
Oleh: Dewi Sulastini
Linimasanews.id—Pendapatan Asli Daerah (PAD) mampu ditingkatkan oleh Dadang Supriatna, calon Bupati Bandung pertahanan nomor urut 2 walaupun baru 3,5 tahun memimpin Kabupaten Bandung. PAD Kabupaten Bandung naik signifikan menjadi Rp1,5 triliun dari yang awalnya hanya Rp960 miliar. Sementara APBD Kabupaten Bandung meningkat signifikan menjadi Rp7,5 triliun dari yang awalnya hanya Rp4,6 triliun (KejakimpolNews.com, 19/10/24).
Upaya peningkatan taraf hidup masyarakat bukan sebuah prestasi bagi pemimpin. Karena sejatinya, memang tugas seorang pemimpin adalah memastikan kesejahteraan rakyat. Namun dalam paradigma kapitalisme, peningkatan PAD dan APBN merupakan kezaliman karena sumber pendapatan negara dalam sistem kapitalisme adalah dari pajak dan utang. Tercantum dalam UU Nomor 62 tahun 2024 tentang APBN 2025, Presiden Prabowo Subianto menargetkan penerimaan pajak 3005 triliun (detikfinance 23/10/24).
Angka yang sungguh fantastis. Sebagaimana kita ketahui bahwa kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) diagendakan akan berubah nilainya menjadi 12 persen. Juga ketentuan pajak lain yang tentunya akan membebani rakyat. Namun, kenaikan pajak ini tidak berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat. Faktanya di saat rakyat sedang menderita karena maraknya PHK, juga harga kenaikan pangan yang meningkat, belum lagi biaya pendidikan dan kesehatan, semuanya itu harus mereka tanggung.
Para pemimpin sedang sibuk membagikan “kue kekuasaan.” Hal ini lumrah dalam sistem demokrasi yang sarat akan politik transaksional dan balas budi. Tak sedikit pun mereka berpikir tentang penderitaan rakyat hari ini. Yang ada para oligarki kekuasaan hanya sibuk melanggengkan kekuasaan politiknya, begitu juga dengan para oligarki kapitalisme yang sudah berhasil meletakkan pion-pion kekuasaan politik di kursi pemerintahan untuk makin memperkaya diri mereka. Tentulah rakyat hanya akan menjadi tumbal atas keserakahan mereka.
Berbeda dalam Islam, kekuasaan dalam Islam adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Sebagaimana sabda Nabi saw., “Seorang imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang rakyat yang dia urus.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Sungguh takutlah para penguasa akan kekuasaannya itu apabila dia tidak amanah. Seperti bagaimana para khalifah terdahulu yang enggan diberi jabatan kekuasaan. Umar bin Abdul Aziz ra., saat menjadi khalifah, juga pernah berdoa dengan penuh kekhawatiran, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari memikul tugas yang tidak sanggup aku pikul ini, atau aku diserahi urusan ini, lalu aku menyia-nyiakannya.” (Ibn Al-Jauzi, Shifat as-Shafwah, 2/92).
Maka saat menjalankan tugasnya mereka berusaha senantiasa amanah. Hal ini juga didukung oleh kekuatan sistem ekonomi negara Khilafah. Yaitu menggunakan sistem ekonomi Islam.
Sistem ini mengatur tiga pos kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Di mana dalam pos kepemilikan umum, negara memiliki sumber pendapatan tetap yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam yang disimpan di baitul mal. Haram bagi negara untuk menyerahkan pengelolaan SDA ini kepada individu apalagi kepada asing.
SDA yang dikelola secara mandiri oleh negara digunakan untuk kepentingan rakyat. Seperti untuk kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Adapun ketika jumlahnya tidak cukup, negara akan meninjau apakah kebutuhan tersebut mendesak atau tidak. Apabila mendesak seperti misalnya untuk membangun sistem pertahanan militer maka apabila jumlahnya tidak mencukupi dari baitul mal. Negara akan mengambil pajak dari orang-orang yang kaya.
Maka sudah saatnya kita kembali kepada syariat Islam. Islam bukan hanya sebuah agama, tetapi Islam merupakan ideologi yang mengatur seluruh kehidupan. Wallahualam bishowab.