
Oleh: Dewi Sulastini
Linimasanews.id—Dibeberkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), di sektor kelapa sawit potensi hilangnya penerimaan negara sebesar Rp 300 triliun. Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, sekaligus adik Presiden terpilih Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo. Data tersebut merupakan audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Yang diungkapkan oleh Juru bicara Menko Marves, Jodi Mahardi (CNBC Indonesia, 10/10/24).
Sementara itu, penerimaan pajak yang bocor akan digunakan untuk menambal kekurangan anggaran belanja negara pada 2025. Hal tersebut disampaikan oleh pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto akan menambal kekurangan anggaran belanja negara pada 2025 (kompas.com, 16/10/24).
Terkuak adanya kebocoran anggaran negara akibat pengemplang pajak dengan nilai melebihi Rp300 triliun. Ini adalah akumulasi pajak pengusaha yang tidak dibayarkan selama bertahun-tahun dan baru menjadi perhatian saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa negara tidak tegas terhadap pengusaha yang tidak membayar pajak.
Terungkapnya besaran pajak yang tidak dibayarkan oleh perusahaan dengan nilai melebihi 300 triliun dan dibiarkan terjadi bertahun-tahun adalah bukti bahwa ketimpangan aturan terjadi saat ini. Seolah pilih kasih. Pemerintah menetapkan aturan pajak yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Terkesan beda objek beda perlakuan.
Para pengusaha seperti dianakemaskan. Mereka dimanjakan dengan berbagai kebijakan dan aturan yang mempermudah operasional usaha mereka. Dari sisi aturan, disahkannya undang-undang PSN (proyek strategis nasional) yang sudah jelas berbenturan dengan aturan tentang kawasan konservasi, seolah menjadi karpet merah bagi mereka untuk menjadikan area vital seperti kawasan konservasi sebagai lahan untuk memperoleh keuntungan.
Perusahaan juga diberikan berbagai program keringanan pajak seperti penghapusan pajak dan lain sebagainya. Hal ini berbeda dengan kebijakan pajak atas rakyat, di mana rakyat dibebani dengan berbagai macam pajak dan terus mengalami kenaikan. Dari mulai pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan, dan lain sebagainya. Juga berbagai potongan seperti iuran Tapera, BPJS, tentu ini akan menambah beban derita rakyat. Kemudian parahnya rakyat dijejali slogan orang bijak taat bayar pajak. Dan pajak untuk membangun negeri.
Kenyataannya, pembangunan yang dimaksud adalah semata-mata bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk para pemilik modal saja. Contoh pembangunan jalan tol yang ketika sudah beroperasi memasang tarif yang mahal, juga pembangunan kereta cepat tentu saja orang yang menikmati fasilitas tersebut adalah bukan rakyat. Justru rakyat setiap hari dihadapkan dengan realita mahalnya bahan kebutuhan pokok, juga mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan.
Tentu saja kebijakan pajak ini berbeda antara perusahaan dan individu. Ini merupakan kebijakan otoriter. Apalagi ketika hal ini berdampak pada penundaan pembangunan yang dibutuhkan rakyat, maka rakyat justru makin sengsara hidupnya. Contoh beberapa waktu lalu ramai berita ada sekolah yang tidak memiliki bangunan di tengah Kota Bandung.
Hal ini tentu menjadi ironi mengingat Kota Bandung beberapa waktu lalu sangat gencar membangun infrastruktur yang menelan biaya fantastis. Ini terjadi akibat diterapkan sistem ekonomi kapitalisme yang mana dalam sistem ini pengusaha bekerjasama dengan penguasa. Karena mahalnya mahar politik, sehingga mau tidak mau orang yang ingin berkuasa harus mencari donatur. Akibatnya, penguasa tersebut harus tunduk kepada apa yang diinginkan oleh para donaturnya. Yaitu para pemilik modal yang pada saat kampanye menginvestasikan uang nya untuk menempatkan pion-pion kekuasaannya di lembaga pemerintahan.
Hal ini juga terjadi karena negara dengan sistem kapitalisme mengandalkan pemasukan utamanya dari sektor pajak dan utang. Kondisi tersebut berbeda dengan Islam.
Islam mengatur bahwa penguasa adalah periayah rakyat, penguasa adalah layaknya penggembala dan rakyat adalah gembalaannya. Penguasa melindungi dan menjamin seluruh kebutuhan rakyat dari berbagai sektor. Dari pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain sebagainya, dijamin pemenuhannya oleh negara.
Untuk membiayai semua itu, penguasa dalam sistem Islam mendapatkan dana dari pengelolaan sumber daya alam yang merupakan harta milik umum, seperti emas, batu bara, timah, nikel dan lain sebagainya, juga dari sektor lain seperti perikanan, perhutanan. Dana tersebut disimpan di dalam baitul mal. Apabila jumlah dana tersebut tidak mencukupi maka baru ditarik pajak dalam kondisi khusus/insidental, ketika ada kebutuhan pokok yang umat dan sangat mendesak. Sifatnya tidak tetap. Namun, pajak hanya diambil pada orang muslim yang kaya. Wallahu a’lam lam bishowab.