
Oleh: Raihana Hazimah
Linimasanews.id—Belakangan ini, terus terjadi kasus-kasus pembunuhan di tengah masyarakat. Apalagi ada yang sampai memutilasi. Hal ini bikin merinding, ngeri, terasa sadis, hingga miris. Naluri kemanusiaan makin ke sini rasanya makin terkikis.
Yang terbaru, kasus pembunuhan dan mutilasi di Ciamis. Seorang suami membunuh, memutilasi, hingga menawarkan potongan daging istrinya pada warga sekitar. Beragam informasi terkait motif pelaku melakukan tindakan sadis tersebut beredar di masyarakat. Namun, pihak berwajib masih berusaha mendalami motif sebenarnya, sambil memonitor kondisi kejiwaan pelaku. Sebelum kejadian, polisi menjelaskan bahwa korban (istri pelaku) sudah sempat melaporkan kondisi kejiwaan suaminya ke Puskesmas setempat (kompas tv, 5/5/2024; news.detik.com, 6/5/2024).
Sebelumnya, di kota-kota lain seperti di Bekasi, juga pernah digegerkan dengan kasus-kasus pembunuhan sadis. Mulai dari ditemukannya 7 potongan tubuh jenazah perempuan dalam box container di sebuah rumah kontrakan. Motifnya karena pelaku enggan ketika diminta menikahi korban setelah mereka menjalin hubungan asmara selama beberapa bulan, sementara pelaku sudah memiliki istri (reskrimum.metro.polri.go.id, 2/6/2023; news.detik.com, 8/1/2023).
Hingga yang terakhir, ditemukannya jenazah wanita di dalam koper, yang ditemukan oleh petugas kebersihan di jalan Inspeksi Kalimalang, Cikarang, Bekasi. Motif pembunuhan sama, yaitu akibat pelaku tidak mau diajak menikah oleh korban, sebab pelaku sudah memiliki istri (cnnindonesia.com, 4/5/2024).
Maraknya kasus pembunuhan yang terjadi berulang, menunjukkan betapa tak sedikit dari umat saat ini yang kondisinya sudah sebegitu jauh dari standar halal-haram perbuatan. Hawa nafsu, amarah, sakit hati, tingkat stres, dan depresi, seringkali menjadi pemicu. Sementara penyelesaian yang sejauh ini dilakukan pihak berwenang, selalu masih dalam bentuk kuratif (pemberian sanksi hukum ketika telah terjadi kasus). Itu pun ternyata belum mampu memberi efek jera dan masih terus berpeluang untuk terjadinya kasus berulang.
Sementara akar masalahnya belum serius digali. Meski ada pihak ahli ataupun masyarakat yang menyampaikan pandangan terkait akar masalah, seringkali justru diabaikan. Padahal untuk mencari solusi terbaik terhadap suatu masalah, penting untuk dicari akar masalahnya, kemudian dicari bagaimana cara pencegahannya (preventif) sampai kepada bagaimana upaya penerapan tindakan kuratif, misalnya pemberian sanksi hukum yang tegas dan mampu memberikan efek jera.
Kondisi ini membuktikan bahwa saat ini negara belum mampu melindungi nyawa rakyatnya. Negara belum mampu mengatasi persoalan-persoalan kejahatan yang ada. Beginilah harga nyawa di sistem kapitalisme dengan asas sekularismenya, yakni meminggirkan aturan agama dalam kehidupan manusia sehingga nyawa menjadi begitu tak berharga dan bukan termasuk prioritas utama. Selagi tak mendatangkan manfaat dan keuntungan, kapitalisme-sekuler tak akan hadir di sana.
Ini sangat bertolak belakang dengan sistem Islam. Syariat Islam begitu komprehensif. Di dalamnya, ada sistem sanksi yang memiliki fungsi sebagai jawabir dan zawajir, mampu menebus, menuntaskan, serta memberi efek jera dan mencegah manusia dari melakukan kejahatan. Allah Swt. berfirman:
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي اْلأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
“Siapa saja yang membunuh seseorang bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena dia membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.” (QS. Al-Maidah: 32).
Kemudian Nabi saw. bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Kehancuran dunia ini lebih ringan di sisi Allah dibandingkan dengan pembunuhan seorang muslim.” (HR. An-Nasa’i)
Nabi saw. juga bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Siapa saja yang membunuh kafir mu’ahad tidak akan mencium wangi surga. Padahal sungguh wangi surga itu sudah bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.” (HR. Al-Bukhari)
Dalil-dalil tersebut telah menyiratkan bahwa Islam telah mengatur salah satu tanggung jawab negara adalah menjamin penjagaan dan pemeliharaan jiwa seluruh rakyatnya. Jangan sampai ada seorang pun, muslim maupun nonmuslim yang kehilangan nyawa tanpa alasan yang dibenarkan. Maka sanksi yang tegas harus diterapkan. Sebagaimana firman Allah Swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan wanita dengan wanita .…” (QS. Al-Baqarah: 178)
Dalam Islam, qishos adalah hukuman balasan yang setimpal. Dalam kasus pembunuhan, qishos diberlakukan dalam bentuk hukuman mati bagi pelakunya. Hukuman qishos ini akan memberikan rasa keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan, sekaligus menjadi pencegah tindakan kejahatan serupa.
Jika keluarga korban tidak menghendaki qishos, mereka bisa menuntut pembayaran diyat atau denda kepada para pelaku pembunuhan. Diyat yang dimaksud berupa 100 ekor unta, yang 40 di antaranya dalam keadaan bunting atau bisa juga dengan membayarkan uang sebesar 1.000 dinar.
Begitulah syariat Islam memberikan penjagaan dalam melindungi nyawa manusia. Sangat berbeda dengan sistem kapitalisme dengan asas sekulernya yang saat ini diterapkan oleh negara dab terbukti gagal dalam melindungi kehormatan dan jiwa manusia. Dengan penerapan hukum Islam yang berfungsi sebagai jawabir dan zawajir, insyaallah nyawa manusia mampu terlindungi dengan baik.
Alhasil, sudah sepantasnya sistem kapitalisme-sekuler yang diterapkan negara saat ini diganti dengan sistem Islam, untuk diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Sebagaimana telah terbukti dalam sejarah penerapannya dalam periode kegemilangan Islam dahulu, mampu menjaga serta memelihara kehormatan dan jiwa manusia.