
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi.
Linimasanews.id—Dinas Kesehatan Batam mencatat berdasarkan hasil screening dari Januari hingga Agustus lalu, terdapat 527 kasus baru Human immunodeficiency virus (HIV). Sebanyak 412 kasus di antaranya dialami oleh laki-laki dan sisanya perempuan. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Batam Meldasari juga mengungkapkan bahwa penderita HIV-AIDS ini mayoritas berasal dari mereka yang memiliki orientasi seksual penyuka lawan jenis atau LSL (Laki-laki Seks Laki-laki).
Sedangkan dari pasien perempuan, selain karena faktor hubungan seks bebas, juga karena tertular dari ibu kandung yang mengidap virus ini, dan faktor penggunaan jarum suntik bersama. Meningkatnya kasus HIV-AIDS ini, pihak Dinas Kesehatan Batam akan terus berupaya memberikan edukasi terhadap kelompok-kelompok rentan ini untuk bisa meminimalisir penyebaran virus HIV. Berdasarkan data dari Dinkes tersebut, muncul sebuah pertanyaan besar. Apakah penyebaran virus HIV-AIDS bisa diminimalisir hanya dengan edukasi saja?
Seperti yang kita tahu, mayoritas dari penderita HIV-AIDS adalah mereka yang melakukan perzinaan atau hubungan seksual secara bebas dengan yang bukan pasangannya dalam ikatan sah pernikahan, terutama mereka yang melakukan hubungan seksual melalui anal antar sesama lelaki. Untuk meminimalkan penyebaran virus HIV Aids tersebut tentu edukasi bukanlah solusi tuntas dalam permasalahan ini. Oleh karenanya, tidak heran jika kasus tersebut makin bertambah setiap harinya lantaran tidak tepat sasaran atau tidak tuntas pada akar permasalahannya.
Akar permasalah dari meningkatnya kasus HIV Aids ini adalah sistem sekulerisme yang diterapkan oleh negara. Sebuah sistem yang memisahkan antara agama dengan kehidupan sehari-hari dan pemerintahan, membuat manusia bebas melakukan apa saja. Karena agama hanya dianggap sebagai ritual peribadatan semata dan tidak menembus ke hati manusia hingga menimbulkan rasa takut akan Tuhannya untuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh agama.
Ideologi sekuler yang diadopsi oleh negara dan mulai menyebar ke generasi muda bangsa ini membuat rusak fitrah mereka sebagai seorang manusia. Merusak diri mereka akibat berpikir bahwa diri mereka adalah mutlak milik mereka sehingga membuat mereka berpikir bisa bebas melakukan apapun yang mereka mau. Karena pemikiran inilah, tidak heran jika banyak manusia, utamanya generasi muda untuk melakukan apa pun, termasuk melakukan hubungan seks di luar pernikahan, bahkan dengan sesama jenis, lantaran menganggap bahwa diri mereka adalah mutlak milik mereka. Hak mereka sepenuhnya. Orang lain tidak berhak ikut campur apa pun keputusan yang mereka ambil baik itu positif atau negatif mengatasnamakan Hak Asasi Manusia.
Jika demikian, maka jelaslah bahwa edukasi sampai kapan pun tidak akan berhasil menjadi solusi tuntas untuk menekan atau bahkan menghilangkan kasus HIV Aids ini. Karena tabiat manusia, ketika mereka menganggap diri mereka adalah hak mereka serta melakukan apapun yang mereka mau dan sukai meski itu sebuah kemaksiatan, maka manusia tidak akan berhenti melakukan itu sampai Allah sendiri yang menegurnya melalui penyakit akibat menyalahi fitrah mereka.
Mengapa disebut menyalahi fitrah? Karena sampai dunia ini berakhir, laki-laki akan selamanya berpasangan dengan perempuan, bukan sesama jenisnya. Jika hal tersebut dilanggar, tentu kerusakan pada diri manusia itu akan timbul berupa penyakit yang sulit diobati. Nah, jika sudah demikian, seringnya penderita menyesal dan bertaubat. Menyesali apa yang mereka perbuat sebelumnya. Padahal sudah terlambat untuk kembali normal akibat sulitnya penyakit itu disembuhkan kecuali hanya kuasa Allah saja.
Siklus kasus ini akan berputar-putar begitu terus jika solusi yang digencarkan hanya berupa edukasi saja. Karena akar permasalahannya bukan pada mereka yang melakukan perzinaan, tetapi pada sistem yang salah, ideologi yang melenceng, yang membuat pemikiran generasi menjadi korban dari pemikirannya yang melenceng, yang menganggap agama hanya sebatas ritual ibadah individu saja. Sehingga tidak heran muncul perilaku bebas seperti ini yang kemudian menimbulkan penyakit yang sulit disembuhkan.
