
Oleh: Bunda Madina
Linimasanews.id—Pada Februari 2024 lalu, Indonesia telah merayakan pesta demokrasi dengan memilih presiden, wakil presiden beserta anggota DPR dan DPD baik untuk wilayah pusat maupun kabupaten. Bulan Oktober ini menjadi waktu yang dipilih untuk pelantikan semua calon yang terpilih pada pesta demokrasi tersebut. Pada tanggal 1 Oktober 2024 kemarin, menjadi kesempatan pertama bagi para anggota dewan terpilih pertama untuk dilantik menjadi anggota dewan periode 2024-2029, sedangkan untuk presiden dan wakil presiden terpilih akan dilantik berikutnya pada jadwal yang berbeda. Pada periode 2024-2029 ini terhitung ada sekitar 580 anggota dewan yang dilantik.
Hal yang menarik pada pelantikan tersebut adalah adanya temuan dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FOMAPPI) yang menyebutkan bahwa sejumlah anggota DPR yang terpilih pada periode sekarang ini memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan dengan pejabat publik, elite politik, hingga sesama anggota DPR terpilih lainnya (tirto.id, 2/9/2024). Fakta ini menjadi makin menarik ketika disandingkan dengan fakta lain, di mana seperti yang disebutkan oleh Managing Editor CNBC bahwa 50% lebih dari anggota dewan yang terpilih merupakan anggota dewan lama yang diharapkan dapat lebih cepat menyelesaikan sederet undang-undang yang belum disahkan pada periode sebelumnya (cnbcindonesia.com, 4/9/2024).
Kedua fakta tersebut menarik sekali, mengingat bagaimana peristiwa reformasi pada tahun 1998 yang lalu ketika Soeharto dilengserkan, salah satunya karena praktek nepotisme yang dilakukan oleh rezim tersebut. Namun pada hari ini, ketika praktik nepotisme dilakukan kembali. Tetapi, hal itu tidak dipermasalahkan sama sekali. Maka, di sini kita akan melihat bahwa dua fakta yang ada tersebut semakin menegaskan bahwa sistem Demokrasi adalah sistem yang sarat dengan kepentingan. Dengan adanya fakta hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang ada dalam anggota dewan sekarang, dapat juga dikatakan akan memperkecil adanya oposisi dan bahkan menghilangkannya sama sekali.
Pada teorinya, DPR atau anggota dewan adalah wakil rakyat. Namun ketika di dalam tubuhnya tidak ada oposisi, hal itu akan membuat rakyat tidak terwakili sama sekali. Sehingga langkah politik yang dipraktikkan di dalam tubuh anggota dewan pada periode ini dapat diwaspadai sebagai manuver lebih lanjut dari manuver penetapan undang-undang yang dilakukan di tengah malam pada beberapa waktu yang lalu yang telah dipraktikkan oleh anggota dewan periode sebelumya. Pada kondisi ini, rakyatlah yang akan dirugikan.
Melihat fakta politik yang dilakukan pada sistem kapitalisme sekarang ini, menjadi hal yang sangat kontras apabila dikaitkan dengan sistem yang dijalankan pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Betapa sang khalifah begitu berhati-hati bahkan menolak ketika keluarga menerima hak istimewa sebagai anggota amirul mukminin. Beliau juga begitu mengutamakan rakyatnya dan tidak menginginkan kesengsaraan menimpa rakyatnya mengingat beratnya pertanggungjawabannya dihadapan Allah Swt.
Di dalam sistem pemerintahan Islam, rakyat begitu diperjuangkan hak-haknya. Hal ini bisa dilihat dari adanya Majelis Umat yang telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah saw. dan juga khalifah-khalifah setelahnya. Majelis Umat adalah perwakilan dari umat, di mana pada zaman Rasulullah saw. adalah perwakilan dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar, yang dimintai pendapatnya terkait dengan urusan umat. Majelis ini hanya bertugas untuk menyampaikan aspirasi rakyat, dan bukan untuk membuat peraturan maupun perundang-undangan.
Dari sini, kita dapat merasakan bagaimana pemimpin Islam bukanlah pemimpin yang sewenang-wenang dalam mengambil keputusan. Rakyat senantiasa diperhatikan dan diutamakan. Hal ini karena pemimpin Islam sejatinya adalah pelayan umat yang senantiasa menyadari bahwa setiap langkahnya senantiasa diawasi oleh Allah Swt. Mereka sangat paham bahwa jabatan adalah amanah, bukan posisi basah untuk nepotisme dan kemaksiatan lainnya. Wallahu a’lam bish shawwab.