
Oleh: Dini Azra
Linimasanews.id—Dunia hiburan internasional dikejutkan dengan terkuaknya kasus Sean “P Diddy” Combs atau Puff Daddy, seorang ikon musik hip-hop, rapper sekaligus produser musik pendiri Bad Boy Record. Namanya belakangan mencuat karena berbagai tuduhan serius seperti perdagangan seks, pelecehan seksual, tindak kekerasan, hingga kepemilikan senjata api ilegal. Perbuatan jahatnya mulai terungkap setelah ia digugat oleh mantan pacarnya sendiri, Cassie Vantura atas tindakan kekerasan yang dilakukan sang rapper selama berhubungan dengannya.
Cassy juga membocorkan adanya praktik-praktik menjijikkan di balik White Party yang sering diadakan P. Diddy di rumahnya. Meskipun kasus tersebut berakhir dengan kesepakatan damai pada 2023 lalu, tetapi pihak kepolisian masih terus menyelidiki kasus kejahatan ini. Hingga akhirnya dilakukan penggeledahan di rumah P. Diddy oleh FBI dan akhirnya dia ditahan di Pusat Penahanan Brooklyn, New York City.
The Law Firm membuka pusat bantuan hukum bagi korban-korban lain P. Diddy yang selama ini tidak berani melapor. Hasilnya mengejutkan, hingga hari ini sudah masuk sebanyak 3200 laporan yang mengaku sebagai korban P. Diddy. Di antara laporan tersebut ada 120 laporan dengan bukti valid dan bisa diteruskan. Dari 120 korban yang melapor ada 60 perempuan dan 60 laki-laki, 25 di antaranya adalah anak-anak di bawah umur ketika menjadi korban sang rapper. Kejadian itu mereka alami saat mengikuti audisi menyanyi yang diadakan Bad Boy Record. Mereka dijanjikan akan diorbitkan menjadi penyanyi terkenal dan mengikuti pelatihan secara empat mata dengan P. Diddy. Dikutip Hops.ID. pada Senin 7 Oktober 2024.
Di tengah ramainya kasus P. Diddy di Amerika sana, ternyata muncul berita yang hampir serupa di negeri ini yakni kasus pelecehan seksual terhadap anak laki-laki (sodomi). Perbuatan bejat ini dilakukan seorang pemilik Yayasan Panti Asuhan Darussalam An’Nur di Kunciran Indah, Pinang, Tangerang bernama Sudirman (49), selain dia ada dua pelaku lagi yang merupakan pengasuh di panti tersebut yaitu Bahtiar (30) dan Yandi Supriadi (28). Panti asuhan yang berdiri sejak 2006 tanpa izin ini telah melakukan puluhan kali pencabulan terhadap anak asuhnya.
Kasus ini kini sedang ditangani pihak kepolisian, menurut keterangan Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, jumlah anak asuh di panti tersebut saat ini 18 anak dan sudah dipindahkan ke tempat yang lebih aman. 13 di antaranya dititipkan ke dinas sosial, tiga anak diserahkan kepada relawan, dan ada yang dikembalikan pada keluarga. Kasus ini bisa terbongkar karena ada salah satu pihak keluarga korban yang melapor Polres Metro Tangerang.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 6 huruf C Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 76E dan 76I juncto Pasal 82 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan/atau Pasal 289 KUHP (DetikNews, 13/10/2024).
Sudah tak terhitung lagi kasus pelecehan anak terjadi, baik dilakukan oleh lawan jenis maupun yang sejenis. Pelakunya kebanyakan adalah orang dewasa di sekitar mereka yang seharusnya melindungi dan dipercayai oleh para korbannya. Pertanyaannya, mengapa kasus yang berulang tersebut tidak bisa dicegah dan dihentikan? Bahkan makin lama makin parah saja kejadiannya.
