencegahan hukum sanksi dalam Islam.
Khilafah juga akan menerapkan konsep kepemilikan Islam yang terdiri dari kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Berdasarkan konsep ini, maka sumber daya alam termasuk hutan, migas, dan lainnya, tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang. Negara wajib mengelolanya dan mengembalikan seluruhnya untuk kemaslahatan umat. Demikianlah tata aturan negara Islam dalam menyelesaikan persoalan-persoalan pangan. Hanya Khilafah yang mampu menyelamatkan manusia dari bencana kelaparan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme. Wallahu a’lam bissawab.