
Oleh: Ning (Praktisi Remaja)
Linimasanews.id—Tragedi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung pada kematian kembali terjadi. Kali ini di Kabupaten Sumenep, Madura, seorang kader aktif Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) berinisial NS dilaporkan meninggal dunia pada Sabtu (5/10/2024) akibat penganiayaan berat yang dilakukan oleh suaminya. Menanggapi hal itu, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengaku prihatin dan menilai insiden itu sebagai femisida.
Siti menjelaskan dikatakan sebagai femisida karena pembunuhan dilakukan karena peran jenis kelamin atau gendernya yang harus memenuhi kebutuhan seksual dan tidak boleh menolak suami. Selain itu, kekerasan dilakukan berulang (detik.com, 8/10/2024).
Miris, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat. Jumlah kasus kekerasan di sepanjang tahun 2024 berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) tercatat 15.173 hingga 11 Agustus 2024 (cnbcindonesia.com, 17/8/2024).
Mirisnya lagi, maraknya KDRT saat ini terjadi setelah 20 tahun disahkannya Undang-undang nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Bukannya menurun, jumlah kasus KDRT justru meningkat. Kemen PPPA menyebutkan bahwa penyebab KDRT adalah perselingkuhan, masalah ekonomi, budaya patriarki, campur tangan keluarga, judi, miras, narkoba, dan perbedaan prinsip.
Kegagalan UU PKDRT menyolusi KDRT tidak lepas dari kesalahan menentukan akar masalah. Terdapat pandangan bahwa relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang sering kali menjadi akar permasalahan KDRT. Yaitu, laki-laki merasa lebih tinggi dari perempuan sehingga mereka berpikir bisa melakukan apa saja. Lebih lanjut, dianggap hal ini sejalan dengan mengakarnya budaya patriarki.
Berdasarkan pandangan ini, pemerintah menyelesaikan persoalan KDRT dengan mewujudkan kesetaraan relasi antara suami istri yang di antara wujudnya adalah kemandirian finansial. Dengan kemandirian finansial, dianggap perempuan tidak perlu bersandar secara ekonomi pada laki-laki sehingga ketika terjadi KDRT, ia bisa memutuskan untuk hidup sendiri dan mampu menghidupi dirinya dan anaknya.
Meski seolah-olah menenangkan, tetapi pandangan ini kental dengan pemikiran feminisme yang menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ditambah lagi, pandangan kalangan feminis terhadap akar masalah KDRT ini tidak sesuai dengan realitas.
Faktanya, KDRT terjadi bukan karena ketidakseimbangan relasi kuasa, terbukti KDRT juga menimpa perempuan yang punya penghasilan sendiri (kemandirian finansial). Ketika perempuan terjun ke dunia kerja untuk meraih kemandirian finansial, ternyata KDRT tidak terselesaikan.
Benarkah Budaya Patriarki Akar Masalahnya?
Merujuk pada Wikipedia, patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut “ayah” memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak, dan harta benda. Sistem patriarki membuat laki-laki memiliki hak istimewa terhadap perempuan. Dominasi para laki-laki tidak mencakup ranah personal saja, tetapi lebih luas lagi, seperti pendidikan, ekonomi, partisipasi politik, sosial, hukum, dan lain-lain.
Jika ditelisik, klaim bahwa budaya patriarki adalah akar masalah terjadinya kekerasan terhadap perempuan, sesungguhnya hanyalah asumsi. Sebabnya, kasus kekerasan yang terjadi saat ini tidak melulu diakibatkan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Selain itu, kasus KDRT tidak selalu menimpa istri atau ibu rumah tangga biasa yang tidak memiliki penghasilan, tetapi juga dialami oleh istri yang bekerja atau yang berpenghasilan.
Laporan dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) menyatakan bahwa pelaku kekerasan sebagian besar adalah suami (56,3%) yang diakibatkan perselingkuhan, suaminya cemburu, suami mabuk, masalah pekerjaan, impitan pekerjaan yang dialami suami/istri, atau pemicu lainnya.
Akar Masalah
Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan, baik di rumah tangga, tempat kerja, atau di mana pun, sebenarnya muncul karena tidak adanya perlindungan terhadap perempuan, baik dari negara, masyarakat, maupun keluarga. Hal ini akibat tidak adanya pemahaman yang jelas tentang hak-hak dan kewajiban negara, masyarakat, ataupun anggota keluarga.
Muncul dan berkembangnya sistem sekuler kapitalisme di tengah umat mengakibatkan kaum muslim kehilangan gambaran nyata tentang kehidupan yang sesungguhnya. Akhirnya, posisi Islam yang seharusnya dijadikan acuan atau landasan dalam berpikir dan bertingkah laku, digantikan oleh pemikiran kapitalisme. Alhasil, wajar jika corak kehidupan sekuler kapitalisme inilah yang mendominasi umat dewasa ini, termasuk dalam memandang tentang perempuan. Bahkan, Islam dituding sebagai agama yang tidak memihak dan mengekang perempuan, serta menempatkan mereka pada posisi nomor dua.
Corak kehidupan sekuler kapitalisme ini pula yang akhirnya membuat kaum muslim bingung untuk menyelesaikan permasalahan. Corak hidup ini tidak memiliki nilai-nilai dan tolok ukur jelas sebagai pijakan dalam menilai sesuatu dan perbuatan, hanya nilai-nilai kemanusiaan yang semu yang diagungkan. Dari sini kemudian lahir gagasan keluarga berkeadilan dan kesetaraan untuk menyelesaikan masalah kekerasan.