Di luar negeri seperti Amerika, sudah dipahami bahwa negara tersebut pusat dari penerapan ideologi global. Kapitalisme, sekularisme, dan liberalisme sekaligus humanisme yang seolah sangat menghormati hak asasi manusia. Namun faktanya, tetap saja orang yang memiliki kekuatan uang dan koneksi serta nama besar bisa melakukan bermacam kejahatan selama puluhan tahun tanpa tersentuh hukum. Setelah ribuan korban berjatuhan dan ada yang berani mengungkapkan, barulah hukum berjalan. Itu pun baru satu kasus yang akhirnya bisa terendus.
Lebih miris lagi di negeri ini, negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun, dalam mengatur urusan kehidupan, malah mengadopsi sistem dan ideologi dari Barat. Negeri ini tak ubahnya seperti Amerika yang jadi panutannya. Di sini pun, segala perbuatan manusia dibebaskan, termasuk memiliki penyimpangan seksual asalkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Baru setelah ada kejadian dan ada pihak yang melaporkan, negara bertindak seolah akan memberikan keadilan hukum bagi para korban. Namun, hukuman bagi pelaku tak sebanding dengan kerugian fisik dan psikis yang dialami korban, juga tidak menjerakan. Inilah bukti bahwa negara tidak hadir sebagai pelindung bagi anak-anak dari ancaman predator seksual.
Menyedihkan, hidup di tengah sistem kapitalisme yang selalu menjunjung tinggi kebebasan demi mencapai tujuan materi dan kebahagiaan. Tidak ada peran agama dalam mengatur kehidupan karena semua diserahkan pada pilihan hidup masing-masing individu. Karena itu, banyak orang melakukan segala macam cara untuk meraih tujuan duniawi, seperti kekayaan, jabatan, ketenaran, dan kepuasan. Yang paling parah adalah menggunakan agama sebagai topeng untuk mengelabui orang lain demi melancarkan aksi kejahatan.
Seharusnya, negara bisa mencegah perilaku menyimpang dengan melarang para artis laki-laki bergaya kemayu dan sebaliknya tampil di televisi. Juga memblokir situs-situs porno, mem-banned konten-konten vulgar yang marak di platform media sosial, di antaranya banyak yang menceritakan pengalaman hubungan sejenis secara terang-terangan. Hal ini tentu sangat berbahaya dan berpengaruh buruk bagi generasi, sebab tayangan-tayangan di atas mudah diakses masyarakat dari berbagai usia.
Hanya saja, dalam kapitalisme segala hal yang bisa memberi keuntungan baik bagi individu atau negara akan tetap terjaga eksistensinya. Sebab, masyarakat sudah terjangkiti sifat individualis, tidak mau tahu urusan orang banyak. Tak peduli meski lingkungan sekitarnya rusak. Sementara masyarakat pun abai dari perannya sebagai kontrol sosial, saling menasehati dianggap mengganggu privasi atau sok suci, akhirnya memilih untuk mengurusi diri sendiri. Apalagi peran negara sebagai pemilik otoritas mengatur rakyatnya, tak ada dalam mendidik moral rakyat, melainkan hanya mencari keuntungan dari rakyat.
Hanya Islam yang bisa melindungi generasi dari perilaku menyimpang maupun dari kejahatan seksual. Peran negara Islam akan memberikan pendidikan berlandaskan akidah sejak dini kepada umat, membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa yang akan menjauhi segala perbuatan dosa. Selain itu, hukum yang diterapkan terhadap pelaku homoseksual tidaklah ringan.
Sesuai ketetapan syariat, pelaku homoseksual, baik suka sama suka atau yang merudapaksa akan dijatuhi hukuman mati. Sanksi itu dilakukan dengan cara di bawa ke atas tempat tertinggi lalu dijatuhkan, sampai di bawah masih dilempari batu oleh orang-orang yang menyaksikan. Inilah hukuman yang pantas bagi pelaku perbuatan keji yang berfungsi sebagai penghapus dosa bagi pelaku dan efek jera bagi orang lain. Wallahu a’lam bishawab.