
Oleh: Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H. (Dosen FH)
Linimasanews.id—Presiden Ketujuh Indonesia Joko Widodo (Jokowi) sebelum lengser telah berhasil membentuk Kortas Tipikor dalam lembaga Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Lembaga ini diharapkan dapat membantu untuk memberantas korupsi yang kian menggurita di negeri ini.
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyampaikan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset merupakan kebutuhan mendesak untuk memberantas kasus korupsi. Mengapa demikian? Ia menyampaikan bahwa RUU ini dipercaya akan dapat memperkuat sistem hukum dan memulihkan kerugian negara terkait tindak pidana korupsi.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika menyampaikan bahwa RUU ini akan sangat membantu aparat penegak hukum untuk menyita aset hasil korupsi di luar negeri. Sehingga, pengembalian kerugian negara akibat perbuatan para koruptor bisa lebih maksimal. Rampasan aset tersebut pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan negara sebagai salah satu modal pembangunan nasional.
Selain itu, Tessa juga menyampaikan bahwa RUU ini sangat bermanfaat untuk membuat Indonesia dipandang oleh dunia Internasional jika segera disahkan. Hal ini dikarenakan akan menjadi komitmen untuk mengimplementasikan ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). RUU Perampasan Aset juga dibutuhkan KPK karena bisa merampas aset perampasan tanpa menunggu putusan pidana (non-conviction based asset forfelture). Hal ini akan menjadi alat yang kuat untuk memulihkan kekayaan negara (rri.co.id, 25/10/2024).
Isu RUU Perampasan Aset ini muncul kembali di tahun sebelumya dikarenakan adanya permohonan khusus Mahfud MD kepada Komisi III DPR. Ketika itu Mahfud MD merupakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Ia menyampaikan bahwa Indonesia telah meratifikasi UNCAC pada tahun 2023 dengan membuat UU No 7 Tahun 2006, namun hingga kini belum memiliki UU Perampasan Aset.
Demokrasi Menyuburkan Korupsi
Korupsi merupakan tindak pidana yang tiada pernah berakhir. Bahkan, korupsi sudah merupakan budaya turun-temurun dan menjadi sesuatu yang dinormalisasi pada saat ini. Individu dari kalangan artis, pejabat, bahkan aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi prajurit yang memberantas korupsi sekalipun, malah terlibat di pusaran korupsi.
Segala upaya pun dilakukan, dari menjadikan pemberantasan korupsi misi utama para pemimpin dengan membentuk lembaga baru, membuat aturan baru bahkan membuat para koruptor malu dengan mengenakan baju khusus para pelaku korupsi. Tapi kenyataannya, bukan malu, mereka seakan-akan tidak akan ada masalah terhadap yang telah mereka lakukan dengan melemparkan senyuman dan melambaikan tangan ketika digiring ke pengadilan untuk di sidang. Karenanya, menjadi pertanyaan, apakah RUU ini akan menjadi alat yang memang ampuh untuk membuat para koruptor kapok?
Selain itu, pernyataan KPK yang mengatakan RUU ini mendesak dengan alasan dapat meningkatkan penerimaan negara sehingga membantu modal pembangunan nasional menjadi sesuatu yang perlu kita cermati. Paradigma yang kembali lagi hanya menstandarkan segala sesuatu dengan untung-rugi, bukan memandang tindak pidana korupsi ini harus ditindak tegas agar kemaslahatan umat terjaga. Walaupun dikatakan untuk pembangunan nasional, hal ini menjadi sesuatu yang perlu dipertanyakan, apakah selama ini pembangunan yang dilakukan untuk kepentingan rakyat atau para pemilik modal (kapital)?
Tindak pidana korupsi bukan hanya masalah pelaku yang melakukan korupsi, tetapi ini merupakan maslah sistemis. Korupsi kian menggurita karena diterapkannya sistem demokrasi-kapitalis. Sistem ini menyerahkan kekuasaan membuat hukum pada manusia atau sekelompok manusia. Hal ini dikarenakan sistem ini berdiri atas dasar sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) sehingga hukum dapat berubah-ubah sesuai kepentingan seseorang atau kelompok. Standar yang digunakan adalah untung-rugi.
Sistem politik dalam demokrasi-kapitalisme merupakan sistem yang berbiaya tinggi. Untuk menjadi pemimpin ataupun pejabat dalam sistem ini dibutuhkan modal fantastis jumlahnya. Karenanya, untuk mengembalikan modal ini ketika menjabat adalah dengan cara cepat yang salah satunya adalah korupsi.
Tidak sampai di situ, sanksi yang diberikan pun tidak memberikan efek jera. Hal ini bisa kita lihat dengan kasus-kasus tindak korupsi yang diberikan hukuman ringan, bahkan dalam masa kurungannya di lapas mendapat fasilitas yang mewah.
Islam Berantas Korupsi
Sistem Islam merupakan sistem yang sempurna telah memberikan solusi untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Sistem Islam memberantas korupsi dengan menegakkan 3 pilar penegakan hukum. Pertama, ketakwaan Individu yang mendorong untuk selalu terikat pada hukum syariat. Sehingga jika ada peluang untuk melakukan korupsi ia akan ingat bahwa hal tersebut merupakan perbuatan yang mengundang murka Allah Swt. sang khaliq dan kelak akan diminta pertanggungjawaban.
Kedua, kontrol masyarakat yang dilakukan oleh individu maupun kelompok kepada individu lainnya karena setiap manusia terkadang melakukan kesalahan atau khilaf karena bukan malaikat. Hanya dengan menjadikan Islam, pemerintahan negeri ini bahkan seluruh negeri akan terbebas dari korupsi. Sebab, Islam merupakan ideologi yang memancarkan aturan-aturan dari Sang Khaliq, yakni hukum syarak yang sempurna dan paripurna. Hanya sistem politik Islam yang diterapkan dalam suatu institusi, yakni Khilafah yang mampu memberantas bahkan mencegah terjadinya kecurangan dan korupsi. Semua itu sudah terbukti selama tegaknya khilafah sekitar 1300 tahun.
Ketiga, negara yang menerapkan syariat secara sempurna. Syariat Islam hanya dapat diterapkan secara sempurna dalam sebuah institusi, yakni Daulah Khilafah Islamiyah.
Negara yang merupakan pengurus urusan umat akan berupaya meminimalkan terjadinya tindak korupsi dengan beberapa cara. Pertama, menerapkan sistem penggajian yang layak. Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Ketiga, melakukan sistem perhitungan kekayaan.
Kekayaan pejabat akan dihitung diawal dan di akhir jabatannya. Jika ada kenaikan yang tidak wajar yang bersangkutan harus membuktikan bahwa kekayaan itu benar-benar halal. Inilah yang kita kenal saat ini yang merupakan pembuktian terbalik. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Bila pejabat gagal membuktikan bahwa kekayaannya tesebut didapat dnegan cara halal maka Umar memerintahkan pejabat menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada Baitul Maal atau membagi dua kekayaannya itu separuh untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara.
Keempat, penyederhanaan birokrasi. Kelima, hukum yang setimpal yang memberikan efek jera. Korupsi tidak sama hukumnya dengan mencuri sehingga untuk tindakan korupsi hukuman terberatnya sampai dijatuhi hukuman mati.
Hanya dengan Islam korupsi dapat diberantas sampai ke akar-akarnya sehingga negeri ini mendapat berkah dari langit dan bumi.
Dalam demokrasi hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah