
Oleh: Fatiyah Hasanah
Linimasanews.id—Sepanjang 5 bulan terakhir, Indonesia mengalami kemerosotan dari segi ekonomi. Hal ini ditandai dengan terjadinya deflasi sejak Mei 2024. Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) menyatakan bahwa deflasi terjadi pada bulan Mei pada angka 0,03 persen, yang kemudian turun menjadi 0,08 persen pada Juni, 0,18 persen di Juli, 0,03 persen di Agustus, dan 0,12 persen pada September.
Sedangkan pada bulan-bulan sebelumnya januari mencatat inflasi sebesar 0,04 persen, Februari sebesar 0,37 persen, Maret sebesar 0,52 persen, dan April sebesar 0,24 persen. Tingkat deflasi ini menandakan kondisi terburuk di Indonesia sejak 1999. Setelah sebelumnya Indonesia mengalami deflasi beruntun selama pandemi Covid-19.
Pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang bakal mencapai 5% tampaknya sulit tercapai. Masalah ini disebabkan oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di hampir seluruh sektor industri, sehingga berakibat pada penurunan daya beli masyarakat. Kondisi ini memicu terjadinya deflasi (Bbc.com, 4/10). Menurut Teuku Riefky, peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia. Deflasi adalah cerminan dari aktivitas ekonomi Indonesia yang melemah, dimulai dengan penurunan permintaan karena daya beli yang menurun dan berujung pada melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Oleh karenanya, deflasi sering dianggap sebagai fenomena ekonomi yang mengkhawatirkan karena menunjukkan perlambatan ekonomi. Meskipun sebagian masyarakat awam melihat penurunan harga barang sebagai hal yang menguntungkan. Namun secara makroekonomi,deflasi adalah tanda kemerosotan ekonomi yang lebih besar pada kehidupan masyarakat. Hal ini tampak pada keluh kesah akun twitter @z****ch, “Deflasi is real. Pelaku ukm seperti kami dampaknya selain penurunan revenue up to 40%, AR makin tinggi ….”
Dampak Deflasi pada Kesejahteraan Masyarakat
Pada dasarnya, deflasi membuat perekonomian bergerak melambat. Ketika permintaan menurun, banyak perusahaan mengalami penurunan pendapatan. Pada akhirnya, menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran meningkat. Fenomena yang beruntun ini tentunya menciptakan ketidakpastian ekonomi yang meluas, di mana masyarakat kehilangan daya beli, dan kondisi kesejahteraan terancam.
Deflasi juga dapat memperparah utang. Bagi mereka yang memiliki utang, deflasi berarti nilai riil dari utang tersebut menjadi lebih berat. Penurunan harga membuat penghasilan relatif stagnan atau menurun, tetapi beban cicilan tetap sama atau bahkan meningkat secara relatif. Hal ini memaksa banyak orang dan bisnis terjebak dalam kesulitan keuangan yang lebih besar.
Dalam jangka panjang, ketidakstabilan ini memicu penurunan kesejahteraan sosial. Pengangguran meningkat, ketidakpastian masa depan, dan turunnya kualitas hidup semuanya berdampak pada kesehatan mental dan fisik dalam masyarakat. Tidak hanya itu, penurunan kegiatan ekonomi bisa memicu krisis sosial, meningkatnya angka kriminalitas serta penurunan kualitas pendidikan dan kesehatan.
Sebagai contoh konkret, kasus deflasi di Amerika Serikat yang paling terkenal terjadi selama Depresi Besar (Great Depression) pada tahun 1930-an. Fenomena ini memperlihatkan betapa merusaknya deflasi dalam sistem kapitalisme. Meskipun harga barang menurun tajam, lemahnya daya beli masyarakat justru membuat banyak perusahaan gulung tikar dan tingkat pengangguran melonjak. Deflasi, dalam konteks kapitalisme, menandakan bahwa sistem tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya dan menunjukkan bagaimana kapitalisme lebih memprioritaskan keuntungan perusahaan daripada kesejahteraan masyarakat.
Sistem Kapitalisme sebagai Penyebab Utama
Kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang berfokus pada keuntungan dan persaingan. Sistem ini memberikan kebebasan kepada individu untuk mengejar kepentingan pribadi mereka tanpa banyak batasan. Dalam proses tersebut, akumulasi kekayaan menjadi tujuan utama, sementara distribusi kekayaan sering kali terabaikan. Kesenjangan antara orang kaya dan miskin terus meningkat, dan saat krisis seperti deflasi terjadi, ketimpangan tampak semakin jelas.
Sistem kapitalisme mendorong untuk mengejar keuntungan maksimal dan bersaing di pasar. Dalam upaya untuk mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi, banyak perusahaan berfokus pada pengurangan harga untuk menarik konsumen. Ketika perusahaan menurunkan harga hal tersebut dapat menyebabkan siklus penurunan harga yang mengarah pada deflasi. Namun, saat perusahaan mengurangi biaya, maka dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), pengurangan investasi, atau menunda produksi, yang pada akhirnya merugikan daya beli masyarakat dan memperparah deflasi.
Sistem kapitalisme juga rentan terhadap krisis keuangan yang dapat memicu deflasi. Ketika pasar keuangan mengalami guncangan, seperti krisis utang atau gelembung aset, banyak investor dan konsumen kehilangan kepercayaan. Penurunan kepercayaan ini mengurangi investasi dan konsumsi, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan harga.
Sistem kapitalisme dapat dianggap sebagai penyebab utama terjadinya deflasi melalui mekanisme kompleks dan saling terkait. Fokus pada keuntungan, ketergantungan pada konsumsi, akumulasi kekayaan yang tidak merata, serta risiko krisis keuangan semua berkontribusi pada penciptaan lingkungan di mana deflasi dapat muncul. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah deflasi secara efektif, dibutuhkan perubahan pada sistem ekonomi secara mendasar.
Islam sebagai Solusi Deflasi
Islam sebagai sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan, tidak hanya memandang ekonomi sebagai angka dan statistik, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan moral, sosial, dan spiritual. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah distribusi kekayaan yang adil. Dalam kapitalisme, kesenjangan ekonomi sering terjadi akibat penumpukan kekayaan pada segelintir orang.
Hal ini diperparah dengan sistem ribawi yang memperkaya segelintir pemodal. Dalam Islam, mekanisme zakat, infaq, dan sedekah didorong untuk memastikan kekayaan tidak hanya berputar di kalangan tertentu, melainkan tersebar ke seluruh lapisan masyarakat. Zakat, misalnya, dapat membantu meningkatkan daya beli masyarakat miskin, sehingga membantu merangsang permintaan barang dan jasa yang dapat mendorong ekonomi keluar dari deflasi.
Islam juga mempunyai prinsip terkait kepemilikan sumber daya alam, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw.,
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Sumber daya alam yang bersifat umum (seperti air, energi, dan tambang) tidak dapat dimiliki secara pribadi. Sehingga, sumber daya ini harus dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh masyarakat. Jika sumber daya alam dikelola dengan benar sesuai prinsip Islam maka negara dapat memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memanfaatkannya.