Konsep kesetaraan bukanlah cara untuk menghilangkan penindasan atas perempuan atau menegakkan kehormatan bagi perempuan. Ide ini tidak menyelesaikan permasalahan perempuan. Ketika perempuan mandiri, mereka justru lebih rentan dari sisi perlindungan. Mereka harus berjibaku dari pagi hingga petang bahkan malam, atau dari malam hingga pagi lagi, demi sebuah kemandirian dan kebebasan atas nama kesetaraan gender. Apa yang kemudian didapatkan? Tenaga mereka terkuras luar biasa.
Solusi Islam
Islam sebagai din (agama) yang sempurna sangat melindungi umatnya. Hal ini tecermin dalam Al-Qur’an maupun hadis yang kemudian dirumuskan oleh para ulama sebagai al-kulliyat al-khams atau al-dharuriyyah al-khams, yaitu perlindungan atas agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta. Hal ini akan terwujud jika syariat Islam diterapkan secara sempurna.
Bukti bahwa syariat Islam sangat menjaga kehormatan perempuan, tercermin dari beberapa aturannya. Antara lain, keharusan meminta izin ketika memasuki kehidupan khusus orang lain. Ini dimaksudkan agar perempuan—yang di dalamnya dibolehkan melepas jilbab—tidak terlihat auratnya oleh laki-laki yang bukan mahramnya (lihat QS An-Nur: 27).
Bersamaan dengan itu, Islam mewajibkan perempuan menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan dua telapak tangannya, serta memakai pakaian sempurna ketika keluar rumah. Mereka wajib mengenakan kerudung (lihat QS An-Nur: 31) dan jilbab (QS al-Ahzab: 59).
Islam juga memerintahkan mahramnya untuk menemani perempuan ketika ia bepergian lebih dari sehari semalam. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal wanita yang mengimani Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan sehari semalam, kecuali bersama mahramnya.”
Lebih dari itu, Islam memosisikan keamanan sebagai salah satu kebutuhan pokok umat, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang bangun di pagi hari merasa aman di sekitarnya, sehat badannya dan mempunyai makanan (pokok) hari itu, seolah-olah ia telah memiliki dunia seisinya.”
Dari hadis ini, Rasulullah saw. menyetarakan keamanan dengan makanan pokok, sedangkan makanan adalah kebutuhan pokok. Hal ini berarti bahwa keamanan adalah kebutuhan pokok rakyat. Oleh karena itu, negara wajib menjaga keamanan seluruh rakyatnya, laki-laki-perempuan, tanpa ada diskriminasi. Jelaslah bahwa Islam menetapkan bahwa keamanan bagi perempuan bukan hanya menjadi tanggung jawab individu dan keluarganya, tetapi juga masyarakat dan negara.
Alhasil, penyelesaian terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan hanya akan bisa terwujud dengan tiga pilar, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan adanya suatu sistem yang terpadu yang diterapkan negara sebagai pelaksana aturan Allah.
Pilar pertama, membentuk individu muslim yang takwa, berkepribadian Islam yang unggul, serta iman, pemikiran, dan jiwa Islamnya kuat. Hal ini hanya akan terwujud apabila kita membina individu-individu muslim tersebut dengan akidah dan pemikiran-pemikiran Islam secara intensif dan berkesinambungan. Ia akan menjadikan akidah Islam sebagai landasan berpikir maupun bertingkah laku, menjadikan halal-haram sebagai standar hidupnya.
Dengan bekal ketakwaannya, seorang muslimah akan menjalankan perannya sebagai ummun wa rabbatul bait, taat suami, melayani suami dan anak-anaknya dengan baik, memakai pakaian sempurna, tidak membiarkan laki-laki asing masuk ke rumahnya, dan sebagainya. Sedangkan laki-laki, sebagai suami, ia akan melaksanakan kewajibannya sebagai pencari nafkah keluarga, melindungi anak dan istri dengan baik, bergaul secara makruf terhadap keluarganya. Ia tidak akan bertindak kasar terhadap istri atau anak-anaknya karena paham hal tersebut dilarang Islam. Sehingga, terjadi kehidupan rumah tangga yang harmonis, jauh dari kekerasan.
Pilar kedua, kontrol masyarakat. Islam sangat memperhatikan pentingnya hidup berjemaah dan menjaga kesehatan jemaah dengan amar makruf nahi mungkar. Amar makruf yang dilakukan secara menyeluruh, baik di keluarga, lingkungan kaum muslim, organisasi, jemaah dakwah, dan media massa, akan membentuk kesadaran umum di masyarakat bahwa segala yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya secara mutlak harus dijauhi semata karena keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala.
Di samping itu, akan diopinikan tentang keharaman tindak kekerasan terhadap orang lain, baik menghilangkan nyawa orang lain, pelecehan, menyakiti tubuh, dan bahaya yang ditimbulkannya serta azab yang pedih yang akan ditimpakan oleh Allah. Oleh karenanya, masyarakat yang memiliki keimanan kepada Allah akan menjauhkan dirinya dan masyarakat dari hal-hal tersebut dan akan memelihara kesehatan masyarakat yang rusak.
Pilar ketiga, penerapan hukum Islam oleh negara. Negara adalah pelindung bagi warga negaranya, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa. Negaralah yang menjamin terpenuhinya hak-hak warga negaranya berdasarkan aturan Allah dan Rasul-Nya, baik dalam masyarakat maupun keluarga, termasuk jaminan keamanan masyarakat.
Di samping itu, negara yang berperan sebagai pelaksana semua hukum Islam, sangat penting dalam menentukan terlaksananya seluruh aturan Allah dan Rasul-Nya. Dengan peran ini, negara bertanggung jawab menerapkan semua itu secara sempurna dan menerapkan sanksi terhadap siapa pun yang melanggarnya, tanpa pandang bulu sehingga masyarakat merasa tenteram.