Berbeda apabila negara menerapkan sistem Islam dalam pemerintahan. Menerapkan ideologi Islam dalam kehidupan sehari-hari. Maka tak tanya penyakit HIV Aids saja yang mampu ditekan atau bahkan dihilangkan, tetapi perzinaan bebas atau seks sesama jenis bisa dicegah.
Penerapan sistem Islam dari segi pendidikan individu mengajak kepada seluruh masyarakat untuk menyadari hubungan mereka dengan Sang Pencipta. Negara akan menyadarkan mereka bahwa diri mereka bukanlah milik mereka, namun sesuatu yang dititipkan oleh Allah yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Negara juga akan mengajarkan setiap individu melalui sekolah-sekolah untuk memiliki rasa takut kepada Allah dan segala tindak tanduk kita yang senantiasa diawasi dan dimintai pertanggungjawabannya nanti.
Selain pendidikan, masyarakat dengan ideologi Islam menjadi pelindung di lapisan kedua untuk menerapkan amar makruf nahi mungkar. Masyarakat sebagai kontrol lingkungan, sehingga jika ada yang hendak berbuat kemaksiatan, maka masyarakat lingkungan sekitarnya berbondong-bondong mengingatkan, menegur, atau bahkan melakukan semacam boikot kepada pelaku agar mereka malu dan tidak mengulanginya kembali.
Hal ini jelas berbeda jika di situasi sekarang dengan sistem sekuler yang diterapkan oleh negara. Masyarakat lumpuh dan tak lagi menjadi pengontrol lingkungan. Cuek satu sama lain dengan alasan selama tidak saling menganggu. Maka, dengan keadaan demikian tentu berbagai kemaksiatan sangat bisa dilakukan oleh seseorang dalam suatu lingkungan, asalkan dia tidak menganggu orang lain. Maka tidak heran, akibat rasa cuek tadi, timbullah kerusakan-kerusakan di tengah masyarakat.
Sampai lapisan ini, jelas terlihat perbedaannya antara ideologi Islam dan ideologi sekuler, bukan? Sekuler makin menjadikan masyarakat bebas seenaknya hingga timbul bencana, sedangkan dalam masyarakat Islam, masyarakat menjadi individu yang waspada dikarenakan takut dikucilkan bila melakukan suatu kemaksiatan.
Kemudian ada lapisan ketiga atau lapisan terakhir, yakni hukum yang diterapkan oleh negara. Jika hukum yang diterapkan oleh negara yang mengadopsi sistem sekuler, maka hanya penjara yang menjadi hukuman terberat bagi pelaku kemaksiatan. Penjara beberapa tahun, atau bisa saja bebas dengan alasan suka sama suka, tentu menjadi pendorong bagi masyarakat lain yang ingin melakukan kemaksiatan tersebut untuk melakukannya juga.
Tidak adanya konsekuensi hukum menjadikan manusia atau masyarakat menjadi lebih leluasa melakukan apapun atas nama HAM. Bahwa seks bukanlah urusan negara tetapi urusan individu masing-masing. Bahwa suka sesama jenis adalah hak pribadi, bukan sesuatu yang dianggap melanggar hukum. Yang mana dengan adanya sistem rusak seperti ini, jelas akan makin meningkatkan kasus HIV Aids tadi. Negara seolah abai dan tidak peduli dengan urusan seperti demikian yang sebenarnya sangat bisa menghancurkan suatu bangsa atau peradaban kelak.
Hal ini jelas berbeda jika Islam yang diterapkan dalam sistem hukum suatu negara. Konsekuensi hukum yang tegas, yakni cambuk 100 kali bagi pezina yang belum menikah, kemudian hukuman rajam bagi pezina yang sudah menikah, dan hukuman mati dengan cara dilempar dari atas gedung tertinggi bagi pezina sesama jenis. Terlihat mengerikan dan tidak manusiawi memang. Tetapi jika kita pikirkan dan telaah ulang, hukuman tersebut menjadi penghalang bagi masyarakat lain untuk terinspirasi melakukan kemaksiatan yang dilakukan oleh pelaku. Masyarakat menjadi takut dan mawas diri untuk melakukan pelanggaran tersebut.
Maka dengan cara inilah, tak tanya perilaku zina yang bisa ditekan atau diminimalisir kasusnya, tetapi dampak dari zina yaitu penyakit HIV Aids tadi tidak mungkin muncul. Melihat perbedaan yang sangat jauh antara sistem sekulerisme dan Islam ini, sudah saatnya masyarakat sadar bahwa hanya Islamlah satu-satunya sistem yang wajib diupayakan penerapannya demi mencegah segala kemaksiatan yang merusak, demi menjaga kemaslahatan umat, demi menjaga agar generasi tak rusak, dan demi menggapai peradaban mulia.