
Oleh: Novi Ummu Mafa
Linimasanews.id—Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia seharusnya menjadi representasi rakyat, menyalurkan aspirasi rakyat, dan membuat kebijakan yang adil dan berpihak pada kepentingan umum. Namun, dalam kenyataannya, banyak kebijakan yang justru memihak pada kepentingan oligarki, menciptakan jurang yang makin lebar antara elite politik dan masyarakat.
Berdasarkan riset terbaru dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), ditemukan bahwa setidaknya 79 dari 580 anggota DPR terpilih periode 2024-2029 memiliki keterkaitan dengan dinasti politik. (tirto.id, 02-10-2024). Temuan ini menambah pesimisme terhadap kinerja mereka. Sebab, dinasti politik sering kali memunculkan konflik kepentingan yang mengedepankan kepentingan keluarga dan kelompok tertentu daripada kepentingan rakyat.
Fenomena dinasti politik di DPR merupakan masalah yang mendasar. Kekerabatan dengan pejabat publik masih kuat melekat di DPR. Ini mengindikasikan bahwa kekuasaan didistribusikan bukan berdasarkan kompetensi atau integritas, melainkan karena hubungan kekeluargaan dan loyalitas politik. Akibatnya, muncul potensi besar terjadi konflik kepentingan. Yakni, anggota DPR yang memiliki hubungan erat dengan penguasa atau oligarki, lebih mungkin memprioritaskan kepentingan kelompok elite tersebut daripada melayani rakyat.
Salah satu contohnya, kebijakan pemberian tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan untuk anggota DPR (bbc.com, 05-10-2024). Kebijakan ini dianggap tidak mendesak, apalagi dalam konteks perpindahan ibu kota ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Banyak pihak menilai, dengan adanya rencana perpindahan ke IKN, rumah dinas yang sudah tersedia seharusnya dapat dimanfaatkan, bukan malah memberikan tunjangan perumahan yang hanya membebani anggaran negara. Ini memperlihatkan DPR lebih mementingkan kepentingan pribadi ketimbang melakukan penghematan untuk kepentingan publik.
Jika ditelisik, masalah yang lebih fundamental dari persoalan ini ialah mekanisme politik di Indonesia yang cenderung menciptakan sistem politik transaksional. Anggota DPR dipilih bukan karena kemampuan atau integritas, tetapi lebih karena kekayaan dan posisi mereka dalam jaringan oligarki. Politik uang pun menjadi hal yang lazim dalam proses pemilihan. Akhirnya, menghasilkan wakil-wakil yang tidak sungguh-sungguh mewakili rakyat, melainkan mewakili kepentingan kelompok elite yang menopang kampanye dan karier politik mereka.
Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, oposisi politik yang kuat seolah menghilang. Partai-partai politik yang semula memiliki peran sebagai pengontrol pemerintah, kini bergabung dalam koalisi besar yang mendukung pemerintah. Kondisi ini menyebabkan pengawasan terhadap pemerintah menjadi lemah, dan hampir tidak ada pihak yang berdiri untuk membela kepentingan rakyat. Ketika semua pihak berkoalisi, siapa yang masih berpihak pada rakyat?
Solusi Sistem Islam
Dalam konteks inilah, kita bisa merenungkan model alternatif sistem politik. Sistem Islam menawarkan pendekatan yang berbeda dalam hal representasi rakyat dan pembuatan kebijakan. Dalam sistem Islam, dikenal adanya Majelis Ummah, yaitu perwakilan rakyat yang dipilih berdasarkan representasi umat, bukan berdasarkan kekayaan atau kekuasaan politik. Tugas utama Majelis Ummah adalah menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemimpin (khalifah).
Namun, wakil rakyat dalam Majelis Ummah tidak memiliki kewenangan untuk membuat aturan atau undang-undang. Hal ini sangat berbeda dengan sistem politik demokrasi yang memposisikan DPR memiliki kekuasaan untuk membuat undang-undang. Alhasil, sering kali memihak oligarki.
Kisah Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar
Contoh nyata kepemimpinan dalam sistem Islam adalah kisah kepemimpinan Khalifah Abu Bakar yang dikenal sebagai pemimpin yang menjalankan kekuasaan dengan penuh kesederhanaan dan tanggung jawab. Salah satu kisah yang sering dikenang adalah saat ia mengganjal perutnya dengan batu untuk menahan lapar, meskipun sebagai pemimpin tertinggi dan memiliki akses terhadap sumber daya.
Abu Bakar menolak menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri, memilih hidup sederhana dan merasakan langsung yang dirasakan rakyatnya. Ia juga menolak tunjangan besar dari kas negara, hanya mengambil secukupnya untuk kebutuhan dasar, sehingga hidupnya jauh dari kemewahan di tengah-tengah rakyat yang masih banyak kekurangan.
Kisah ini menunjukkan teladan kepemimpinan yang berintegritas, yang kekuasaan dilihat sebagai amanah untuk melayani, bukan sarana untuk memenuhi kepentingan pribadi. Abu Bakar menunjukkan bahwa pemimpin sejati harus merasakan langsung kesulitan rakyat dan mengambil kebijakan yang berpihak pada kepentingan umum. Dalam konteks kepemimpinan modern, teladan Abu Bakar menjadi relevan sebagai kritik terhadap para pemimpin yang justru terjebak dalam kemewahan dan kepentingan oligarki, sehingga melupakan tanggung jawab utama mereka untuk mengutamakan kepentingan rakyat.
Harapan agar Indonesia beralih ke sistem yang lebih adil, seperti sistem Islam makin kuat ketika melihat betapa rentannya sistem demokrasi saat ini terhadap pengaruh oligarki dan dinasti politik. Sistem Islam menawarkan pendekatan yang lebih etis. Para pemimpinnya dipilih karena integritas dan kompetensinya, serta diharapkan untuk menjalani kehidupan yang sederhana dan bertanggung jawab penuh kepada rakyat.
Dengan demikian, ada kebutuhan mendesak untuk merenungkan kembali arah kebijakan dan sistem politik di Indonesia. Sebab, jika dibiarkan, dominasi oligarki dan dinasti politik akan semakin memperlebar kesenjangan antara elite dan rakyat, sementara harapan untuk perubahan yang lebih adil dan berpihak pada kepentingan publik semakin jauh dari kenyataan.