
Oleh: Ummu Ummu Irsyad
Linimasanews.id—Naiknya Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) dan Indeks Kesalehan Sosial (IKS) di Indonesia menjadi pencapaian yang patut diapresiasi, namun perlu dikaji lebih mendalam dengan mencermati indikator-indikator yang digunakan.
IKUB yang mengukur toleransi, kesetaraan, dan kerja sama, sejalan dengan prinsip moderasi beragama yang makin ditekankan di Indonesia. Hal ini menunjukkan upaya pemerintah dalam mempromosikan kerukunan dengan landasan penghormatan terhadap perbedaan dan keadilan sosial. Sementara itu, IKS diukur melalui lima dimensi penting: kepedulian sosial, relasi antar manusia, etika, kelestarian lingkungan, serta hubungan dengan negara dan pemerintah.
Penekanan pada dimensi-dimensi ini memperlihatkan adanya rekonstruksi makna “saleh”. Saleh yang sebelumnya hanya dipahami dalam konteks ketaatan individu terhadap Allah dan syariat, kini diperluas menjadi lebih berfokus pada dampak sosial. Penambahan kata “sosial” pada “kesalehan” menggarisbawahi bahwa nilai-nilai agama tidak hanya berdimensi vertikal (hubungan dengan Tuhan), tetapi juga horizontal (hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan).
Namun, perlu diperhatikan bahwa baik IKUB maupun IKS memiliki kesamaan dalam hal mengukur parameter-parameter yang mengarah pada moderasi. Konon, moderasi beragama di Indonesia telah menjadi salah satu pilar utama dalam membangun masyarakat yang toleran, harmonis, dan mampu hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan. Mereka beranggapan moderasi ini penting dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia yang memiliki keragaman agama, budaya, dan etnis yang menuntut sikap saling menghormati.
Dengan demikian, kenaikan IKUB dan IKS mencerminkan keberhasilan upaya moderasi beragama di Indonesia. Kedua indeks ini tidak hanya mencerminkan kondisi kerukunan dan kesalehan dalam masyarakat, tetapi juga menunjukkan karakter muslim moderat.
Sebagai seorang muslim, harusnya kita menolak moderasi beragama. Sebab, moderasi beragama ini merupakan ancaman bagi kesatuan ideologi Islam dan upaya yang disengaja untuk menundukkan umat kepada agenda-agenda yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam sejati. Umat Islam harus kembali kepada ajaran murni Islam dan menolak segala bentuk upaya yang mengurangi peran Islam dalam mengatur kehidupan individu dan masyarakat, termasuk moderasi yang dianggap sebagai alat deideologisasi.
Islam sejatinya telah memiliki aturan dan pedoman yang jelas terkait toleransi dan kesalehan, yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Standar ini berbeda dengan standar global yang didorong oleh agenda-agenda sekularisasi atau westernisasi. Dalam ajaran Islam, toleransi memiliki batas-batas yang jelas, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Kafirun ayat 6, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
Ini menegaskan bahwa toleransi dalam Islam bukan berarti mencampuradukkan keyakinan, tetapi tetap menjaga prinsip dasar agama dengan menghormati hak orang lain dalam beribadah sesuai keyakinannya.
Begitu pula dengan konsep kesalehan. Islam telah menetapkan bahwa seorang yang saleh adalah orang yang menjalankan ibadah semata-mata karena Allah dan sesuai dengan tuntunan akidah Islam. Kesalehan tidak hanya terbatas pada hubungan vertikal dengan Allah, tetapi juga mencakup hubungan horizontal dengan sesama manusia, sebagaimana diatur oleh syariat. Aturan-aturan ini mencakup seluruh aspek kehidupan dan tidak memerlukan rekonstruksi atau redefinisi dalam bentuk yang sekuler atau sesuai dengan standar moderasi global.
Bukti sejarah menunjukkan bahwa ketika syariat Islam diterapkan secara penuh, termasuk dalam hal toleransi dan kesalehan, stabilitas dan keharmonisan dapat terwujud. Ini telah dibuktikan pada masa kejayaan peradaban Islam, ketika Khilafah menjadi sistem pemerintahan yang memimpin umat dan mampu mengelola keberagaman agama, budaya, dan etnis dengan adil dan damai. Contoh nyata penerapan ini terlihat pada masa Kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Di era ini, non-muslim hidup berdampingan dengan muslim di bawah naungan hukum Islam, tanpa dipaksa untuk meninggalkan keyakinan mereka.
Oleh karena itu, toleransi yang sejati, kesalehan yang hakiki, dan stabilitas sosial hanya dapat terwujud ketika Khilafah ditegakkan. Khilafah adalah satu-satunya jalan untuk memastikan keberlangsungan nilai-nilai Islam dalam mengatur kehidupan masyarakat dan melindungi umat dari pengaruh ideologi asing yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Untuk itu, umat Islam perlu bersatu dan berjuang bersama-sama demi tegaknya Khilafah. Dengan tegaknya Khilafah, Islam akan kembali menjadi rahmat bagi seluruh alam, mampu mengatur kehidupan secara menyeluruh, serta memberikan kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Perjuangan ini menjadi upaya mulia untuk menjaga keutuhan ajaran Islam dan melindungi umat dari deideologisasi yang dilakukan melalui konsep moderasi beragama.