
Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I. (Pemerhati Sosial dan Media)
Linimasanews.id—Merebaknya berbagai penyimpangan seksual di tengah masyarakat seperti LGBT (lesbi, gay, biseksual dan transgender) dapat membawa negeri ini pada kerusakan moral. Terlebih, fenomena LGBT makin ditoleransi dan diterima oleh kalangan muda di negeri ini.
Kaum LGBT pun makin berani menampakkan eksistensi mereka. Misalnya saja, pada 26 September lalu, mereka hendak mengadakan kegiatan Rising The Queen (Kontes LGBT) di salah satu mall di Kota Bekasi. Sontak agenda ini mendapatkan pertentangan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk dari MUI Kota Bekasi.
Dikutip iNews.id (25/09/24), acara Rising the Queen di Bekasi dibatalkan usai diprotes warga karena diduga bermuatan LGBT. Selain itu, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi, Hasnul Kholid Pasaribu menegaskan, acara tersebut tidak sejalan dengan nilai agama dan norma masyarakat apabila benar mengandung unsur LGBT.
Sungguh mengerikan. Melihat data dari KPAD, pada 2019 saja, homoseksual di Bekasi mencapai 4.000 orang. Ibarat gunung es, data yang ada saat ini pasti lebih banyak dari yang sebelumnya, mengingat para pelaku penyimpangan seksual begitu masif mempromosikan LGBT. Maka, tak heran hingga ada istilah ternak LGBT saat ini.
Kebebasan dalam Demokrasi Suburkan Penyimpangan Seksual
Tak bisa dimungkiri, tumbuh suburnya kemaksiatan, termasuk penyimpangan orientasi seksual disebabkan adanya tsunami informasi di tengah masyarakat, termasuk kurangnya filterisasi terhadap konten-konten menjurus di berbagai media, baik online maupun media massa mainstream. Misalnya, tayangan televisi kerap memperlihatkan gestur feminin yang diperankan oleh laki-laki, atau maraknya para influencer yang notabene berasal dari kalangan LGBT.
Akibatnya, generasi muda yang lekat dengan media saat ini sangat mudah mendapatkan akses untuk menyerap pemikiran rusak tersebut. Jika terus-menerus dibiarkan maka hal ini akan dianggap sesuatu yang biasa. Akhirnya, masyarakat akan menormalisasi perbuatan menyimpang ini. Naudzubillahi min dzalik.
LGBT bukan hanya sekadar “penyakit” menular, melainkan arus global yang terus digaungkan ke seluruh negara di dunia, termasuk negara kita, Indonesia. Dengan dalih kebebasan berekspresi, sesuatu yang telah jelas-jelas diharamkan oleh agama, justru dibiarkan oleh negara. Hal itu dikarenakan negara saat ini menganut paham sekuler liberal yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan kebebasan sebagai suatu keniscayaan. Atas dasar hak asasi dan hak seksual reproduksi, penyimpangan ini minta untuk diakui, bahkan dilindungi. Amat disesalkan jika penyimpangan seperti LGBT tidak ditindak dengan tegas. Mengingat negara ini termasuk negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar dunia.
Sejatinya, LGBT telah keluar dari fitrah manusia dan dari norma agama serta norma kesusilaan yang berlaku. Selain itu, maraknya penyimpangan orientasi seksual LGBT juga akan berkelindan dengan naiknya angka penderita HIV/AIDS atau penyakit kelamin lainnya. Jika hal tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin ancaman lost generation (kehilangan generasi) akan akan terjadi. Maraknya LGBT juga menjadi bukti bahwa negara dalam sistem sekularisme liberal tidak mampu menjaga akal, kehormatan dan keturunan di tengah umat.
Syariat Islam Memutus Mata Rantai LGBT
Sejauh ini, kita tentu mengapresiasi dan berterima kasih terhadap sikap MUI dan sejumlah masyarakat yang telah dengan tegas menolak aksi-aksi LGBT. Namun, itu saja tidak cukup. Negeri ini butuh undang-undang yang tegas melarang tindak-tanduk LGBT guna memutus mata rantai penyebaran penyimpangan orientasi seksual. Aturan itu harus diterapkan oleh negara sebagai otoritas tertinggi.
Selain itu, lolosnya kegiatan Rising the Queen di Bekasi September lalu, menjadi peringatan bahwa bisa jadi acara-acara serupa kelak akan lolos kembali. Yang perlu dipahami, menutup acara-acara tersebut hanyalah solusi sesaat, tidak dapat menuntaskan akar permasalahan LGBT. Sebab, yang dibawa oleh kaum pelangi ini adalah sebuah ide yang dapat merusak umat. Maka, mendudukkan sudut pandang mengenai LGBT berdasarkan Islam menjadi hal yang penting.
Harus ada campur tangan dari para pemangku kebijakan (dalam hal ini pemerintah), yang memiliki peran praktis menutup keran ide LGBT ataupun kemaksiatan lainnya. Dengan begitu, umat bisa terselamatkan. Hanya saja, kebijakan yang berpihak pada kemaslahatan umat di dunia dan akhirat hanyalah angan semata, selama negara ini masih merujuk dan berpijak pada sistem kapitalisme sekuler.
Hal tersebut jelas berbeda dengan negara dengan sistem Islam (Khilafah). Khilafah akan menerapkan hukum syariat secara sempurna. Khilafah akan menjadikan Islam sebagai dasar dalam membuat segala kebijakan. Tak ada istilah sekularisme, apalagi paham kebebasan berekspresi (bertingkah laku). Sebab, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Umat manusia diperintahkan untuk menerapkan Islam secara kafah (keseluruhan).
Terkait LGBT, para ulama telah sepakat bahwa hubungan sejenis atau homoseksual hukumnya haram. Oleh karena itu, negara Khilafah tentu tidak akan memberi celah bagi para pelaku penyimpangan orientasi seksual tersebut. Khilafah akan melakukan filterisasi atas konten-konten yang disiarkan oleh media (baik media elektronik maupun media sosial), adapun konten yang akan disiarkan oleh media merupakan konten-konten yang tidak melanggar hukum syarak, yang mampu mencerdaskan dan membangun suasana keimanan di tengah masyarakat.
Di sisi lain, individu dan masyarakat dalam negara Khilafah merupakan individu dan masyarakat yang memiliki ketakwaan yang tinggi, yang terbiasa melakukan amar makruf nahi munkar. Hal ini bisa menjadi faktor yang meminimalisasi terjadinya tindak kemaksiatan.
Dalam Islam, hukuman bagi para pelaku LGBT ini jelas dikenakan hukuman hadd dan/atau ta’zir sebab termasuk ke dalam bentuk jarimah (kejahatan). Islam tidak main-main dalam menangani kasus kejahatan. Di sisi lain, sanksi dalam Islam bagi para pelaku kejahatan dapat berfungsi sebagai jawabir atau penghapus dosa, sekaligus sebagai jawazir yang memberikan efek jera bagi orang lain sehingga bisa menjadi wasilah pencegah terjadinya tindak kejahatan yang serupa. Dengan begitu, Khilafah mampu menyelesaikan permasalahan LGBT di tengah umat.
Dengan penerapan Islam secara sempurna, negara Khilafah yang berfungi sebagai junnah (perisai) akan menjaga dan melindungi umat dari pemikiran racun yang rusak dan berbahaya, sehingga negara mampu menjamin hak-hak syar’i yang dimiliki manusia menurut pandangan Islam. Namun, sekali lagi, itu semua hanya akan bisa terealisasikan ketika Islam diterapkanakan secara sempurna dalam bingkai daulah Khilafah Islamiyah.