
Oleh: Ika Kusuma
Linimasanews.id—Tingkat adopsi layanan Financial Technology (Fintech) oleh kalangan milenial (kelahiran 1981-1996) dan Gen Z (1997-2012) terus meningkat. Laporan Lokadata menyebut 78% generasi milenial dan Gen Z mengunakan aplikasi Fintech setiap hari, meliputi dompet digital, layanan pinjaman, dan pembayaran digital.
Penggunaan Fintech yang tidak dibarengi dengan literasi keuangan yang baik menimbulkan kerugian bagi mereka. Gaya hidup FOMO (Fear of Missing Out), YOLO (You Only Live Once) dan FOPO (Fear of Other People’s Opinions) menjadi faktor permasalahan finansial generasi milenial dan Gen Z saat ini. Karena mereka cenderung memaksakan sesuatu secara berlebihan tanpa perhitungan matang dan dana yang cukup. Akibatnya, mereka menjadi kurang produktif dan terlibat hutang. Bahkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut kalangan milenial dan Gen Z menjadi penyumbang utama kasus kredit macet dan pinjol (kompas.com, 11/10/2024).
Bagi generasi milenial dan Gen Z, perkembangan teknologi sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Sayangnya, perkembangan teknologi dan media sosial tidak selalu membawa dampak positif, seperti halnya fenomena FOMO yang menjadi tren di kalangan gen Z saat ini. FOMO (Fear of Missing Out) adalah gejala sosial yang terbentuk ketika seseorang takut merasa tertinggal akan sesuatu yang sedang tren.
Kita ketahui saat ini, medsos tidak hanya menjadi sarana komunikasi namun juga menjadi platform di mana identitas, pengalaman, serta status sosial dibentuk dan ditampilkan. Ketika tontonan yang ditampilkan menciptakan standar hidup yang dianggap sempurna dan dipertontonkan secara terus-menerus, hal ini mendorong seseorang untuk menampilkan hal yang serupa agar mereka tidak merasa tertinggal maupun terasingkan. Gen Z yang tumbuh bersama medsos seringkali merasa tertekan untuk terus mengikuti tren. Sebab, Gen Z menggunakan sosial media untuk memenuhi kebutuhan mereka, mulai dari berinteraksi dengan orang lain, hingga membangun citra diri bahkan mencari validasi.
Sedang kurangnya pemahaman Gen Z jika yang dipertontonkan di medsos bukanlah selalu hal yang sebenarnya terjadi, makin memperparah gejala FOMO. Akibatnya, gen Z cenderung terjebak pada perbandingan sosial (social comparison) yang konstan hal ini tentu akan mengganggu kesehatan mental dan komunikasi. Akan timbul disonansi kognitif di mana apa yang ditampilkan tidak sama dengan apa yang mereka rasakan, mereka lebih sulit mengekspresikan perasaan mereka akibatnya mereka cenderung mempunyai komunikasi yang buruk dan temperamen.
Dampak buruk lainya, mereka tak segan untuk mengabaikan harga diri, keluarga, bahkan agama demi bisa mengikuti tren dan FOMO. Bahkan, sosiolog Suyoto Usman menyebut FOMO juga bisa menyebabkan seseorang menjadi narsistik. Bukan hal aneh jika akhirnya sebagian dari mereka bahkan sampai melakukan tindak pidana dan kriminal guna memenuhi kebutuhan mereka akan tren atau FOMO (kompas.com, 21/9/2024).
Inilah gambaran nyata kehidupan materialistik yang terbentuk dalam sistem kapitalisme dan sekularisme. Masyarakat didoktrin dengan standar kehidupan materialistik. Sekularisme juga telah sukses memisahkan nilai agama dari kehidupan sehingga mereka merasa hidup bebas dan tak lagi peduli pada norma agama dalam pemenuhan standar kehidupan mereka. Tak terlihat lagi batasan yang hak dan batil.
Hal ini tak lain karena sistem kapitalisme menjadikan kesuksesan dunia sesaat sebagai prioritas utama sehingga terbentuklah masyarakat yang bergaya hidup bebas, hedonis, dan konsumerisme. Sayangnya, tak banyak yang sadar jika hal ini bisa mematikan potensi dari generasi kita. Generasi yang harusnya menjadi harapan bangsa dan agen perubahan menuju kebaikan tentu tak akan terbentuk dengan baik dalam situasi seperti ini. Alih-alih negara mampu melindungi generasi, regulasi yang ada saat ini justru menjerumuskan generasi pada kehidupan materialistik dan gaya hidup FOMO.
Islam memandang generasi sebagai salah satu faktor penting yang wajib dilindungi dan dijaga. Mereka adalah agen-agen perubahan yang diharapkan akan membawa pada kehidupan yang lebih baik. Melalui sistem pendidikan Islam akan mampu menggali dan memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh generasi. Begitupun dengan kurikulumnya, Islam mampu membentuk generasi yang bersyaksiyah Islam, di mana pola pikir dan perilaku mereka berdasarkan syariat sehingga bukan lagi pencapaian materi yang menjadi standar kehidupan mereka, melainkan rida Allah Swt. Mereka akan terbiasa memilah mana yang boleh dan tidak dilakukan dalam pemenuhan kehidupan mereka.
Sedangkan dengan sistem pemerintahannya, Islam akan melindungi generasi dari bahaya-bahaya yang mungkin saja mengancam. Kontrol media akan dilakukan dengan ketat sehingga konten-konten yang tidak mendidik maupun berpotensi merusak generasi akan ditiadakan. Sistem ekonomi Islam yang kuat juga akan memungkinkan terbentuknya support sistem seperti sarana prasarana pendidikan, fungsi keluarga, dan lingkungan masyarakat yang kondusif bagi tumbuh kembang generasi sehingga kesehatan mental generasi juga akan terjaga dengan baik.
Keberhasilan Islam dalam mencetak generasi bukan hanya isapan jempol belaka. Sejarah telah mencatat di mana pada masa kekhilafahan ketika sistem Islam ditegakkan secara kaffah maka lahirlah tokoh-tokoh generasi cemerlang di berbagai bidang, seperti Muhamad Al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel, Al-Khawarizmi Sang Penemu Al-Jabar, Ibnu Firnas pelopor di bidang penerbangan. Masih banyak tokoh cendekiawan muslim lainya. Maka dari itu, teramat penting membangkitkan potensi yang ada pada generasi saat ini untuk bisa kembali membangun peradaban yang gemilang seperti yang pernah dicapai umat Islam pada masa kekhilafan. Hal itu hanya mungkin terwujud ketika sistem Islam ditegakkan secara kaffah. Wallahualam.