
Suara Pembaca
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyampaikan peran penting pemberdayaan perekonomian perempuan dalam memperkuat ketahanan keluarga dan mencapai pembangunan berkelanjutan. Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA Lenny N. Rosalin mengatakan “Perempuan memiliki potensi besar untuk berkontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) suatu negara, apabila mereka diberdayakan. Dampak positifnya tidak hanya akan dirasakan oleh diri perempuan secara individu, tetapi juga keluarga, komunitas, hingga negara” (17/3).
Masifnya upaya pemberdayaan perempuan, bahkan sampai menjadi program yang harus diratifikasi dan diterapkan oleh semua negara di dunia tidak terkecuali negara muslim, dianggap membawa kepentingan para perempuan dunia dalam memperbaiki kehidupannya. Padahal, agenda ini senyatanya sarat dengan kepentingan kapitalisme. Kapitalisme-sekuler sering kali memprioritaskan pertumbuhan ekonomi di atas kesejahteraan sosial, yang secara tidak langsung menempatkan perempuan sebagai alat ekonomi dibandingkan sebagai pendidik generasi. Sekularisme juga turut andil dalam menjauhkan perempuan dari peran keibuan, ini jelas merampas hak-hak anak atas pengasuhan seorang ibu.
Perempuan dalam sistem sekuler cenderung tidak memahami hak dan kewajibannya, sehingga sulit menyadari masalah yang dihadapi. Tuntutan dalam kapitalisme menjauhkan perempuan dari fitrahnya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga (ummun wa rabbatul bayt). Kesetaraan gender sering digunakan untuk mendorong perempuan bekerja di luar rumah, demi menambah pendapatan negara. Namun, hal ini berpotensi mengurangi fokus perempuan pada tanggung jawab di rumah dan pengasuhan anak, yang bisa berdampak pada generasi mendatang.
Dalam sistem ini, pemberdayaan perempuan sering kali tidak mengarah pada penguatan keluarga, melainkan pada produktivitas ekonomi. Padahal, peran utama perempuan adalah sebagai pendidik generasi. Kapitalisme-sekuler memaknai pemberdayaan perempuan sebagai upaya agar perempuan bisa ikut menambah pendapatan negara. Namun, klaim pemerintah Indonesia tentang penurunan kemiskinan tampaknya tidak sepenuhnya sesuai kenyataan. Justru, angka kemiskinan meningkat, diperparah oleh gelombang PHK yang memicu kenaikan pengangguran di berbagai daerah.
Akibat kondisi ini, banyak perempuan yang terpaksa bekerja untuk menopang ekonomi keluarga demi kelangsungan hidup, bukan karena pilihan bebas, melainkan karena tekanan ekonomi. Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam yaitu sistem Khilafah. Sistem Islam memiliki kesempurnaan regulasi ekonomi dalam menggerakkan semua sektor produktif tanpa berbasis ribawi.
Negara Khilafah yang menerapkan berbagai regulasi ekonomi Islam. Khilafah juga memiliki keunggulan mekanisme politik yang tidak dimiliki sistem politik demokrasi sekuler. Berbagai mekanisme yang akan dijalankan sistem Islam untuk mengatasi situasi krisis global adalah menyelesaikan problem dari muaranya. Bukan hanya memberi ‘solusi’ sekadar bertahan hidup alakadarnya dengan berbagai pengorbanan perempuan dan anak-anaknya.
Dalam sistem Khilafah, tidak akan ada perempuan terpaksa bekerja mencari nafkah dan mengabaikan kewajibannya sebagai istri dan ibu, sekalipun Islam tidak melarang perempuan bekerja. Mereka bekerja semata mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan umat, sementara tanggung jawab sebagai istri dan ibu akan tetap terlaksana. Sudah selayaknya kita campakkan sistem yang hanya menyengsarakan rakyat terus-menerus, kembalilah pada sistem Islam yang akan menjadi solusi tuntas atas semua persoalan.
Rosna, Ibu Peduli Negeri